CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 01 Maret 2013

Sayyidah Aisyah ra., dalam Menjaga Diri dari Ghibah


Pada umumnya wanita memang lebih rentan sekali ber-ghibah dibandingkan laki-laki. Sampai-sampai pada suatu kesempatan Rasulullah saw., pernah bersabda,”Sesungguhnya aku melihat kalian sebagai penghuni neraka terbanyak.”(HR Bukhari dan Muslim).

Terkait dengan hadits tersebut, Imam Qurtubi dan para ulama, juga banyak berpendapat bahwa penyebab wanita sedikit menjadi penghuni surga dikarenakan banyak mengikuti hawa nafsunya dan senang dengan keduniaan, serta kurangnya pemikiran mereka tentang agama sehingga menjadi sedikit dalam membuat amal kebaikan. Dalam beberapa pendapat juga banyak yang mengatakan penyebabnya adalah karena kegemaran wanita berghibah dengan wanita lain.

Ghibah tentulah bukan sifat yang terpuji. Dan ghibah dalam Islam dilarang. Rasulullah saw., bersabda,”tahukah kalian apa itu ghibah?”, mereka menjawab“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda,”yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.”  Lalu ditanyakan kepada beliau,”Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda,”Apabila cerita yang kau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibah-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim)

Dari sabda Rasulullah saw., diatas, jelas bahwasanya yang dimaksud ghibah adalah membicarakan orang lain yang membuatnya tidak suka jika mendengarnya, sekalipun hal tersebut memang yang terjadi. Sedangkan jika hal tersebut tidak terjadi, yang melakukannya berbohong atas nama orang yang dibicarakan.

Adapun larang ghibah sendiri, secara jelas dijabarkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah swt,. Dalam surat Al-Isra : 36 :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati. Semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaaf :18)

Lebih spesifik lagi Allah berfirman dalam surat yang lain :

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hujuraat : 12)

Salah satu kemuliaan kepribadian Sayyidah Aisyah ra., ia sangat menjaga diri untuk senantiasa tidak ber-ghibah. Aisyah tidak mau membicarakan kejelekan orang lain. Termasuk dalam hal percekcokannya dengan isteri Nabi Muhammad yang lain. Ia tidak pernah menyebutkannya. Bahkan dalam berbagai riwayatnya, ia dengan lapang dada menunjukkan keistimewaan dan kelebihan istri Rasulullah saw., yang lain.

Dalam beberapa riwayat Aisyah kerap sekali memuji Saudah. Ia pernah berkata,”Tidak ada seorang perempuan pun yang kuinginkan agar aku menjadi dirinya melebihi Saudah karena ketegasan dan kekuatan jiwanya.”(HR Muslim, Baihaqi dan Ibnu Hibban).

Selain itu Aisyah juga memuji Juwairiyah. Pada suatu kesempatan, ia berkata,”Demi Allah, aku harus mengakui kecantikannya. Dan aku tidak suka ia menemui Rasulullah saw., ketika itu. Aku pikir beliau pasti mengagumi kecantikannya, sebagaimana aku mengaguminya……”(HR.Hakim).

Pada suatu kesempatan lain Aisyah juga memuji Maimunah. Ia berkata,”Dia antara kami, Maimunah adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan paling gemar bersilaturahmi.” (HR.Hakim)

Dalam sebuah riwayat dari Urwah, ia berkata,”aku pergi mencaci Hasan di tempat Aisyah, tetapi Aisyah berkata,’Janganlah engkau menghinanya, karena dia juga pernah membela Rasulullah saw.” Padahal Hasan bin Tsabit adalah orang yang telah menyebabkan Aisyah jatuh sakit karena haditsul ifki

Itulah beberapa keterangan yang menunjukkan betapa Ummul Mukminin Aisyah ra., sangat menjaga diri untuk senantiasa menghindari ghibah. Sekalipun untuk menghindarinya tidaklah mudah. Akan tetapi, Aisyah memiliki keteguhan hati untuk tetap menjaga diri dari sifat ghibah tersebut.

Sifat mulia ini, tentunya harus senantiasa diteladani oleh kita semua, terutama kita sebagai muslimah yang kata Rasulullah wanita adalah terbanyak penghuni neraka, naudzubillah semoga kita tidak termasuk ke dalamnya, Aamiin. Siapa wanita yang tidak menginginkan menjadi wanita yang sholehah? Semua wanita yang masih memiliki keyakinan iman Islam pasti suatu ketika akan merasa ada jalan dimana bisa merasakan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Bersama Allah, karena Allah, sungguh saat kita bisa merasakan jiwa kita sangat dekat dengan-Nya kita akan merasa sangat damai, kedamaian yang dapat kita rasakan lebih daripada kita mencari cara lain agar jiwa kita merasa damai. Mulailah dari sekarang untuk kita sedikit demi sedikit belajar menghindari sifat tercela salah satunya ghibah yang memilki dosa besar. Karena hidup kita bukan hanya untuk dunia tapi Akhirat dimana kekekalan ada untuk selamanya.

Sumber : Syahid Ahmad Al Kasyaf. 2012. “Aisyah Sang teladan kekasih Allah”. Jakarta : Al Maghfiroh

Sayyidah Aisyah ra., dalam Berpakaian


 
Salah satu tanda kepribadian seseorang, bisa kita lihat dari bagaimana mereka berpakaian. Pada umumnya, hal tersebut memang memiliki keterkaitan yang cukup erat. Karena dalam hal berpakaian, jarang sekali yang memilih pakaian yang dikenakannya tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Terlebih, bagi mereka yang memegang erat prinsip-prinsip, “aji neng rogo, soko busono” atau “harga diri seseorang, dari pakaiannya.” Dalam hal berpakaian sendiri, terkadang memang setiap orang memiliki tolok ukur nilai yang berbeda-beda.

Di zaman modern seperti sekarang ini, kecenderungan pakaian yang diagungkan adalah pakaian-pakaian yang justru mengumbar aurat dan harganya mahal. Semakin minimnya bahan pakaian, sehingga auratnya bias di lihat orang lain, hal tersebut dinilai memiliki sensasi fashion modern dengan tingkat kualitas tinggi. Begitu pun juga dengan pakaian yang harganya mencapai jutaan bahkan ratusan juta rupiah, dianggap akan senantiasa menaikkan derajat harga diri pemakainya.

Dalam syariat Islam, nilai-nilai pakaian yang dianjurkan berbeda dengan nilai yang biasa diterapkan oleh Negara-negara Barat. Dalam Islam, tidak diperkenankan  memakai pakaian yang terbuka batas auratnya. Atau pakaian yang bolong, sehingga auratnya kelihatan. Dalam Islam, aurat adalah sesuatu yang harus dijaga dari pandangan orang-orang yang bukan muhrim. Karena hal tersebut bisa memacu nafsu sahwat, yang dibenci Allah SWT.

Allah  SWT berfirman :

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…….” An-nur : 31

 Rasulullah SAW, “Aku terbebas dari wanita yang menggundul rambut kepalanya, berteriak dengan suara keras dan merobek-robek pakaiannya (ketika mendapat musibah).” (HR. Muslim).

Selain itu, nilai pakaian yang bisa meningkatkan derajat orang muslim adalah perihal kebersihannya. Jadi dalam Islam, pakaian yang bagus, selain menutup aurat, juga harus bersih. Dalam artian bersih dari kotoran dan yang tidak terkena najis, sehingga bisa dipakai untuk sholat.

Dari Jabir ra., Rasulullah SAW pernah mengunjungi kami, lalu beliau melihat seorang laki-laki yang mengenakan pakaian kotor, maka beliau pun bersabda,”Orang ini tidak mempunyai sabun yang dapat digunakan untuk mencuci pakaiannya.” (HR Muslim)

Pakaian bagus dalam Islam bukanlah pakaian yang kepanjangan. Sehingga ketika dipakai ujungnya menjulur mengenai tanah. Pakaian yang demikian itu justru tidak disukai dalam Islam, karena rentan sekali terkena najis yang tidak diketahui.

Sayyidah Aisyah juga sangat memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Ia sebagai sosok yang sangat cantik, dengan kulit putih kemerah-merahan, dengan wajah yang berseri-seri, ia selalu mengenakan pakaian yang bisa melindungi auratnya, sehingga tidak bisa dilihat oleh orang lain yang bukan muhrim.

Dalam hal berpakaian, Aisyah juga mempertimbangkan keindahan pakaiannya. Indah bukanlah berarti harus mahal. Aisyah seringkali mengenakan pakaian yang diberi pewarna dari za’faran agar terlihat semakin indah. Selain itu, ia juga senantiasa menjaga pakaiannya agar senantiasa bersih dan suci. Setiap pakaiannya kotor, ia pasti langsung mencucinya hingga bersih. Baru ia kenakan kembali.

Seumur hidupnya pernah sekali Aisyah memiliki pakaian mahal, seharga sekitar lima dirham. Pakaian tersebut seringkali dipinjam oleh para pengantin saat mereka melangsungkan pernikahan. Selain itu, ia hanya memiliki pakaian biasa. Dengan demikian, Aisyah sekalipun seorang perempuan yang cantik, sekaligus istri Rasulullah SAW, hal tersebut tiidak membuatnya mengharuskan diri memakai pakaian yang mahal. Ia juga tidak memiliki banyak pakaian. Bahkan ia salah satu wanita yang sangat zuhud.

Hal ini tentunya sangat berbeda dengan gaya wanita-wanita modern seperti sekarang ini. Sehingga ia terus berganti-ganti pakaian di setiap kegiatan.

Akan tetapi sekalipun Aisyah hanya memilki pakaian sedikit dan hanya sekali memiliki pakaian yang mahal. Ia tetap menjadi sosok wanita yang sangat cantik dengan pakaian sederhana yang dikenakannya. Selain itu ia pun tetap menjadi salah satu wanita yang sangat dihormati di masanya. Dengan demikian, hal tersebut menjadi salah satu petunjuk bagi kita semua bahwasanya sejatinya keindahan sejati itu muncul bukan dari luar. Justru keindahan yang memancar dari dalamlah yang membuat siapa saja menjadi lebih cantik dan menawan.

Sumber : Syahid Ahmad Al Kasyaf. 2012. “Aisyah Sang teladan kekasih Allah”. Jakarta : Al Maghfiroh

Katakanlah Kesenangan Dunia Itu Hanya Sebentar


 
Jika Rasulullah adalah pemimpin bagi orang-orang bertaqwa, maka Fatimah tentu saja termasuk wanita yang paling bertakwa. Dalam kehidupannya yang sederhana, ia tetap mempertahankan imannya. Ia juga bersikap zuhud, merasa puas dengan apa yang ada dari dunia. Perhiasan dunia, di mata Fatimah tak lebih dari sebutir debu.

Fatimah sangat menyadari bahwa Ridha Allah SWT dan Rasul-Nya jauh lebih bernilai dari perhiasan dunia. Ia bersemboyan pada firman Allah : “…Katakanlah, kesenangan di dunia ini sebentar, dan akhirat lebih baik bagi orang yang bertakwa…”(QS. An Nisa : 77)

Karena itu maka akhirat menjadi tujuan utamanya, dan ia berusaha keras mencapai tujuan itu agar termasuk dalam orang-orang yang disebut Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh, sedang ia orang mukmin, maka mereka itu orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Isra : 19)

Fatimah Az Zahra terus menapaki jalan menuju ridha Allah bersama suaminya. Ia memilih hidup dalam keadaan zuhud, tidak berlebih-lebihan dalam urusan dunia. Ia mencintai kesederhanaan ketimbang bermewah-mewahan sama seperti ayahnya, Rasulullah yang mulia.

Ali sebagai contohnya, adalah sosok dari pemuda yang memiliki pandangan jauh ke depan. Dia dikagumi karena kepahlawanan, pengorbanan, dan sifat-sifat baik yang dia miliki. Membaca kisahnya seakan-akan itu fiksi padahal itu nyata. Ada dalam fakta sejarah bahwa manusia terbaik seperti itu pernah ada. Dhirar bin Dhamran al-Kinani berkata tentang Ali :

“Ali adalah sosok yang memiliki pandangan jauh ke depan. Kekuatan fisiknya tidak diragukan. Ucapannya menjadi penentram hati. Keputusannya memberikan keadilan. Ia tidak tertarik dengan kemewahan dunia. Ia lebih akrab dengan gelapnya malam. Mudah menangis karena takut kepada Allah. Pikirannya mendalam, ia sering melakukan instrospeksi diri. Ia senang dengan pakaian dan makanan yang kelas rendah. Melihat kepribadian dan sikapnya, banyak orang jahat bertaubat dan orang lemah menjadi punya harapan kembali.”

Sungguh, kata Dhirar, aku pernah melihatnya khusyu’ di suatu malam gelap gulita saat semua warga sudah tertidur lelap.

“Aku melihatnya khusyu’ di masjid sambil menangis tersedu-sedu. Aku mendengar ia mengucapkan,’Wahai kesenangan dunia, apakah kamu mencoba merayuku?’ Sungguh , aku tidak akan tergoda. Pergilah. Rayulah orang lain. Sungguh, aku tidak akan mendekatimu. Usiamu hanya sebentar dan hina pula. Namun kamu sangat berbahaya.” Demikian kata Dhirar bin Dhamran.

Sikap kesederhanaan dan zuhud terhadap dunia ini juga rasanya kita butuhkan saat ini. Sikap hedonism yang sangat terpukau dengan dunia patut dikikis pelan-pelan dan ditempatkan pada posisi yang rendah. Akhirat yang kekal saja yang harus menjadi perhatian kita semua, dengan tentu saja tidak melupakan rezeki dan kebutuhan kita di dunia.

Sumber
 Syukur, Yanuardi.2012.“Fatimah Az Zahra, Sosok wanita Paling Berpengaruh”.Jakarta : Al Maghfiroh.