CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 01 September 2013

Sang Perenang dan Setitik Buih

Aku tak pernah tau apa yang kau lakukan,
apa yang kau impikan,
dan apa yang slalu membuatmu tertawa.
Kamu itu seperti satu titik buih dalam milyaran ombak yang bergulung di lautan
Aku bukan perenang yang handal,
Bagaimana bisa aku meraih setitik buih itu?

Ombak adalah duniamu
Entah sejak kapan dan sampai kapan
disini ku berdiri hanya menatap sang ombak.

Hanya menatap. . .

Dan akan selalu menatap. . .

Tanpa berani mendekat. . . .


bukankan aku masih berdiri
membuat kisahku sendiri?
kisah tentang sebuah hati yang diam
ia hanya menggunakan tangan dan kaki
untuk membuatmu tersenyum
meski hati itu tetap tahu
bukan ia yg melukis senyum diwajahmu

oh ombak
kau bergelombang terlalu cepat
hingga sang perenang pun tenggelam dlm mimpinya.

tidak....
sang perenang tidak sesakit itu
dia tetap berdiri pada kenyataan
dan berkata pada sang ombak
"Bawalah buihku ke seberang sana
Meraih mimpi dengan gelombang hebatmu
hingga ia melihat kenyataan menjabat tangannya"

saat menemukan setitik buih yang istimewa
sang perenang tak pernah menginginkan ia menjadi permata
atau memisahkan ia dari sang ombak
bahkan mencegah perenang lain untuk menemukannya

dan ketika itu terjadi
sang perenang beranjak dari tempatnya berdiri
bukan karena takut
tapi karena ia tahu
setitik buih itu berada dalam tangan yang tepat
setidaknya pernah terlukis sedikit senyum
yang tercipta dari setitik buih oleh sang perenang

berlayarlah kemana pun kau ingin, setitik buih
walau ragaku beranjak tapi hati dan jiwaku masih berdiri untukmu
yang berharap kelak ada kesempatan sang perenang
untuk bilang
"kau begitu istimewa wahai buih,
bukan hanya dihati tapi didunia
ku ingin kau lihat aku yang ingin kau tersenyum
sungguh aku sangat mencintaimu
sangat menginginkanmu
berada di sampingmu, Aku ingin."
#RA

Sabtu, 13 April 2013

How do I can feel better than others?

Sedikit rasa mengganjal dalam hati saya
bagaimana mungkin seorang wanita seperti saya bisa merasa lebih baik dari orang lain?
How do I can feel better than others?
sesungguhnya mungkin wanita lain jauh jauh lebih baik daripada saya


saya bukan wanita yang sempurna atau wanita yang layak dibilang "wanita baik"
saya tidak selalu shalat tepat waktu
saya tidak selalu berzakat atau bersedekah
saya tidak selalu bisa menjaga hati dan pandangan saya dari hal yang buruk
saya juga tidak selalu melakukan perintah-Nya
bahkan seringkali malah melakukan apa yang Dia larang

Saya merasa malu jika dianggap baik
karena saya belum bisa menjadi wanita baik
saya malu ketika dipuji
karena saya tak pantas mendapatkan pujian

saya selalu merasa tak layak berusaha menjadi wanita baik
karena saya berasal dari masa lalu yang tak baik
yang mungkin sama dengan remaja-remaja yang hilang arah saat ini
saya menikmati setiap dosa yang saya lakukan di masa lalu
hingga saya tak mengindahkan ada Dia yang selalu bisa melihat tingkah laku saya yang buruk

hingga Dia memberikan saya kesempatan untuk menyadarinya
ketika seorang pria membuat saya harus menangis
membuat saya harus berjuang sendiri untuk melangkah
membuat saya berusaha keras untuk melupakan
dan akhirnya membuat saya benar-benar sadar akan hubungan bernama "pacaran" itu benar-benar salah
tak ada komitmen yang serius terlontar saat pacaran
tak ada benar-benar janji yang pasti saat pacaran

pacaran adalah sesuatu yang pasti
pasti berdosa
pasti banyak kerugian
pasti merugikan wanita
dan pasti berakhir dengan kesedihan
berapa banyak pacaran yang berakhir dengan kegembiraan?
berapa banyak pasangan yang pacaran hanya sekali seumur hidup lalu diakhiri dengan menikah?
1:1000000, mungkin.
I try to ask a question to my self

lalu bagaimana mungkin
aku masih berusaha, still try
belum menjadi
bisa yakin lebih baik daripada mereka ?
No sense

Merasa lebih baik daripada mereka yang masih pacaran.
jangan judge orang lain, dulu lo pacaran kan?
Merasa lebih baik dari mereka yang gak make kerudung
woy liat diri dulu lah perilaku udah bener belom walau pake kerudung?
Merasa lebih baik dari mereka yang gak solat.
haha. emang yang nentuin orang baik apa nggak diri lo?
Merasa lebih baik dari mereka yang keluyuran gak jelas.
hei, kaya diri sendiri udah bener-bener gak keluyuran ajah.


berhenti melihat keburukan orang lain
introspeksi keburukan diri sendiri lebih baik
tidak ada manfaat mencari keburukan orang lain
it's just dawdle
yang boleh nentuin orang itu baik atau tidak bukan saya
Tapi hanya Allah

ketika masa lalu benar-benar mengganggu saya untuk berubah
atau ada yang menyebutkan "sesungguhnya Allah sudah tahu kita akan masuk neraka atau surga"
lalu apa yang membuat saya harus berhenti berusaha
apa ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan?
apa ada manusia yang bersih dari dosa?
Rasulullah SAW yang mulia pun pernah melakukan kesalahan
apa ada alasan lagi untuk menghakimi seseorang buruk karena masa lalunya?

bukan bagaimana kita di masa lalu
tapi bagaimana usaha kita memperbaiki diri dari masa lalu

masihkah saya merasa lebih baik dari orang lain?
masihkah saya merasa lebih buruk dari orang lain?
Ignore it !
kalau tidak saya akan tertinggal dari kalian
tertinggal untuk mendapatkan cintanya Allah
Do I want?
Say, No I dont


**----------**

tulisan ini dibuat bukan untuk menghakimi seseorang
hanya ungkapan perasaan pribadi

Jumat, 01 Maret 2013

Sayyidah Aisyah ra., dalam Menjaga Diri dari Ghibah


Pada umumnya wanita memang lebih rentan sekali ber-ghibah dibandingkan laki-laki. Sampai-sampai pada suatu kesempatan Rasulullah saw., pernah bersabda,”Sesungguhnya aku melihat kalian sebagai penghuni neraka terbanyak.”(HR Bukhari dan Muslim).

Terkait dengan hadits tersebut, Imam Qurtubi dan para ulama, juga banyak berpendapat bahwa penyebab wanita sedikit menjadi penghuni surga dikarenakan banyak mengikuti hawa nafsunya dan senang dengan keduniaan, serta kurangnya pemikiran mereka tentang agama sehingga menjadi sedikit dalam membuat amal kebaikan. Dalam beberapa pendapat juga banyak yang mengatakan penyebabnya adalah karena kegemaran wanita berghibah dengan wanita lain.

Ghibah tentulah bukan sifat yang terpuji. Dan ghibah dalam Islam dilarang. Rasulullah saw., bersabda,”tahukah kalian apa itu ghibah?”, mereka menjawab“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda,”yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.”  Lalu ditanyakan kepada beliau,”Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda,”Apabila cerita yang kau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibah-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim)

Dari sabda Rasulullah saw., diatas, jelas bahwasanya yang dimaksud ghibah adalah membicarakan orang lain yang membuatnya tidak suka jika mendengarnya, sekalipun hal tersebut memang yang terjadi. Sedangkan jika hal tersebut tidak terjadi, yang melakukannya berbohong atas nama orang yang dibicarakan.

Adapun larang ghibah sendiri, secara jelas dijabarkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah swt,. Dalam surat Al-Isra : 36 :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati. Semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaaf :18)

Lebih spesifik lagi Allah berfirman dalam surat yang lain :

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hujuraat : 12)

Salah satu kemuliaan kepribadian Sayyidah Aisyah ra., ia sangat menjaga diri untuk senantiasa tidak ber-ghibah. Aisyah tidak mau membicarakan kejelekan orang lain. Termasuk dalam hal percekcokannya dengan isteri Nabi Muhammad yang lain. Ia tidak pernah menyebutkannya. Bahkan dalam berbagai riwayatnya, ia dengan lapang dada menunjukkan keistimewaan dan kelebihan istri Rasulullah saw., yang lain.

Dalam beberapa riwayat Aisyah kerap sekali memuji Saudah. Ia pernah berkata,”Tidak ada seorang perempuan pun yang kuinginkan agar aku menjadi dirinya melebihi Saudah karena ketegasan dan kekuatan jiwanya.”(HR Muslim, Baihaqi dan Ibnu Hibban).

Selain itu Aisyah juga memuji Juwairiyah. Pada suatu kesempatan, ia berkata,”Demi Allah, aku harus mengakui kecantikannya. Dan aku tidak suka ia menemui Rasulullah saw., ketika itu. Aku pikir beliau pasti mengagumi kecantikannya, sebagaimana aku mengaguminya……”(HR.Hakim).

Pada suatu kesempatan lain Aisyah juga memuji Maimunah. Ia berkata,”Dia antara kami, Maimunah adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan paling gemar bersilaturahmi.” (HR.Hakim)

Dalam sebuah riwayat dari Urwah, ia berkata,”aku pergi mencaci Hasan di tempat Aisyah, tetapi Aisyah berkata,’Janganlah engkau menghinanya, karena dia juga pernah membela Rasulullah saw.” Padahal Hasan bin Tsabit adalah orang yang telah menyebabkan Aisyah jatuh sakit karena haditsul ifki

Itulah beberapa keterangan yang menunjukkan betapa Ummul Mukminin Aisyah ra., sangat menjaga diri untuk senantiasa menghindari ghibah. Sekalipun untuk menghindarinya tidaklah mudah. Akan tetapi, Aisyah memiliki keteguhan hati untuk tetap menjaga diri dari sifat ghibah tersebut.

Sifat mulia ini, tentunya harus senantiasa diteladani oleh kita semua, terutama kita sebagai muslimah yang kata Rasulullah wanita adalah terbanyak penghuni neraka, naudzubillah semoga kita tidak termasuk ke dalamnya, Aamiin. Siapa wanita yang tidak menginginkan menjadi wanita yang sholehah? Semua wanita yang masih memiliki keyakinan iman Islam pasti suatu ketika akan merasa ada jalan dimana bisa merasakan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Bersama Allah, karena Allah, sungguh saat kita bisa merasakan jiwa kita sangat dekat dengan-Nya kita akan merasa sangat damai, kedamaian yang dapat kita rasakan lebih daripada kita mencari cara lain agar jiwa kita merasa damai. Mulailah dari sekarang untuk kita sedikit demi sedikit belajar menghindari sifat tercela salah satunya ghibah yang memilki dosa besar. Karena hidup kita bukan hanya untuk dunia tapi Akhirat dimana kekekalan ada untuk selamanya.

Sumber : Syahid Ahmad Al Kasyaf. 2012. “Aisyah Sang teladan kekasih Allah”. Jakarta : Al Maghfiroh

Sayyidah Aisyah ra., dalam Berpakaian


 
Salah satu tanda kepribadian seseorang, bisa kita lihat dari bagaimana mereka berpakaian. Pada umumnya, hal tersebut memang memiliki keterkaitan yang cukup erat. Karena dalam hal berpakaian, jarang sekali yang memilih pakaian yang dikenakannya tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Terlebih, bagi mereka yang memegang erat prinsip-prinsip, “aji neng rogo, soko busono” atau “harga diri seseorang, dari pakaiannya.” Dalam hal berpakaian sendiri, terkadang memang setiap orang memiliki tolok ukur nilai yang berbeda-beda.

Di zaman modern seperti sekarang ini, kecenderungan pakaian yang diagungkan adalah pakaian-pakaian yang justru mengumbar aurat dan harganya mahal. Semakin minimnya bahan pakaian, sehingga auratnya bias di lihat orang lain, hal tersebut dinilai memiliki sensasi fashion modern dengan tingkat kualitas tinggi. Begitu pun juga dengan pakaian yang harganya mencapai jutaan bahkan ratusan juta rupiah, dianggap akan senantiasa menaikkan derajat harga diri pemakainya.

Dalam syariat Islam, nilai-nilai pakaian yang dianjurkan berbeda dengan nilai yang biasa diterapkan oleh Negara-negara Barat. Dalam Islam, tidak diperkenankan  memakai pakaian yang terbuka batas auratnya. Atau pakaian yang bolong, sehingga auratnya kelihatan. Dalam Islam, aurat adalah sesuatu yang harus dijaga dari pandangan orang-orang yang bukan muhrim. Karena hal tersebut bisa memacu nafsu sahwat, yang dibenci Allah SWT.

Allah  SWT berfirman :

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…….” An-nur : 31

 Rasulullah SAW, “Aku terbebas dari wanita yang menggundul rambut kepalanya, berteriak dengan suara keras dan merobek-robek pakaiannya (ketika mendapat musibah).” (HR. Muslim).

Selain itu, nilai pakaian yang bisa meningkatkan derajat orang muslim adalah perihal kebersihannya. Jadi dalam Islam, pakaian yang bagus, selain menutup aurat, juga harus bersih. Dalam artian bersih dari kotoran dan yang tidak terkena najis, sehingga bisa dipakai untuk sholat.

Dari Jabir ra., Rasulullah SAW pernah mengunjungi kami, lalu beliau melihat seorang laki-laki yang mengenakan pakaian kotor, maka beliau pun bersabda,”Orang ini tidak mempunyai sabun yang dapat digunakan untuk mencuci pakaiannya.” (HR Muslim)

Pakaian bagus dalam Islam bukanlah pakaian yang kepanjangan. Sehingga ketika dipakai ujungnya menjulur mengenai tanah. Pakaian yang demikian itu justru tidak disukai dalam Islam, karena rentan sekali terkena najis yang tidak diketahui.

Sayyidah Aisyah juga sangat memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Ia sebagai sosok yang sangat cantik, dengan kulit putih kemerah-merahan, dengan wajah yang berseri-seri, ia selalu mengenakan pakaian yang bisa melindungi auratnya, sehingga tidak bisa dilihat oleh orang lain yang bukan muhrim.

Dalam hal berpakaian, Aisyah juga mempertimbangkan keindahan pakaiannya. Indah bukanlah berarti harus mahal. Aisyah seringkali mengenakan pakaian yang diberi pewarna dari za’faran agar terlihat semakin indah. Selain itu, ia juga senantiasa menjaga pakaiannya agar senantiasa bersih dan suci. Setiap pakaiannya kotor, ia pasti langsung mencucinya hingga bersih. Baru ia kenakan kembali.

Seumur hidupnya pernah sekali Aisyah memiliki pakaian mahal, seharga sekitar lima dirham. Pakaian tersebut seringkali dipinjam oleh para pengantin saat mereka melangsungkan pernikahan. Selain itu, ia hanya memiliki pakaian biasa. Dengan demikian, Aisyah sekalipun seorang perempuan yang cantik, sekaligus istri Rasulullah SAW, hal tersebut tiidak membuatnya mengharuskan diri memakai pakaian yang mahal. Ia juga tidak memiliki banyak pakaian. Bahkan ia salah satu wanita yang sangat zuhud.

Hal ini tentunya sangat berbeda dengan gaya wanita-wanita modern seperti sekarang ini. Sehingga ia terus berganti-ganti pakaian di setiap kegiatan.

Akan tetapi sekalipun Aisyah hanya memilki pakaian sedikit dan hanya sekali memiliki pakaian yang mahal. Ia tetap menjadi sosok wanita yang sangat cantik dengan pakaian sederhana yang dikenakannya. Selain itu ia pun tetap menjadi salah satu wanita yang sangat dihormati di masanya. Dengan demikian, hal tersebut menjadi salah satu petunjuk bagi kita semua bahwasanya sejatinya keindahan sejati itu muncul bukan dari luar. Justru keindahan yang memancar dari dalamlah yang membuat siapa saja menjadi lebih cantik dan menawan.

Sumber : Syahid Ahmad Al Kasyaf. 2012. “Aisyah Sang teladan kekasih Allah”. Jakarta : Al Maghfiroh

Katakanlah Kesenangan Dunia Itu Hanya Sebentar


 
Jika Rasulullah adalah pemimpin bagi orang-orang bertaqwa, maka Fatimah tentu saja termasuk wanita yang paling bertakwa. Dalam kehidupannya yang sederhana, ia tetap mempertahankan imannya. Ia juga bersikap zuhud, merasa puas dengan apa yang ada dari dunia. Perhiasan dunia, di mata Fatimah tak lebih dari sebutir debu.

Fatimah sangat menyadari bahwa Ridha Allah SWT dan Rasul-Nya jauh lebih bernilai dari perhiasan dunia. Ia bersemboyan pada firman Allah : “…Katakanlah, kesenangan di dunia ini sebentar, dan akhirat lebih baik bagi orang yang bertakwa…”(QS. An Nisa : 77)

Karena itu maka akhirat menjadi tujuan utamanya, dan ia berusaha keras mencapai tujuan itu agar termasuk dalam orang-orang yang disebut Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh, sedang ia orang mukmin, maka mereka itu orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Isra : 19)

Fatimah Az Zahra terus menapaki jalan menuju ridha Allah bersama suaminya. Ia memilih hidup dalam keadaan zuhud, tidak berlebih-lebihan dalam urusan dunia. Ia mencintai kesederhanaan ketimbang bermewah-mewahan sama seperti ayahnya, Rasulullah yang mulia.

Ali sebagai contohnya, adalah sosok dari pemuda yang memiliki pandangan jauh ke depan. Dia dikagumi karena kepahlawanan, pengorbanan, dan sifat-sifat baik yang dia miliki. Membaca kisahnya seakan-akan itu fiksi padahal itu nyata. Ada dalam fakta sejarah bahwa manusia terbaik seperti itu pernah ada. Dhirar bin Dhamran al-Kinani berkata tentang Ali :

“Ali adalah sosok yang memiliki pandangan jauh ke depan. Kekuatan fisiknya tidak diragukan. Ucapannya menjadi penentram hati. Keputusannya memberikan keadilan. Ia tidak tertarik dengan kemewahan dunia. Ia lebih akrab dengan gelapnya malam. Mudah menangis karena takut kepada Allah. Pikirannya mendalam, ia sering melakukan instrospeksi diri. Ia senang dengan pakaian dan makanan yang kelas rendah. Melihat kepribadian dan sikapnya, banyak orang jahat bertaubat dan orang lemah menjadi punya harapan kembali.”

Sungguh, kata Dhirar, aku pernah melihatnya khusyu’ di suatu malam gelap gulita saat semua warga sudah tertidur lelap.

“Aku melihatnya khusyu’ di masjid sambil menangis tersedu-sedu. Aku mendengar ia mengucapkan,’Wahai kesenangan dunia, apakah kamu mencoba merayuku?’ Sungguh , aku tidak akan tergoda. Pergilah. Rayulah orang lain. Sungguh, aku tidak akan mendekatimu. Usiamu hanya sebentar dan hina pula. Namun kamu sangat berbahaya.” Demikian kata Dhirar bin Dhamran.

Sikap kesederhanaan dan zuhud terhadap dunia ini juga rasanya kita butuhkan saat ini. Sikap hedonism yang sangat terpukau dengan dunia patut dikikis pelan-pelan dan ditempatkan pada posisi yang rendah. Akhirat yang kekal saja yang harus menjadi perhatian kita semua, dengan tentu saja tidak melupakan rezeki dan kebutuhan kita di dunia.

Sumber
 Syukur, Yanuardi.2012.“Fatimah Az Zahra, Sosok wanita Paling Berpengaruh”.Jakarta : Al Maghfiroh.

Sabtu, 02 Februari 2013

Tersirat
karya Ria Adiana

Kesalahanku
membiarkanmu masuk kedalam hariku dengan mudah
Hingga ku tak tahu mulai kapan
ku terbiasa dengan kehadiranmu yang maya

canda dan tawa ku biarkan terjadi
meski ku tahu itu sebuah kesalahan
aku seorang pencari
masih pencari
hingga mungkin ku tak sadari yang kucari telah ku temukan
atau mungkin sebaliknya
yang telah ku temukan bukan yang ku cari

jika ada yang ingin bertemu
pasti akan bertemu
entah dengan cara apa mereka bertemu
seorang akan melihat penderitaan dibalik keindahan
namun jarang yang akan melihat keindahan dibalik sebuah penderitaan

aku ingin menggambarkannya
ketika cintaku laksana dedaunan kering di pepohonan
kelak ia akan gugur dan terbuang
terihat tak berarti kehadirannya
menyugihkan raut wajah tak mengenakkan pemiliknya

seperti halnya sebuah perasaan
mereka laksana kepingan kepingan kaca yang terbelah
mereka bisa disatukan kembali
namun tak akan sempurna
garis pecahan akan membekas dengan nyata

ku cukupkan cerita tentang cinta
yang belum di mulai
menghilangkan rasa yang sedang bermekaran
hingga waktu pun bertanya
kapan cerita itu pernah terjadi?

Minggu, 13 Januari 2013

Bidadari Untukmu

Karya Ria Adiana



Dear Dairy
Ku menatap diriku yang rapuh,
berlukiskan duka yang bersorak sorai tanpa lelah
Hembusan angin menerpa lalui luka hati yang perih,
Inginku sampaikan cerita tentang cinta yang hilang,  
Namun siapa yang akan mendengar?
Memulainya pun aku tak sanggup
Terlalu menampar kejadian itu
Hingga membangunkan rasa takut yang tertidur lelap
23 April 2012 “RA”
“Dik, dipanggil mama papa di ruang keluarga sekarang?” Ucapan Annisa membiaskan lamunan Rifana.
“Ada apa kak?” Tanya Rifana mengguratkan raut kebingungan karena melihat wajah kakaknya yang tidak biasa.
“Kakak gak tahu dik.” Annisa tersenyum tipis lalu menuju ruang keluarga.
Rifana sepertinya merasakan atmosfer ruang keluarga yang tidak mengenakkan saat ia hadir.
“Kenapa nilai kuliah kamu makin jelek?” Tanya papa tegas memulai pembicaraan. Rifana telah menyangka sang papa akan menanyakan tentang nilai-nilainya  yang menurun semester ini.
“Mata kuliahnya susah Pa.” Alasan klasik yang muncul begitu saja dari bibirnya yang mungil.
“Alasan saja kamu, kamu sendiri kan yang milih jurusan akuntansi, seharusnya kamu berusaha supaya nilai kamu lebih bagus daripada semester kemarin, pasti semuanya karena cowo itu kan? emangnya papa gak tau kalau kamu putus sama...siapa itu namanya?” Papa mengingat-ingat cowok yang sering datang ke rumahnya.
“Reyhan Pa.” Kata Rifana lesu.
“Iya Reyhan. Papa kan dari awal udah bilang jangan pacaran. Masih aja dilanggar, begini kan jadinya. Udah serius aja belajarnya, nanti jodoh biar papa yang cariin.” Tegas Papa
“Ih apaan sih papa, ini tuh bukan zaman Siti Nurbaya lagi gak usah jodoh-jodohin deh.” Ucapan sang papa nampaknya membuat Rifana gerah.
“Udah, papa gak suka dibantah terus. Kamu ini gak seperti kakak kamu.” Kata Papa sedikit meninggikan nada suaranya.
“Stop ngebandingain aku sama kakak, Pa.” Rifana menyadari bahwa ia tidak lebih baik daripada kakaknya, dari segi kepintaran Annisa mahasiswi kedokteran yang sangat berprestasi dan mendapatkan beasiswa dari kampus, Annisa juga berkerudung dan memiliki pribadi yang lembut dan sopan, Dia wanita yang sangat mandiri, Rifana sangat mengagumi dan menyayanginya namun Rifana tetap saja tidak suka dibanding-bandingkan.
“Sabar Pa jangan keras-keras sama anak.” Kata mama menengahi mereka, Annisa hanya bisa berdiam lesu, walau bagaimana pun Annisa sangat menyayangi adik yang hanya berbeda satu tahun dengannya itu.
“Kapan Papa pernah keras sama anak ma? Kalau anaknya gampang diatur, papa gak akan keras-keras begini.” Kata Papa berespon.
“Terus tabungan kamu kenapa habis?” Papa melanjutkan perkataannya. Bertambah lesu-lah Rifana mendengar pertanyaan sang papa.
 “Shooping Pa.” Kata Rifana sedikit ketakutan.
“Hmmm, Bagus ya kamu, sana shooping saja terus.” Papa bangkit dari duduknya, mengguratkan raut kekecewaan.
“Gimana mau shooping lagi, orang uangnya udah habis.” Jawab Rifana seakan tak bersalah.
“Ngejawabin saja kamu tuh. Sebagai hukumannya, papa memutuskan kalau mulai besok kamu harus ngekos.”
“Hah, ngekos?” Kepala Rifana terangkat kaget.
“Jangan potong pembicaraan Papa. Papa sudah sediain tempatnya. Selain ngekos, kamu juga gak boleh pakai mobil lagi karena kosan kamu dekat dengan kampus, setiap bulan papa hanya kasih  delapan ratus ribu, itu sudah termasuk untuk bayar kosan tiga ratus ribu. Gimana pun caranya harus cukup, Dan mama sama kakak gak boleh nambahin uang jajan ke Rifana, kalau ketahuan, Papa kurangin juga uang bulanannya.” Tegas Papa, ucapannya lantang dan membuat Rifana merasa diabaikan.
“Ah Papa gak asik nih, ngapain juga pake kos-kos segala.” Protes Rifana.
“Papa pingin kamu itu jadi mandiri, gak selalu bergantung sama orang tua.” Kata Papa menjawab.
“Ma, Kak, tolong aku sih.” Rifana menunjukkan tampang yang menyedihkan berharap mereka akan membelanya.
“Maaf dik, kakak udah bujuk papa tadi.” Jawab Annisa tertunduk lesu.
“Papa gak adil nih, mana cukup uang segitu sebulan. Nyebelin.” Ucap Rifana beranjak dari tempat duduk dan kemudian berlalu ke kamar. Sementara sang papa hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku putri bungsunya.
“Pa, apa tidak terlalu keras? Emang cukup uang segitu sebulan? Terus bukannya Fana nanti malah tambah nggak ke kontrol pergaulannya Pa?” Kata mama khawatir.
“Udah mama tenang saja, semuanya udah papa urus.” Kata Papa meyakinkan.
Di kamarnya, Rifana dengan sangat terpaksa mulai untuk mengepak baju-baju yang akan dibawanya. Tak lupa guling kesayangannya juga akan diangkut ke kamar barunya tepatnya kamar kosan. Saat sedang mengepak baju, tiba-tiba terdengar suara Kakak lelakinya.
“Kakak denger besok mulai ngekos ya?” Sapa Kak Gio. Giovani Putra adalah kakak pertama Rifana dan Annisa.
“Kak Gio, aku gak mau ngekos.” Rifana memang anak yang paling manja. Mengapa? Selain anak bungsu, terlihat perbedaan karakter yang sangat menonjol diantara ketiganya. Giovani, anak sulung dan sudah bekerja di perusahaan ayahnya. Sementara Annisa, anak kedua dan memiliki pribadi yang mandiri. Sedangkan Rifana, anak bungsu yang sukanya mengeluh dan hobi sekali shooping.
“Udah nikmatin aja.” Ucap Gio sambil tertawa ringan.
“Akh kakak mah bukan ngehibur adiknya malah diejek.” Kata Rifana kesal.
“Haha, kan kakak udah bilang belajar aja dulu yang bener, papa kalau udah marah emang begitu. Udah tenang aja, ngekos enak kok.” Kata Gio sok bijak.
“Enak apaan, makan sendiri, nyuci sendiri, setrika sendiri, enakan di rumah semuanya bibi yang ngurusin.” Keluh Rifana.
Gio hanya tertawa kecil melihat kejengkelan adik bungsunya itu.
******
Sampailah Rifana dan keluarganya di sebuah rumah bertingkat tepat di sudut samping kampusnya. Rumah itu cukup besar dengan halaman yang luas dan berpohonan banyak sehingga membuat atmosfer di sana begitu sejuk, dan di garasi yang terletak disebelah kiri bangunan rumah ada dua mobil dan dua motor berparkir. Rumah ini memang beda dari yang lain citra kemewahan dan kesederhanaan menyatu dan terpancar bila melihatnya. Di samping kanannya terdapat bangunan bertingkat dengan sepuluh pintu atas dan sepuluh pintu bawah. Bangunan itu sangat bersih dan yang menarik juga di tengah-tengah halaman terdapat saung di lengkapi dengan fasilitas televisi didalamnya.
“Nah ini kamarnya neng.” Kata Mang Udin, seorang pria setengah baya sembari membukakan pintu kamar kosan nomer sembilan yang terletak di bagian atas.
“Makasih Pak.” Jawab sang papa karena Rifana masih bengong melihat ukuran kamarnya.
“Iya. Kalau ada sesuatu, bisa memanggil saya ya Pak.” Mang Udin kemudian berlalu.
“Papaa, ini kecil BANGET kamarnyaaaaa.” Kata Rifana dengan penekanan di kata “banget”.
“Cukup kok, kan untuk kamu saja.” Ucap papa tersenyum mendengar perkataan anak bungsunya itu.
“Beda banget Pa sama di rumah.” Protes Rifana.
“Ya kamu jangan bandingin sama rumah dong cantik, jelas beda.” Kata Annisa.
“Kakaaaaakk.” Rifana langsung menyubit pinggang kakaknya dengan wajah cemberutnya.
“Yaudah yuk beresin barang-barang kamu.” Kata mama menengahi.
******
Bagai seekor pinguin yang dipaksa hidup dalam alam khatulistiwa, mungkin terlalu berlebihan untuk mengibaratkan keadaan Rifana malam ini. Ini adalah malam pertamanya berada di kosan. Terlihat ia sedang merasa jenuh dan memutuskan untuk menuju ke luar kamar dan melihat pemandangan. Suasana di luar cukup gelap meskipun udaranya sangat sejuk dikarenakan pohon-pohon besar yang sedang beraktivitas mengeluarkan oksigen mendominasi. Sesekali ia melihat bulan dan bintang bersinar menghiasi langit yang indah, yaa cukup membuatnya merasa segar dan tidak jenuh.
Tiba-tiba terlihat Pak Satpam membuka gerbang, sorot lampu dan suara motor ber-background hitam menghentikan sejenak sunyi sepi lingkungan barunya, masuk dan berparkir di garasi yang terbuka. Rifana terus memperhatikan sosok pria di balik helm hitam bercorak garis merah itu. Sosok pria tampan berwajah oriental, hidungnya mancung, kulitnya putih, berkacamata dan bisa dibilang dia mirip sosok Daniel Radcliffe pemeran Harry Potter yang populer itu, Seandainya Daniel Radcliffe karena suatu alasan tidak bisa memerankan sosok Harry Potter, David Heyman sang produser pasti mau menerimanya sebagai pengganti, sayangnya tidak mungkin karena film itu telah berakhir beberapa tahun lalu.
Kembali ke sosok sang pria bewajah oriental, wajahnya sangat teduh, kesejukan wajahnya mengalahkan sejuknya udara sekitar. Dia berjalan menuju pintu masuk, Rifana terus memperhatikan sosok pria itu seperti terhipnotis, sebelum memasuki teras rumah sang pria menghentikan langkahnya sepertinya ia menyadari ada yang memperhatikannya. Bersamaan ia menoleh ke arah Rifana, Rifana cepat-cepat kembali ke kamar dan menutup pintu kamarnya.
******
Hari ini telah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit pagi. Sementara Rifana akan memulai perkuliahan pukul delapan pagi. Ia hampir saja telat mungkin karena semalam ia tidak bisa tidur karena belum bisa beradaptasi dengan kamar barunya. Rifana panik mengingat bahwa sekarang yang mengajar pada jam pertama adalah Ibu Beta yang terkenal killer dan tak memiliki ampun jika ada mahasiswa yang terlambat.
“Huhft... Hampir telat, harus buru-buru.” (Bisiknya dalam hati)
Rifana terus memperhatikan jam tangannya dan berjalan setengah berlari menuju ke ruang kuliahnya. Karena tidak berhati-hati, ia menabrak seorang wanita yang sedang berjalan bersama dengan kekasihnya.
“Sori ya.” Rifana mendongakkan kepalanya dan hatinya berdegup kencang, wajahnya pucat pasi, matanya tidak berkelip melihat dua makhluk yang membuat mimpi buruknya menjadi nyata namun ia berusaha mengendalikan emosi agar terlihat tidak pernah terjadi sesuatu. Ya ada Reyhan dan Laras, kekasih baru Reyhan yang menjadi alasan hubungan Rifana dan Reyhan berakhir.
“Iya nggak papa kok. Lo Zahra kan, kita ketemu beberapa hari lalu di Jalan Darmawangsa. Inget gak?” Sapa Laras dengan senyumannya yang sumringah dan sedang berusaha mengingatkan Rifana. Sementara Reyhan hanya terdiam datar.
“Oh iya. Laras?” Tanya Rifana datar.
“Iya. Makasih ya yang kemarin Zahra.” Ucap Laras dengan simpul senyumannya yang merekah.
“It’s ok. Sori gue duluan ya, buru-buru.” Singkat Rifana bergegas menjauhi dua makhluk yang sedang falling in love itu.
“Bodo amat lo mau manggil gue, Rifa, Ana, Fana, Zahra atau apa ke yang penting gue gak mau berurusan lagi sama lo berdua.” (Keluhnya dalam hati.)
“Woy gelamun aja.” Teriak Lala, si gembul sahabat baik Rifana yang berada di ruang kuliah.
“lo ngagetin aja sih La.” Rifana terlihat kesal sementara Lala hanya cengar cengir dan kemudian wajahnya menjadi tampak serius seperti polisi yang sedang menyelidiki pelaku kejahatan.
“Fan, lo gak papa kan?” Tanyanya serius.
“Gak papa kenapa?” Jawab Rifana terheran-heran.
“Lo udah denger berita si Reyhan kan?” Ucap Lala hati-hati.
“Ooh itu, udah kok. Santai aja kali La. Gue udah gak perduli lagi.” Mungkin hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk menutupi betapa sakitnya ia.
“Nah itu baru namanya sohib gue.” Pujian untuk Rifana dengan tepukan tangan Lala yang mendarat di punggungnya.
“Aw, sakit gembul.” Teriak Rifana refleks.
“Hehehe....Bisa kali traktir Fan.” Kata Lala cengengesan.
“Traktir dalam rangka apa?” Jawab Rifana kebingungan.
“Putus. hahaha” Tawa Lala menggelegar seantero ruangan seperti kuntilanak yang baru saja dapat lotre.
“Sialan lo. Parah banget.” Responnya jengkel.
“Sori...Sori bercanda.”
“Eh iya, lo emang beneran ngekos?” Kata Lala mengalihkan pembicaraan.
Rifana hanya mengangguk pelan.
“Kok bisa?”
“Ceritanya panjang La.” Ucapnya tertunduk lesu.
Perkuliahan pun dimulai, Rifana mengikuti perkuliahan dengan serius sepertinya ia tidak mau main-main lagi dengan masa depannya. Hukuman dari papanya cukup membuat dia kapok dan tidak ingin merasakannya lagi.
Setelah perkuliahan akuntansi selesai, makhluk makhluk memakai jaket almamater kebanggaan kampus memasuki ruangan kuliah mereka. Dengan penampilannya yang terlihat sangat wibawa.
“Selamat pagi semua.” Sapa seorang laki-laki diantara mereka.
“Pagi.......”
“Sori ganggu waktu kalian sebentar. Kenalin Gue Dimas. Kita dari BEM mau ngasih tahu kalau kampus kita akan mengadakan BAKSOS AKBAR yang memang sudah rutin diadakan setiap tahunnya. Nah, maksud kedatangan kita ke sini mau nyampein kalau kita butuh banyak orang yang mau dengan ikhlas jadi personil kemanusiaan pada acara tersebut. Dan kita harap, banyak diantara kalian yang mau ikut serta. Bagi siapa aja yang bersedia, kita tunggu kehadirannya di Aula Pertemuan jam dua siang untuk rapat pertama baksos akbar. Sekian pemberitahuan ini, apa ada yang ingin ditanyakan.”
“Kak, ada syarat tertentu gak supaya bisa ikut jadi personil Baksos?”
“Oh gak ada kok dik. Kita gak matokin syarat buat yang mau berpartisipasi dalam acara ini. Apa ada lagi.”
Suasana hening beberapa saat, menandakan tidak ada mahasiswa lagi yang ingin bertanya.
“Oke kalau gak ada lagi yang mau bertanya. Kita tunggu kehadirannya ya.  Selamat pagi.”
“Pagi............”
“Fan, ikut yuuuukkk.” Tiba-tiba Lala dengan hebohnya  yang menggelegar seantero ruangan.
“Gak akh males.” Respon Rifana yang datar menolak ajakan itu.
“Kegiatannya positif loh Fan. Seru pastinya.” Bujuk si gendut Lala.
“Kok tumben banget lo ngomong gitu, setiap tahun juga lo gak pernah ikut. kenapa tahun ini tiba-tiba kepingin ikut?” Kata Rifana sinis.
“Ya setiap orang bisa berubah kali Fan. Gak ada salahnya juga kita jadi personil kemanusiaan, terus nanti kita turun ke jalan dengan jaket almet kita yang bikin kita kelihatan WAH, pokoknya kita kayak pahlawan Fan di sana.” Kata Lala sambil memeperagakan body language seperti layaknya pahlawan.
“Lebay lo.” Ucap Rifana datar.
“Ya kan biar lo ikut. Oh iya Fan, panitianya kan pasti dapet konsumsi tuh. Nah, lo kan ngekos, itung-itung ngirit pengeluaran kan?” Entah apa yang dipikirkan Lala hingga terbesit pemikiran seperti itu.
“Iya juga ya?” kata Rifana setengah sadar namun kemudian, “Ih apaan sih. Lo niatnya udah gak bener nih.”
“Hahaha, ya kan gue cuma kasih saran, abis lo susah banget diajakinnya. Ikut ya please ! Itung-itung isi kegiatan Fan. Ayolaah !” Bujuk Lala dengan mengoyak-ngoyak pundak Rifana.
“Iya iya gue ikut.” Kata Rifana pasrah.
“Nah gitu dong.” Lala tersenyum puas.
“Yaudah ntar ketemu di Aula yah, sekarang gue mau ketemu kakak gue dulu.”
“Sip Fan.”
******
Rifana menuju taman kampusnya. Taman kebanggaan Universitas Indonesia Muda yang terletak sangat strategis di pusat gedung-gedung kampus yang mengelilinginya. Tepat di tengah taman terdapat kolam besar yang ada air mancurnya. Setiap malam air mancur itu bergoyang dan bercahayakan lampu warna-warni membuat pemandangan malam di kampus mempesona.
“Tadi aku ketemu Rey sama ceweknya kak.”
“Lalu?”
“Aku gak sengaja nabrak mereka. Dan ternyata cewek itu adalah cewek yang aku tolongin kemarin waktu dia hampir ketabrak mobil kak.”
“Lalu?”
“Kayaknya cewek itu gak tahu kalau aku mantannya Rey kak. Cewek itu bilang terima kasih ke aku.”
“Lalu?”
“Kakak mah lalu terus yang diucapin. Datar banget.”Kata Rifana kesal.
“Hahaha. Ya lalu perasaan kamu gimana waktu ngeliat mereka. Bukannya itu yang penting?” Kata Annisa meyakinkan.
“Aku gak tahu kak. Rasanya sakit disini.” Kata Rifana memegang dadanya.
“Nanti juga lama-lama gak sakit kok.” Sekali lagi Annisa berusaha meyakinkan.
“Kakak yakin?” Lirih Rifana dengan lusuhnya.
“Yakin kok. Kamunya juga harus yakin dong.”
“Mudah-mudahan aja kak.” Dengan tampang lusuh menatap kosong ke arah air mancur.
“Yaudah gak usah dipikirin. Udah makan belum?” Tanya Annisa memperhatikan.
“Belum. Kakak udah makan?” Jawab Rifana lesu.
“Belum. Yaudah kakak traktir makan yuk.” Ucap Annisa menawarkan.
“Nah ini dia kata-kata yang aku tunggu kak. Hahaha” Kata Rifana tertawa senang sambil menggandeng tangan kakaknya menuju kantin.
“Dasar anak kosan.” Annisa menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil.
“Heh, jangan panggil aku anak kosan yaa.”
******
Banyak terlihat para mahasiswa dan mahasiswi yang tertarik dengan kegiatan bakti sosial ini. Aula Pertemuan hampir ¾ nya terisi penuh oleh mahasiswa. Rifana dan Lala berada pada posisi baris kedua dari belakang. Meskipun Lala membujuk Rifana untuk mengisi barisan paling depan untuk eksis katanya namun Rifana bersikukuh duduk di belakang saja. Terlihat makhluk-mahluk ber-almet itu berkeliling mendata identitas mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.
Seorang wanita berjilbab dan berkacamata dengan almet kebanggaan kampus mulai berbicara di depan podium.
“Assalamualaikum Warohmatullahiwabarakatuh.”
“Waalaikumsalam Warohmatullahiwabarakatuh.”
“Selamat siang teman-teman mahasiswa yang berbahagia. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada kalian semua yang hadir di sini. Insya Allah langkah kalian menuju ruangan ini dengan niat yang ikhlas akan mendapatkan balasan yang baik dari Allah. Aamiin. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim, Rapat pertama Baksos Akbar 2012 kami buka. Teman-teman semua, untuk mengefektifkan waktu, langsung saja kepada Ketua BEM Universitas Indonesia Muda, Muhammad Dani Aldiansyah untuk memimpin pertemuan ini. Kepadanya kami persilakan.”
Dani dengan kaos coklatnya yang diselimuti almet kampus dengan gagahnya menuju podium.
 “Se-cuek apa gue selama ini sampai gak tau kalau cowok yang semalam adalah ketua BEM di kampus gue sendiri.” (bisik Rifana dalam hati)
“Assalamualaikum Warohmatullahiwabarakatuh. Puji serta sukur kita sampaikan kehadirat Allah, Sang Pemilik Alam Semesta ini yang telah memberikan kita semua kesehatan sehingga dapat berkumpul di Aula ini. Jazakhair akhi dan ukhti karena telah hadir dan menjadi bagian dalam kegiatan ini. Alhamdulillah tahun ini banyak sekali mahasiswa dan mahasiswi yang terketuk hatinya untuk mengikuti kegiatan yang sangat bermanfaat ini. Setelah didata oleh panitia utama ternyata jumlah kalian semua mencapai 250 orang yang terdiri dari 103 akhi dan 147 ukhti, jumlahnya meningkat dibanding tahun lalu.
Teman-teman semua, seperti tahun lalu Baksos Akbar ini akan diadakan tersebar di 5 wilayah Jakarta, JakPus, JakSel, JakUt, JakTim dan JakBar. Dan lima wilayah besar itu pun akan terbagi lagi ke 5 wilayah lokal. Jadi kita semua akan tersebar dalam 25 wilayah. Adapun tema Baksos tahun ini adalah ‘Give a point happiness smile for them’. Dan untuk mengefektifkan waktu, bisa dilihat dilayar, Kita sudah terbagi dalam 25 kelompok besar dan tertera dibawahnya wilayah Baksos. Masing-masing kelompok akan berkumpul sendiri-sendiri. Adapun mekanisme acaranya adalah kita, 25 kelompok, akan tersebar ke dalam 25 wilayah mulai pukul delapan kita sudah stand by di tempat dan langsung memberikan bantuan kepada anak jalanan dan kaum duafa disana, setelah itu jam 12 kita kumpul di Rumah Peduli Universitas Indonesia Muda tepat dua kilometer dari kampus kita untuk mempersiapkan acara inti pada malam harinya. Saya harap setiap kelompok dapat menentukan ketua yang akan bertanggungjawab di wilayah masing-masing dan juga jaga kekompakkan kalian dalam kelompok demi kelancaran dan kesuksesan acara ini. Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahiim Persiapan Baksos Akbar Universitas Indonesia Muda tahun 2012 dibuka. (hadirin bertepuk tangan) Demikianlah yang dapat saya sampaikan kurang dan lebih mohon maaf. Wassalamualaikum Warohmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumsalam Warohmatullahiwabarakatuh.”
“Yah, Fan kita gak sekelompok.” Keluh Lala tiba-tiba.
Rifana terdiam melihat layar besar di Aula. Matanya tak berkedip melihat Tulisan : Kelompok 17 Wilayah Rawamangun Jakarta Timur. Anggota : Acha Oktavya, Muhammad Dani Aldiansyah, Fika Wardhana, Joko Susanto, Meylani Septria, Purnama Larasati, Reyhan Raditya,  Rifana Azzahra, Siti Aisyah Putri, Wendi Hardiansyah.
“Fan, Rifana.” Teriak Lala sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah Rifana.
“Hah.” Sekali lagi Lala membiaskan lamunan Rifana.
“Kok bengong? Kita gak sekelompok tau.” Kata Lala mengulang.
“Itu liat gue sekelompok sama siapa?” Kata Rifana lemas.
“Emang lo kelompok berapa?” Tanya Lala.
“17.” Jawab Rifana singkat.
“Hah? Rey sama Laras?” Mata Lala terbelalak melihat nama mereka berdua sementara Rifana hanya tertunduk lesu.
“Cobaan apalagi ya?” Rifana bertanya pada dirinya sendiri.
“Sabar ya Fan.” Lala sebagai sahabat hanya bisa menyemangati Rifana.
“Tenang Fan, Tenang. Okee...Everything is gonna be ok. Semangaat.” Ucap Rifana sambil menarik nafas panjang dan dalam yang kemudian diikuti kepalan tangan layaknya gaya para pemuda pejuang kemerdekaan Indonesia sambil meneriakkan kata “MERDEKA”.
“Yaudah, gue kumpul di kelompok dulu ya.” Kata Rifana bersemangat dan berlalu meninggalkan Lala yang bengong melihat tingkahnya.
“Dasar aneh.” Ucap Lala tersenyum.
******
Setiap kelompok sibuk dengan persiapan kegiatannya masing-masing. Begitu juga dengan Rifana dan kelompok 17 nya. Kelompok tersebut tidak lain dan tidak bukan di ketuai oleh Muhammad Dani Aldiansyah sang ketua BEM. Mereka sangat sibuk mempersiapkan barang-barang keperluan Baksos. Di samping itu Rifana selalu merasa panas hatinya dalam kelompok tersebut, bagaimana tidak ia harus melihat pria yang telah menjalin cinta bersamanya selama 4 tahun sekarang telah berdampingan bersama wanita lain.
Setelah selama dua minggu mempersiapkan segalanya sampailah mereka pada hari itu. Ketua Panitia kegiatan membuka acara dan bersama-sama berdoa demi kelancaran acara tersebut. Setelah itu mereka bersiap dengan kelompoknya masing-masing menuju lokasi baksos.
“La, hati-hati ya sampe ketemu di Rumah Peduli.” Kata Rifana.
“Iya, yang seharusnya ngomong gitu tuh gue, lo yang hati-hati jangan panas melulu oke.” Kata Lala cengar-cengir.
“Ikh lalaaa gue lagi serius.” Rifana jengkel.
“Hehe, iya iya udah sana. Noh Kak Dani udah teriak-teriak manggilin kelompoknya.” Lala memperingatkan Rifana.
“Oh iya. Gue duluan ya.” Kata Rifana berpamitan.
“Iyaaa.” Jawab Lala singkat.
*******
Kelompok dimana Rifana berada sekarang sudah sampai lokasi baksos. Tepat di bawah Fly over Pemuda daerah Rawamangun. Terlihat banyak pengemis, pengamen dan anak jalan serta warga yang kurang mampu disekitar fly over berkumpul menunggu gilirannya dipanggil. Setiap tingkatan usia dan profesi diberikan sumbangan yang berbeda pula jenisnya. Seperti anak-anak jalanan mereka mendapatkan tas dan peralatan tulis, sementara para pengemis dengan hidup yang kekurangan diberikan bahan-bahan makanan pokok seperti beras, minyak goreng, mie, susu, telur, dll.
Entah apa yang dirasakan Rifana pada saat itu. Ini pertama kalinya ia mengikuti kegiatan kemanusiaan dalam hidupnya. Rasanya aneh. Dihadapannya banyak orang dengan senyuman di wajahnya yang merekah. Anak-anak yang tertawa riang tanpa beban, tanpa memperdulikan baju lusuh dan kotor yang melekat di badan, debu dan asap kendaraan yang yang mencoreng muka mereka. Balita-balita tak berdosa yang berada dalam gendongan sang ibu yang tak lain adalah seorang pengemis, bagaimana saat mereka beranjak besar nanti. Tiba-tiba memori dalam otaknya kembali diputar.
“Pa, masa kuliah bajunya itu-itu aja sih. Beliin yang baru ya.” Keluh Rifana.
“Seminggu kemarin kan udah papa kasih buat beli baju.” Jawab Papa tenang.
“Kurang pa.” Jawab Rifana.
“Pake aja yang lama. Kan masih pada bagus.” Lagi-lagi sang papa menjawab dengan tenang.
“Ah papa mah pelit banget.”
-----
“Terus tabungan kamu kenapa abis?” Papa melanjutkan perkataannya.
“Shooping Pa.” Kata Rifana sedikit ketakutan.
“Hmmm, Bagus ya kamu, sana shooping aja terus.” Papa bangkit dari duduknya, mengguratkan raut kekecewaan.
“Gimana mau shooping lagi, orang uangnya udah abis.” Ucap Rifana innocent.
-----
“Papaa, ini kecil BANGET kamarnyaaaaa.” Keluh Rifana.
“Cukup kok, kan untuk kamu aja.” Ucap papa tersenyum mendengar perkataan anak bungsunya itu.
“Beda banget Pa sama di rumah.” Protes Rifana.
-----
“Bajunya mau dikemanain de.” Tanya Kak Gio melihat sebuntal kain yang berisi baju-baju bekas yang sudah tak terpakai milik Rifana.
“Mau dibuang kak.” Jawab Rifana santai.
“Kenapa dibuang?” Tanya Kak Gio lagi.
“Lemarinya udah kepenuhan kak. Ini juga bajunya udah kekecilan.” Kata Rifana yang masih saja menambahkan baju bekas dari lemari bajunya.
“Kenapa gak disumbangin aja bajunya?” Usuk Kak Gio.
“Ribet kak, nanti juga ada yang ngambil di tong sampah.” Kata Rifana enteng.
-----
Dadanya menjadi sesak, tenggorokannya seperti tercekik melihat betapa banyaknya orang yang tidak lebih beruntung daripadanya. Orang-orang yang hanya dipandang sebelah mata melalui kaca mobilnya selama ini. Kemudian matanya terpencar melihat ke sekeliling dan berhenti pada sosok seorang ibu tua yang sedang menunggu anaknya tertidur tepat dalam naungan tiang besar penyangga jalan layang dengan wajah yang terus memperhatikan kerumunan orang-orang yang sedang mengantri. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung mengambil 2 bungkus nasi kotak dan bahan-bahan makanan pokok menuju seorang ibu tua yang menatap kosong ke kerumunan orang yang sedang berkumpul, wajahnya seperti menyimpan duka yang sangat mendalam.
“Ibu kenapa gak ikut ngumpul di sana?” Tanyanya ramah.
“Anak saya lagi tidur neng. Saya gak tega ninggalnya.” Jawab Ibu tua itu, nampak sekali cinta seorang ibu yang terpancar dari wajahnya.
“Oh begitu ya, Bu. Ini bu ada nasi kotak sama makanan. Semoga bermanfaat ya, Bu.” Kata Rifana menyodorkan dua kotak nasi beserta bahan makanan pokok. Nampaknya hatinya sedang seperti malaikat hari ini, pasalnya tak pernah dalam hidupnya memperhatikan orang kecil.
“Makasih ya neng. Makasih banyak.” Kata Ibu tua tersebut sambil menjabat tangan Rifana.
“Iya ibu.” Rifana tersenyum melihat rona wajah bahagia di pipi sang Ibu, ada desir hebat yang mengalir di dadanya.
Tiba-tiba muncul dua orang pemuda dengan penampilan layaknya seorang preman. Celana jeans mereka robek-robek.Terlihat lidah dan telinganya yang ditindik serta terpasang anting-anting. Yang satu memakai topi dan yang lainnya tidak.
“Wah ada cewek cantik nih.” Kata yang memakai topi.
“Jangan ganggu kami bang.” Kata Ibu tua itu memohon kepada kedua pemuda itu.
“Jangan ikut campur deh lu ibu tua.” Kata yang satunya sambil mendorong tubuh ibu tua itu dengan keras.
“Ibu.” Teriak Rifana spontan.
“Heh, jangan kasar dong. Mau lo berdua apa sih hah?” Teriak Rifana kepada mereka.
“Aduuuh buset dah, kalo marah makin cantik aja neng.” Kata pemuda yang memakai topi sambil mencolek dagu Rifana. Sepertinya mereka mulai bertindak tidak sopan.
“Ih apaan sih kurang ajar banget.”
“Udah neng ikut abang aja yok.” Kata yang tidak memakai topi meraih tangan Rifana.
“Ih apaan sih, lepasiin.” Rifana memberontak, ia ketakutan dan kemudian berlari menjauhi pemuda tersebut. Namun kedua pemuda tersebut tidak membiarkan Rifana begitu saja melarikan diri. Mereka mengejar Rifana. Sang Ibu tua yang melihat kejadian itu langsung berteriak minta tolong.
Rifana terus berlari menyelusuri jalan yang asing baginya. Permukiman kumuh yang hampir tidak bisa disebut sebagai sebuah rumah, pendek dan sempit. Rifana semakin menjauh dari tempat baksos berlangsung namun pemuda tersebut masih saja mengejar Rifana. Nafasnya terengah-engah, detak jantungnya sangat cepat. Ia sangat ketakutan, sangat. Namun sialnya jalan yang ia ambil malah berujung pada jalan yang buntu. Ketakutannya semakin menjadi tatkala ia melihat dibelakangnya dua pemuda tersebut terlihat begitu menyeramkan.
“Haha, mau kemana lagi neng?” Kata pemuda tersebut dengan mata yang dipenuhi hawa nafsu.
Rifana berteriak minta tolong sekeras-kerasnya namun tak ada yang mendengar. Pria itu mendekat, berusaha melepas jaket almet yang Rifana kenakan. Rifana melawan dengan sisa tenaga yang ia punya. Namun semakin ia melawan, perlakuan pemuda itu terhadapnya semakin kuat. Ia menangis, menunduk dan terus berteriak minta tolong. Saat kedua pemuda itu hendak mendekat seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya tiba-tiba terdengar pukulan yang sangat keras.
Bug........
Dani datang dan langsung memukul pemuda yang berada sangat dekat dengan Rifana.
“Hm, ada yang mau cari mati rupanya.” Kata pemuda yang memakai topi.
Perkelahian tidak dapat dihindarkan. Dua lawan satu, itu yang terlihat dari sepasang bola mata yang berkaca-kaca milik Rifana. Dani sempat beberapa kali terkenal pukulan keras diwajahnya. Beberapa saat setelah Dani datang, ternyata Reyhan juga ikut mengejar Rifana. Tak tahu apa yang sebenarnya ada dalam benak Rey. Rey langsung mengambil jaket almet Rifana dan memakaikan ke tubuh Rifana yang gemetar ketakutan. Baru saja Rey akan membantu Dani melawan kedua pemuda tersebut namun pemuda tersebut langsung kocar-kacir menjauhi mereka bertiga.
Rifana, matanya merekam semua hal yang dilihatnya tadi. Matanya masih berkaca-kaca. Sesaat bibir mungilnya mengucapkan sesuatu kepada pria dihadapannya. Seorang pria yang sejak sedetik yang lalu dinobatkannya sebagai pahlawannya.
“Kak Dani... terimakasih.” Ucapnya terbata-bata.
“Iya. Seharusnya kamu bisa mengkondisikan pakaian dengan tempat kita baksos sekarang. Lain kali tolong lebih tertutup.” Jawab Dani yang kemudian berlalu tanpa melihat ke arah Rifana sedikit pun.
What ? Apa yang sebenarnya yang ada dalam pikiran Dani? Perkataannya cukup membuat Rifana diam dan menatap tak percaya ke arahnya. Bahkan Reyhan yang ada di samping Rifana dan dari tadi berkoar menanyakan keadaan dirinya pun hanya dijawabnya dengan gelengan kepala. Bukannya perhatian Rey adalah hal yang seharusnya membuat Rifana senang? Rey yang semenjak memutuskan hubungan dengannya dan tidak pernah lagi menghubunginya, sekarang justru ada disampingnya untuk menolong dirinya.  Namun yang ada dalam benak gadis tersebut sekarang adalah tentang Ucapan Dani. Mengapa pria itu sungguh berbeda? Bahkan dia tidak memandang Rifana sedikit pun.
“Apa yang salah dengan pakaianku?” bisiknya dalam hati dengan langkah gemetar kembali ke lokasi baksos.
Ya, Rifana memang tidak memakai rok mini seperti para personil Cherry Belle saat manggung atau memakai tangtop super ketat seperti miliki Jupe, dia hanya memakai dress bahan jeans dengan dada tertutup dan panjangnya 3 cm diatas lutut, meskipun lengannya terlihat karena lengan dressnya hanya sampai bahu namun Rifana memakai almet kampus yang menutupi seluruh tangannya. Dia merasa itu sudah cukup. Namun tidak di mata Dani yang telah menempuh pendidikan di Pesantren Darussalam Surakarta selama 3 tahun.
*****
Tepat pukul 12 siang, seluruh kelompok berkumpul di rumah peduli. Rumah peduli milik Universitas Indonesia Muda cukuplah besar, bangunannya seperti sekolah, terdiri dari 3 lantai yang membentuk persegi dengan kantor utama terletak pada bagian depan sementara bangunan leter U berada dibelakangnya, ruangannya pun seperti sebuah kelas namun isinya bukanlah kursi, meja dan papan tulis namun tempat tidur bertingkat dan lemari pakaian. Ditengah-tengah gedung terdapat lapangan bermain yang disudut kanannya terdapat taman bermain ayunan untuk anak-anak selain itu disekeliling depan kamar bawah terdapat taman hijau dan kolam ikan. Rumah peduli dihuni oleh para anak jalanan yang tidak memiliki keluarga, usianya beragam dari bayi dan ada yang telah dewasa dan ikut membantu keperluan adik-adik yang berusia dibawahnya.
Berita mengenai Rifana yang hampir saja dikerjai oleh dua pemuda nakal telah menjadi pembicaraan umum dikalangan mahasiswa panitia baksos.
“Fan, lo gak papa.” Lala menghampiri Rifana yang sedang duduk termenung di taman hijau dan menatap kolam ikan.
“Nggak papa kok La.” Jawar Fana singkat.
“Katanya tadi Kak Dani sama Rey nolong lo ya?” Tanya Lala menginterogasi Rifana tentang kebenaran berita yang menyebar.
“Kayaknya Lala gak perlu tahu tentang perkataan Dani tadi.” Bisiknya dalam hati.
“Fan...kok bengong ?” Tanya Lala penasaran.
“Iya tadi Kak Dani sama Reyhan dateng nolong gue.”Jawab Rifana menegaskan.
“Lo pasti syok banget ya Fan.” Ucap Lala yang langsung memeluk Rifana.
“Gue udah gak papa kok La. Lepasin dong gue gak bisa napas nih.” Kata Rifana merasa sesak akibat pelukan tubuh Lala yang besar.
“Hehe, yaudah mending kita bantu-bantu panitia yang lain yuk buat acara nanti malam?” Ajak Lala.
“Ayo.” Respon Fana singkat.
Namun karena mahasiswa dan mahasiswi yang terlibat dalam kegiatan tersebut sangatlah banyak maka hanya puluhan mahasiswa yang menghandle untuk mempersiapkan panggung kecil-kecilan untuk acara ceramah nanti malam. Sementara mahasiswi membantu menyiapkan makanan.
Karena tidak ada kerjaan, Rifana berkeliling Rumah peduli. Inilah pertama kali ia menginjakkan kakinya di Rumah Peduli milik kampusnya, selama berkuliah tak pernah ia memperdulikan kampusnya, apalagi masalah sosial seperti itu. Selama ini yang Rifana tahu adalah kuliah, Reyhan dan Jalan-jalan.
Sehari saja mampu membuat otaknya terasa penuh dengan hal-hal baru yang harus dipikirkannya. Hal-hal yang menggugah jiwanya dan merasakan bahwa dirinya adalah makhluk yang paling tidak bisa bersyukur. Kemudian langkah Rifana terhenti di sebuah kamar, terdengar beberapa suara tangisan bayi di sana. Ia melihat sekilas lewat jendela yang tingginya tidak lebih dari bahunya. Ia melihat ada sepuluh tempat tidur bayi yang diisi hanyalah sembilan, terlihat enam bayi sedang tertidur pulas, masih lugu tak ada yang menjadi beban dalam hidupnya, sementara tiga bayi lainnya sedang menangis dan ada dua orang perempuan sepertinya mereka ditugasi untuk mengurusi bayi-bayi mungil tersebut. Rifana memberanikan diri untuk menghampiri mereka.
“Permisi ibu. Lagi sibuk ya?” Tanya Rifana ramah.
“Eh neng, iya ini dari tadi bayinya nangis mulu. Biasa, haus minta susu.” Jawab sang ibu menceritakan kondisi.
“Ibu, saya boleh tanya-tanya sesuatu?”
“Neng mau nanya apa? Silakan neng !”
“Bayi-bayi di sini berasal dari mana ya, Bu?”
“Ada yang tiba-tiba muncul di gerbang Rumah, ada yang dari jalanan. Ya darimana aja neng, kita mah tinggal ngurusin aja.”
“Hmm, ibu gak ada yang tau orang tua dari mereka?”
“Gimana mau tau neng, bayi disini mah, maap ya, istilahnya ‘dibuang’ sama orang tuanya, gak ada yang mau ngaku. Kasian !”
“Oh gitu ya, Bu. Ibu udah lama kerja disini?”
“Iya neng, semenjak Rumah Peduli ini dibangun ibu udah disini.”
“Lama juga ya Bu.” Kata Rifana yang tiba-tiba salah satu bayi didekat ia berdiri menangis.
“Adik, kenapa nangis?” Rifana tersenyum mengelus pipi sang bayi yang kemudian bayi tersebut tertawa tak menangis lagi.
“Loh ketawa. Lucu banget.” Katanya melihat seorang bayi perempuan yang sedang menangis.
“Kayanya si Lisa suka sama neng.” Kata ibunya melihat ekspresi sang bayi.
“Wah namanya Lisa ya. Cantiknya !”
“Walaupun dari jalanan, tapi mereka terlihat terurus sekali ya Bu?” Ucap Rifana melanjutkan.
“Iya neng, alhamdulillah walaupun banyak anak-anak yang tinggal disini tapi kebutuhan bayi disini terjamin.”
“Ibu, Makasih banyak ya udah mau jawab pertanyaan saya. Saya permisi keluar dulu ya Bu.” Kata Rifana ramah.
“Iya neng sama-sama.” Ucap sang ibu dengan senyumnya yang tulus.
Rifana beranjak keluar ruangan, berjalan dengan beribu pertanyaan dalam otaknya. Bayangan-bayang bayi mungil terlintas jelas dalam pikirannya.
“Kalo seandainya aku yang jadi bayi itu gimana? Kalo seandainya papa mama bukan orang tua aku dan aku beranjak dewasa tanpa tau orang tua kandungku gimana? Apa aku kuat?” Bisiknya dalam hati mengalirkan air mata di pipinya.
“Papa, mama, aku kangen.” Hati kecilnya berkata lirih.
******
Hari ini sangat melelahkan bagi semua panitia kegiatan Baksos Akbar termasuk Rifana. Sesampainya dikosan, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, dibalik malam yang gelap dan dingin tanpa cahaya bulan ia mencoba menghilangkan getir-getir ketakutan yang tersisa dalam jiwanya. Namun apa yang selalu terlintas? Sosoknya kembali muncul.
“Aduuuh, kenapa keingetan kak Dani terus?” Katanya terlihat lesu.
“Dia itu memang beda.” Cuma itu yang bisa ia nilai dari seorang Dani, ‘berbeda’
Rasa itu muncul kembali namun dengan sosok cinta yang berbeda. Semudah itukah? Ia mengalir hebat dalam tubuh, sangat bersahabat menyatu dalam jiwa hingga mendetakkan jantung dengan sangat cepat. Cinta, kadang kehadiraannya tak ada yang tahu. Kapan ia menyelinap masuk ? Dan kapan ternyata dia sudah menduduki singgasana jiwa yang dibuat gundah? Lalu mengukir setiap kata penuh makna yang mewakili kegelisahan hati dalam kerinduan.
Aku melihat keindahan tutur katamu
dalam setiap helai sayap burung
Tersembunyi dan tersirat
Hingga terbang dan kepakkan sayap
Aku mendengar canda dan tawa dalam duniamu
Dunia berbeda tanpa rekayasa
Mengalir dengan bebas dan terarah
Tak ada satupun gugur yang tak bermakna
Kau buat berarti setiap detik yang kau miliki
Aku pun merasakan angin surga dalam hembusan nafasmu
Nafas ketulusan untuk tetap bepijar dalam gulitanya malam
Aku tahu
tak banyak yang akan memilih jalanmu
namun bagiku kau adalah mutiara
mutiara kerang dalam lautan yang dalam
Huuhhh... Rifana menghela nafas panjang. Rasanya lega telah menuangkan perasaan aneh itu dalam diary yang ia miliki.
Lelah tubuh dengan gundah jiwa yang dirasakan melayangkan angannya masuk ke dalam mimpi. Rifana tertidur pulas. Memori buruk yang menimpanya hari ini mempengaruhi tidurnya sekarang. Ia memimpikan hal buruk seperti yang dialaminya tadi siang. Tidurnya menjadi gelisah dan tak tenang sehingga ia sering terjaga dengan frekuensi tidur yang sedikit. Waktu menunjukkan pukul 5 kurang lima belas menit. Matanya sudah terbuka lebar dan sulit untuk di tutup kembali. Ia menatap dinding kamar bercat putih, ia tak tahu apa yang dipikirkannya sekarang dan hanya melamun yang dapat dilakukannya. Tiba-tiba suara gerbang memecah lamunannya memunculkan rasa ingin tahunya. Ia beranjak dan mengintip melalui jendela. Lagi-lagi sosok Dani yang hadir melewati gerbang rumah dengan baju koko coklat, sarung dan peci yang dikenakan. Sepertinya Dani selesai melaksanakan solat shubuh berjamaah di masjid dekat rumah. Lagi-lagi dia muncul dengan hal yang membuat Rifana tak bisa berucap.
“Ada apa ini?” desir itu hadir lagi memunculkan beribu tanda tanya yang tak jelas jawabannya, mendetakkan jantung dengan cepat. Aneh sekali perasaan apa yang dirasakan Rifana sekarang.
*****
 “Aku kasih nggak ya brownisnya.” Rifana berkata kepada dirinya sendiri yang sedang bingung untuk memberikan seloyang kue brownis kepada Dani sebagai ucapan terima kasihnya telah menolongnya tempo hari.
“Ayo Fan, berani...berani.” Katanya menyemangati diri sendiri.
Akhirnya ia memberanikan diri menuruni tangga kosan menuju rumah Dani.
“Assalamualaikum.” Rifana mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam.” (Suara banyak orang.)
* Hah, kenapa banyak orang? Wah waktunya gak tepat nih. Bisik Rifana dalam hatinya, wajahnya pucat pasi melihat beberapa orang berada di teras rumah. Rasanya ingin berbalik dan menjauh dari situ namun seorang wanita berjilbab keluar dari rumah.
“Rifana ya? Kenalin, aku Nabila sepupunya Mas Dani.” Kata Nabila lembut.
“Oh, iya. Salam kenal Nabila.” Kata Rifana yang kemudian dilanjutkan dengan jabatan tangan.
“Maaf ya. Aku disuruh Mas Dan untuk nemuin kamu. Ada apa ya?”
“Kenapa dia tak mau menemui aku.” (Lirihnya dalam hati yang kecewa.)
“Oh gitu ya. Aku cuma mau kasih ini untuk Kak Dani, sebagai tanda terima kasih aku karena kak Dani udah nolongin aku tempo hari.” Jawab Rifana terbata. Rifana sangat malu karena beberapa pasang bola mata melirik ke arahnya.
“Oh baiklah, nanti Bila sampaikan ke Mas Dani nya. Terima Kasih ya Rifana.” Kata Nabila ramah.
“Iya sama-sama.” Jawabnya tak kalah ramah. Tiba-tiba seseorang yang sedang duduk di teras nyeletuk, “Ciye, Kak Dani dapet kue. Dari pacarnya ya Bil?”
“Ya bukanlah, Dani kan suka wanita yang berjilbab.” Kata yang lainnya nyeletuk.
Hanya satu kalimat sih, namun cukup masuk ke dalam hati Rifana dan membuat wajahnya sedikit datar dan tidak bersemangat lagi. Nabila terlihat tak enak akan ucapan orang itu.
“Maaf ya Fan, mereka gak ada maksud menyinggung kok.” Ucap Nabila menjelaskan.
“Iya gak papa kok. Aku permisi dulu ya Bil. Assalamualaikum.” Walaupun di luar Rifana bilang tak apa-apa namun hati dan raut wajahnya tak menyimpulkan yang diucapkannya.
“Waalaikumsalam.” Jawab mereka serentak.

*****
Keesokan harinya, seperti biasa Rifana menjalankan aktivitas di kampus. Tentu berbeda dari hari kemarin-kemarin karena ternyata perasaan itu benar-benar mengganggunya.
“Fan lo kenapa sih dari tadi muka lo bete terus?” Protes Lala.
Tiba-tiba Dani melintasi taman tempat mereka berdua duduk santai. Rifana langsung memusatkan perhatian ke arahnya dan sorot matanya tak berkedip melihat Dani. Seketika Lala menyadari hal tersebut.
“Lo suka sama Kak Dani ya?” Kata Lala setengah berteriak, beruntung suasana taman tak terlalu ramai.
“Ssttttt.” Refleks tangan Rifana menutup mulut Lala.
“Wah, sumpah lo frontal banget La.” Ucap Rifana lemas.
“Lagian gue ngomong gak dijawab.” Kata Lala cemberut.
“Ya sori La. Gue lagi pusing.” Ucap Rifana.
“Makanya cerita. Gue kan sahabat lo.” Tegas Lala.
“Gue juga gak ngerti La. Mungkin omongan lo bener, La. Gue suka sama Kak Dani.” Kata Rifana lesu.
“Hmm, ciye. Terus kenapa pusing, deketin dong.” Ucap Lala enteng.
“Gimana caranya? Liat muka gue aja gak mau gimana deket.” Tanya Rifana gemas.
“Gimana ya?” Ucap Lala sambil memikirkan jalan keluarnya.
Sesaat kemudian Lala tersenyum nakal dan melirik Rifana sambil berkata,”Aha, gue tau caranya.”
“Hah.” Rifana terbengong melihat ekspresi wajah mencurigakannya Lala.
*****
“Assalamulaikum Kak Dan.” Sapa Lala kepada Dani yang sedang duduk dan membaca buku di taman bersama teman ikwannya.
“Waalaikumsalam. Ada apa?” Tanya Dani singkat.
“Maaf sebelumnya Kak Dani, kemarin saya gak sengaja denger, Kakak lagi butuh seorang relawan yang mau mengajar matematika kepada anak-anak di rumah peduli ya. Apa masih dibutuhin Kak?” Tanya Lala sopan.
“Na’am, kebetulan belum ada. Mau berpartisipasi?” Tanya Dani.
“Tunggu sebentar Kak.” Ucap Lala yang langsung menarik Rifana yang sedang berdiri tak jauh dari tempat Dani berada.
“Ini Kak teman aku mau berpartisipasi. Dia siap banget Kak.” Kata Lala mempromosikan Rifana. Sementara Rifana sendiri memasang senyum aneh di depan Dani.
“Oh Rifana. Yaudah boleh kok... Gung, yok ke masjid udah waktunya Ashar.” Dani melihat jam di pergelangan tangannya dan mengajak temannya Agung pergi ke masjid.
“Kak Dan, jadi kapan aku mulai ngajar?” Tanya Rifana kepada Dani yang hendak beranjak meninggalkan taman.
“Besok ya, jam tiga.” Jawab Dani singkat.
“Oke siap Kak.” Kata Rifana bersemangat.
“Wassalamualaikum.” Ucap Dani.
“Waalaikumsalam.” Lala dan Rifana bersambut.
Pucuk di cinta ulam pun tiba, akhirnya Rifana mempunyai kesempatan untuk bisa dekat dengan pria bernama lengkap Muhammad Dani Aldiansyah itu. “Lalaaaa, akhirnya gue bisa deket Kak Dani.” Teriak Rifana bahagia dan memeluk Lala erat.
“Iya gue juga seneng bisa liat sahabat gue senyum lagi.” Ucap Lala tertawa.
******
Aku menutup waktu yang telah usai
Membuka dinding hati yang terkelupas indah
Di dalam ruang kecil yang sempit dan sesak ini aku berpikir
Ternyata tak seburuk yang aku bayangkan
Beribu, bahkan berjuta keindahan menanti ku di luar untuk menatapnya
Bukan hanya itu, ia ingin aku gapai
Meraih cahaya cinta dengan kedipan mata
Kau tahu?
Banyak kata yang ingin kurangkai dalam lisanku, Namun lidahku kelu
Banyak keindahan yang tercipta, Namun ku membisu
Berdiri di hadapanmu pun aku kaku
Memandangmu pun aku ragu
Aku hanya dapat mengartikannya dalam satu kata
Cinta... Ya cinta.
Kau berhasil datang dengan caramu yang sempurna.
Hingga Merapatkan seluruh kepedihan jiwa yang ku rasa.
Rifana Azzahra, 8 Mei 2012
Ia menutup buku Diary nya, tersenyum dalam kesendirian. Sebuah kalimat indah mungkin sangat sulit diciptakan bagi sebagian orang namun tidak untuknya. Baginya hanya dengan menutup mata dan melihat seseorang itu hadir, membuat perasaan mengalir ke seluruh tubuhnya, dengan mudah kata-kata itu muncul seperti dentingan piano yang indah dan bukan hanya sekedar rangkaian kata namun ungkapan sebuah perasaan di jiwa.
Keesokan harinya Rifana mempersiapkan diri untuk mengajar matematika di Rumah Peduli.
“Semangat Rifana... Hari ini hari pertama jadi harus dipersiapkan dengan baik. Yang pertama dipersiapkan adalaah......”Katanya sambil berpikir.
“Pakaian.” Jawabnya yang kemudian ia langsung memilih beberapa dress di lemari pakaiannya.
“Yang ini apa yang ini ya?” Tanyanya bingung melihat dress berwarna coklat dan pink soft.
Namun sejurus kemudian....
“Seharusnya kamu bisa mengkondisikan pakaian dengan tempat kita baksos sekarang. Lain kali tolong lebih tertutup.” Memori tentang perkataan Dani tempo hari terlintas jelas dalam ingatannya.
“Kayaknya nggak dua-duanya deh.” Jawabnya lemas.
******
Waktu telah menunjukkan pukul 15.00, ini waktunya Rifana mengajar. Beruntung kali ini Dani memberikan kelas dengan murid-murid yang telah remaja sehingga lebih bisa di atur. Rifana lebih banyak mengajarkan tentang soal matematika cerita dan hitung-hitungan dengan jumlah besar karena memang anak-anak di sini lebih banyak diajarkan ilmu keahlian seperti memasak, menjahit, tata boga, melukis, menyetir, dan banyak keahlian lainnya. Sehingga apabila mereka telah dewasa dan ingin menjalani hidupnya sendiri maka mereka bisa menggunakan keahlian yang dipunyanya untuk mendapatkan pekerjaan.
Seperti yang Rifana inginkan, ia ingin berdekatan dengan Dani namun kenyataannya ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersama muridnya. Walaupun kenyataannya demikian Rifana tetap menikmati waktunya, ia bisa merasakan hal baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
“Lelah juga ya mengajar, walaupun cuma dua jam.” Bisiknya dalam hati.
Tiba-tiba dari radius 30 meter, ada keributan, Rifana penasaran suara ribut-ribut itu. Lalu ia memperhatikannya, Anak-anak terlihat sedang berkumpul menyoraki salah satu anak perempuan berjilbab dan berumur kira-kira 9 tahun.
“Rani gila, rani gila, rani gila.” Sorak mereka
“Kalian apa-apaan sih aku gak gila.” Protes gadis kecil berjilbab itu.
“Apa namanya coba kalo gak gila, liat tuh baju kamu ditambel pake sarung kaya orang gila.” Kata salah satu anak perempuan di sana.
“Tau tuh kaya yang gak punya baju aja. Lo kan sama kayak kita dikasih jatah baju juga, masih aja ditambel-tambel.” Kata yang lainnya menambahi.
“Ini gak ditambel, baju yang dikasih kemarin pendek-pendek. Aku kan pake kerudung masa bajunya pendek.” Kata Rani menjelaskan.
Rifana terus memperhatikan gadis kecil itu. Gadis kecil itu berjilbab, ia memakai kaos pendek dan memakai mangset namun mangset disini bukan seperti yang dijual di toko-toko, berwarna-warni sesuai dengan warna baju yang akan kita kenakan tapi gadis itu seperti memotong sehelai kain bermotif batik yang telah usang dan menjahitnya menjadi bentuk seperti mangset yang sesuai dengan ukuran tangannya.
Karena tidak tega melihat wajah gadis kecil menjadi murung akhirnya Rifana menghampiri mereka.
“Kenapa nih adik-adik kecil?” Sapa Rifana kepada mereka semua.
“Itu kak si Rani malu-maluin banget.” Jawab gadis kecil yang lain dengan wajah yang sedikit angkuh.
“Udah ya jangan main ejek-ejekan terus. Ayo kalian minta maaf sama Rani. Gak baik loh. Ayo cepet salaman.” Kata Rifana menasehati.
Dengan wajah terpaksa akhirnya anak-anak tersebut mau minta maaf dan berjabat tangan dengan Rani.
Setelah itu Rifana mengajak Rani duduk di taman hijau sambil melihat-lihat ikan.
“Nama kamu Rani?” Tanya Rifana memulai pembicaraan.
“Iya Kak. Nama kakak siapa?” Tanya Rani dengan wajah lugunya.
“Nama aku Rifana.” Jawab Rifana singkat. “Panjangnya?” Tanya Rani lagi. “Rifana Az Zahra.”
“Aku panggil Kak Zahra boleh?” Kata Rani bersemangat.
“Loh kenapa milih manggil Zahra? Keluarga, temen-temen sama saudara-saudara kakak aja selalu manggil kakak Rifana.” Tanya Rifana keheranan.
“Karena artinya bagus kak. Artinya bunga dan Zahra juga panggilan Rasulullah kepada anak tersayangnya, Fatimah.” Jelas Rani.
“Oh emang gitu artinya? Kok Kakak baru tau ya.” Kata Rifana dengan tampang cengonya. Rani hanya tertawa kecil melihat ekspresi wajah Rifana. Merasa malu akhirnya Rifana membuat percakapan lain.
“Emm..  Tadi kenapa mereka ngejek kamu?” Tanya Rifana mengalihkan.
“Oh itu, aku dibilang gila gara-gara pakai ini.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah mangset buatannya sendiri.
“Kenapa pakai ini. Memangnya kamu gak punya baju panjang?” Tanya Rifana.
“Aku kan pakai jilbab Kak tapi baju yang dikasih dari sini selalu aja lengan pendek, kan gak nutupin aurat aku makanya aku bikin ini sendiri dari kain selimut aku.” Ucap Rani menjelaskan.
“Hah, dari kain selimut?” Tanya Rifana kaget.
“Iya Kak.” Jawab Rani tersenyum.
“Kakak boleh tau kenapa kamu mutusin untuk pake jilbab?” Tanya Rifana penasaran.
“Kata Kak Dani di dalam Al-Quran disebutkan bahwa setiap wanita yang sudah baligh wajib menutup auratnya kecuali muka dan telapak tangan. Walaupun belum baligh, aku ingin memulainya Kak, supaya terbiasa.” Jawabnya mantap.
“Ya, tapi jangan maksain juga kan de. Allah juga pasti ngerti kok, kamu kan baru menginjak baligh dan kebutuhan kamu juga kan masih bergantung dari sini.”
“Bukan Allah yang harus mengerti kita Kak. Dia bahkan sudah sangat mengerti kita, dan kitalah yang harusnya mengerti Dia. Al-Quran itu datangnya langsung dari Allah dan apa-apa yang tertera didalamnya sudahlah pasti benar. Perintah berjilbab itu juga datang langsung dari-Nya. Aku yakin apa yang diperintahkan-Nya pasti yang terbaik untuk kita, termasuk perintah berjilbab.”
Rifana hanya terdiam mendengar semua perkataan gadis kecil tersebut. Bagaimana mungkin ia menasehati hal yang justru bernilai salah. Ia merasa sangat malu dan sangat bodoh. Ia merasa pengetahuan agamanya cetek sekali, padahal Papanya terkenal seorang yang alim dan disegani di masyarakat, ibu dan kakaknya berjilbab, beliau ‘Papanya’ juga telah menanamkan aspek agama Islam sejak kecil padanya namun semenjak beranjak dewasa ia jarang mendalaminya lagi. Alhasil ya seperti itulah.
“Kamu pintar ya. Di sini siapa yang ngajarin kamu tentang agama dik?” Tanya Rifanna mengalihkan lagi.
“Aku diajarin Kak Dani, Kak.” Jawabnya bersemangat. Entah mengapa Rifana menjadi semakin tak punya harapan.
“Kakak aku boleh nanya? Tapi jangan marah ya !” Kata Rani.
“Tanya apa?” Jawab Rifana penasaran.
“Kakak kok gak berjilbab.” Tanya Rani hati-hati.
Rifana bingung  menjawab pertanyaan gadis kecil itu. “Hmm, hati kakak belum siap dik.”
“Ternyata yang dibilang Kak Dani bener dong.” Ucapnya pelan, namun Rifana mendengarnya.
“Emangnya Kak Dani bilang apa?” Tanya Rifana penasaran.
“Ah enggak kak. Dia gak bilang apa-apa kok.” Jawab Rani seperti menyembunyikan sesuatu.
“Oh, yaudah kalau kamu gak mau cerita gak papa. Kakak pulang dulu ya dik.” Kata Rifana berpamitan.
“Maaf ya Kak Zahra. Hati-hati ya Kak.” Ucap Rani.
“Iya, Wassalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
*****
Akhir pekan telah tiba, hari ini Rifana memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga di rumah. Ya memang ia sangat merindukan papa dan mamanya, apalagi setelah Baksos Akbar tersebut.
Hari yang lalu boleh berakhir dengan sia-sia karena tak mungkin bisa berubah, untuk apa penyesalan? Tak akan merubah apapun. Namun betapa bodohnya seseorang bila masih menyia-nyiakan hari ini dan hari esok. Sebaik-baiknya kita adalah yang bisa berubah ke arah yang lebih baik. Bukankah sangat meruginya seseorang bila hari ini lebih buruk dari hari kemarin dan lebih baik dari hari esok?
“Assalamualaikum.” Kata Rifana memasuki Rumahnya.
“Walaikumsalam, Non.” Jawab Bi Inah.
“Non kamana wae teu pulang-pulang, Bibi kangen yeuh?” Tanya Bi Inah dengan khas Sundanya.
“Ya di kosan atuh Bi. Aku juga kangen sama bibi.” Jawab Rifana dengan senyumannya.
“Siapa Bi?” Tanya sang mama yang melihat ke luar Rumah.
“Mama.” Rifana langsung menghapiri mamanya dan mencium tangan sang mama.
“Ade kemana aja gak pulang-pulang? Gak kangen emangnya sama mama.” Tanya mama kepada Rifana, karena Rifana anak bungsu sehingga sang mama memanggilnya dengan sebutan “ade”.
“Maaf Ma, dede ikut kegiatan di kampus jadinya gak bisa pulang deh.” Jawabnya.
“Kirain ade marah sama papa gara-gara di suruh ngekos.” Kata mama menebak-nebak.
“Nggak kok ma. Ade gak marah, malah seneng ngekos.” Jawab Rifana tersenyum dan senyumnya seperti menyimpan misteri.
“Gimana kegiatan Baksosnya? Lancar?” Tanya mama.
“Loh, mama tau darimana ade ikutan baksos?” Tanya balik Rifana yang penasaran.
“Ya dari kakak lah sayang. Kan sekampus sama kamu.” Tegas mama.
“Perasaan aku gak pernah bilang sama kakak mah, lagian aku denger kakak udah mulai sibuk ngurusin skripsinya kan. Kok kakak bisa tau ya?” Tanya Rifana penasaran.
“Sesibuk-sibuknya kakak, pasti masih disempetin buat mantau kamu.” Kata mama tersenyum, Rifana pun ikut tersenyum.
“Non, bawa baju kotor teu? Sini biar Bibi cuciin.” Kata Bibi menawarkan.
“Gak ada Bi, tadi sebelum ke sini aku nyuci baju dulu.” Jawab Rifana kepada Bi Inah.
“Nyuci?” Tanya mama bengong.
“Ih mama kok bengong gitu. Ade malu nih. Yaudah ade ke kamar dulu ya ma.” Ucap Rifana berlalu ke kamarnya. Mama hanya bisa tersenyum melihat perubahan putri bungsunya tersebut.
Rifana sangat merindukan kamarnya. Kamar yang selalu menjadi teman setianya dalam keadaan apapun. Kamar yang didominasi dengan warna kesukaannya, coklat. Dengan foto-foto sahabatnya dari sekolah dasar hingga kuliah yang tertata rapi di meja yang berada di sudut kamarnya.
Aku harus melakukan sesuatu...bisiknya.
Rifana langsung menuju lemari kamarnya dan memilih baju-baju panjang yang sudah tak ia pakai dan tak muat lagi di badannya. Untunglah waktu itu ia tak memasukkan baju-baju panjang ke buntalan yang telah ia buang.
Sampai magrib Rifana memilih baju-baju panjang yang sudah tak muat lagi dengannya.
“Hey manja.” Sapa Kak Gio ke kamar Rifana.
“Halo Kak. Udah pulang kerja?” Tanya Rifana ramah.
“Udah dari tadi kali, kamu ngapain aja di kamar, sampe lupa nyamperin kakak?” Tanya Kak Gio penasaran. Rifana hanya tersenyum nakal melihat kejengkelan kakaknya itu sementara Gio semakin penasaran apa yang ingin dilakukan adik bungsunya terhadap baju-baju yang dipilihnya dari lemari.
“Kangen ya sama aku? Ayo ngaku !” Kata Rifana asal.
“Iya ngaku.” Jawab Gio santai.
“Jadi malu. hehe” Kata Rifana tertawa kecil.
“Dasar... De, itu baju mau diapain? Dibuang lagi?” Tanya Gio tiba-tiba.
“Nggak kok.” Jawab Rifana singkat.
“Terus mau dikemanain?” Tanya Gio.
“Ikh kakak kepo banget sih urusan perempuan wo.” Kata Rifana yang dibarengi dengan tawa kecilnya.
“Yeh ditanyanya. Yaudah cepet ke bawah ya, kita makan bareng. Jangan lama-lama, udah laper.” Kata Kak Gio berpesan.
“Ok bawel.” Kata Rifana singkat.
Di meja makan sang Papa, Mama, Gio, Annisa dan Rifana telah berkumpul untuk makan. Seperti biasanya sebelum makan mereka berdoa bersama.
“Gimana kuliah kamu?” Tanya Papa kepada Rifana.
“Alhamdulillah lancar Pa.” Jawab Rifana. Seketika Gio, Annisa, Papa dan Mama bengong mendengar jawaban Rifana.
“Apa ada yang salah dengan jawaban aku?” Tanya Rifana heran melihat ekspresi wajah keluarganya.
“Ah nggak ada yang salah kok. Kamu kok makannya sedikit sekali Nak.” Tanya mama melihat Rifana hanya mengambil satu centong nasi, sepotong daging rendang kecil, tahu sambal dan sayur secukupnya.
“Kalo banyak-banyak takut gak abis ma, nanti malah kebuang. Sayang kan makanannya.” Jawab Rifana seadanya.
Lagi-lagi mereka bengong mendengarnya.
“Kesambet jin baik darimana kamu de? Biasanya makan banyak, ngemil banyak, sampe gak sadar tuh pipi makin tembem.” Tanya Gio terheran-heran.
“Alhamdulillah berarti ikut Baksos kemarin ada hikmahnya Kak.” Kata Annisa nyeletuk menjawab pertanyaan Gio.
“Haha, bisa aja Kak. Ngomong-ngomong kakak tau darimana aku ikut acara Baksos? Bukannya aku gak bilang, lagian gedung jurusan kita kan berlawanan arah, masa kakak ngeliat aku sih.” Tanya Rifana penasaran.
“Ada deh.” Jawab Annisa singkat tersenyum penuh misteri.
*****
Malam ini Rifana meminta Annisa untuk tidur di kamarnya karena ada beberapa hal yang ingin Rifana tanyakan kepada Kakak perempuannya itu. Di malam yang sunyi dengan dihiasi atap kaca 1,6 m x 1,6 m tepat di pinggir tengah kamar Rifana yang posisinya sangat strategis dengan posisi bulan membuat indah pemandangan malam itu.
“Kak, kenapa sih perempuan harus pakai jilbab?” Kata Rifana memulai percakapan.
“Tumben nanyain itu. Hayo kenapa?” Tanya Annisa balik.
“Gak papa, aku cuma penasaran aja.” Jawab Rifana sekenanya.
“Nggak ada penegasan paling tinggi untuk menjawab kenapa harus berjilbab selain Perintah berjilbab tertera dalam Al-Qur’an, jadi jelas kan Allah sendiri-lah yang menyuruh kita. Tak ada kekuatan apapun untuk melanggar-Nya dik.” Tegas Annisa.
“Jujur Kak, aku takut kalo aku gak pantes pake jilbab. Takut kelihatan jelek kak.” Kata Rifana lugu.
“Untuk apa kita terlihat cantik di depan manusia namun tidak di mata Sang Khaliq?” Jawab Annisa tersenyum, sementara Rifana memikirkan setiap kata yang keluar dari mulut Kakak perempuannya itu.
“Dan perlu kamu tahu juga, perempuan adalah mayoritas penduduk neraka kelak dan mereka di neraka dengan keadaan yang bermacam-macam.”
“Maksudnya keadaan yang bermacam-macam?” Tanya Rifana penasaran.
“Akan kakak jelaskan satu per satu. Di neraka akan ada wanita yang menangis sambil meminta pertolongan tetapi tiada yang sanggup membantu, itu adalah gambaran balasan wanita yang berhias bukan karena suaminya.”Kata  Annisa.
“ Selain itu ada juga wanita tergantung pada rambutnya, otaknya menggelegak dalam periuk. Terlihat ketakutan dalam raut wajahnya, itulah gambaran balasan wanita yang tidak menutup aurat.” Jawab Annisa.
“Astaghfirullahaladziim.” Ucap Rifana spontan.
“ Ada lagi gambaran wanita yang mukanya hitam dan memamah isi perutnya sendiri, kalau itu adalah balasan wanita yang menggoda dan menggairahkan lelaki.” Jawab Annisa.
“Dan setahu kakak akan ada wanita yang dibelenggu dengan api neraka, mulutnya terbuka luas, serta keluar api dari perutnya, ini adalah balasan wanita yang menjadi penyanyi dan tidak sempat bertaubat.”
Sementara itu Rifana terus membayangkan keadaan wanita-wanita di neraka. Wajah Rifana terlihat pucat pasi dan kulitnya sedikit berkeringat padahal malam itu udara sangat dingin. Menyadari adiknya dalam keadaan ketakutan, Annisa langsung memberikan segelas susu hangat kepadanya sehingga Rifana bisa sedikit lebih rileks. Annisa pun menyuruh Rifana untuk tidur.
*****
“Rani. Sini !” Panggil Rifana kepada Rani yang sedang berkumpul dengan temannya.
“Aku Kak?” Tanya Rani dengan isyarat menunjuk dirinya sendiri. Rifana hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian dengan sigap Rani langsung menghampiri Rifana dan duduk bersama di taman hijau.
“Ada apa Kak Zahra?” Tanya Rani penasaran.
“Ini buat kamu.” Kata Rifana memberikan baju-baju di dalam goody bag.
“Beneran buat aku Kak?” Kata Rani setengah tak percaya.
“Iya bener.” Jawab Rifana tersenyum simpul.
“Wah, makasih banyak ya Kak Zahra. Aku senang sekali.” Kata Rani dengan senyumannya yang merekah.
“Yaudah, masukin gih ke lemari !” Pesan Rifana.
“Iya Kak. Kak Zahra tunggu sebentar ya Kak. Aku punya sesuatu untuk Kakak.” Kata Rani sebelum meninggalkan Rifana untuk menyimpan bajunya di lemari.
“Oke.” Jawab Rifana singkat.
Beberapa saat kemudian Rani membawa selembar kertas gambar yang diberikannya kepada Rifana. Rifana terkejut dengan apa yang dilihatnya. Gambar wajahnya, persis sekali tidak ada yang berbeda. Yang berbeda hanyalah di gambar tersebut Rifana memakai jilbab. Ia terlihat sangat anggun.
*Cantik sekali. (Bisik Rifana dalam hati.)
“Kak Zahra akan terlihat lebih cantik kan kalau pakai kerudung?” Kata Rani dengan senyuman lugunya.
“Ini kamu sendiri yang gambar?” Tanya Rifana setengah tak percaya.
“Iya Kak.” Jawab Rani singkat.
“Makasih ya sayang. Bagus banget.” Kata Rifana sambil mengelus kepala Rani. Matanya berbinar-binar melihat gambar dirinya.
Rani telah beranjak dari duduknya. Sementara Rifana masih terus melihat gambar berlukiskan dirinya. Ia senang sekali diberikan hadiah seperti itu, sederhana namun memiliki arti yang sangat dalam untuknya. Terkadang hadiah yang sederhana akan sangat bernilai karena didalamnya terletak ketulusan yang dalam dibandingkan dengan hadiah yang mewah sekalipun.
“Assalamualaikum.” Sapa Dani dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya dan menatap ke arah depan, ia telah berdiri tepat satu meter di samping kanan Rifana.
Rifana terkejut melihat sosok pria di sampingnya dan sontak langsung menjawab salam dari Dani, “Waalaikumsalam Kak.”
“Jazakumullah khairan khatsirah ya, kuenya enak.” Kata Dani memulai pembicaraan.
“Iya, sama-sama Kak.” Ucap Rifana datar sedang hatinya dalam kebahagiaan.
“ Oia, Bagaimana mengajarnya? Apa ada kesulitan?” Tanya Dani langsung ke pokoknya.
“Alhamdulillah nggak ada kak. Semuanya lancar.” Jawab Rifana.
“Baguslah kalau gitu. An, saya hanya ingin memberitahu lain kali kalau ingin ngobrol dengan anak-anak di sini, datanglah lebih awal. Jangan sampe kesorean seperti ini. Lingkungan di sekitar sini gak aman untuk wanita, apalagi kalau udah terlalu sore.” Pesan Dani.
“Euu...Iya Kak. Makasih.” Jawab Rifana sekenanya. Ia tak bisa banyak berbicara di hadapan Dani, mengontrol detak jantungnya agar normal pun rasanya sulit sekali.
“Sama-sama. Wassalamualaikum.” Kata Dani beranjak.
“Waalaikumsalam.” Jawab Rifana.
Namun baru satu langkah beranak, Dani menolehkan kepalanya 90o sehingga hanya sebelah wajahnya yang tampak dalam pandangan Rifana,”Oia, cepatlah pulang ! Hari sudah larut.” Kata Dani berpesan lagi.
“Iya Kak.” Jawab Rifana singkat.
* Huh, kirain dia bakal bilang “Fan, kita kan searah. Mau pulang bareng gak?” Ini mah malah nyuruh pulang. Bisiknya tertunduk lesu.
Walaupun tahu apa yang dibisikkan dalam hatinya tak mungkin menjadi kenyataan, mengingat Dani sangat menjaga jarak dengannya.
*****
Malam ini, Rifana tertunduk. Bersujud kepada Allah Yang Maha Pengampun atas segala dosa yang telah mengalir deras saat auratnya terbuka, saat banyak pasang bola mata kaum adam menatapnya kagum, menatapnya dengan hawa nafsu atau menikmati setiap keindahan tubuhnya melalui tatapan mata mereka, dan dengan segala kerendahan ia tertunduk bahwa sesungguhnya tak ada yang lebih indah melainkan Cahaya Cinta-Nya. Tak ada keabadian bagi setiap keindahan yang hadir dalam dunia fana ini, semua itu akan sirna.
Air mata mengalir deras membasahi pipi tatkala nurani berkata semua yang dilakukan adalah salah, tatkala menyadari bahwa saat ini ia benar-benar harus meminta ampunan-Nya. Cahaya nurani kian memencar, menempati setiap sel yang bekerja dalam tubuhnya, dan sekarang ia bisa merasakan bahwa Allah selalu hadir dalam hidupnya bahkan sangat dekat, merasakan-Nya dalam setiap aliran darah, hembusan nafas dan detak jantungnya. Dan ketenangan pun dapat ia rasakan sangat berbeda dari ketenangan dunia yang dulu ia rasakan.
*****
Hari ini ia bangun dan melaksanakan solat subuh, yang kemudian mempersiapkan segala yang ia butuhkan untuk kuliah pagi. Rambutnya yang terurai diikatnya dan disembunyikan di balik kerudung. Lengan yang selama ini terbuka, ditutupnya dengan busana muslim yang panjang hingga kakinya pun tertutup. Tak peduli apa yang akan orang lain katakan akan perubahannya, yang pasti ia merasakan sangat bahagia.
Kakinya melangkah memasuki gerbang kampus. Setiap mata yang mengenalnya menatapnya tersenyum, ada yang menatapnya sinis dan tertawa, ada juga yang setengah tak percaya namun segala perubahan yang lebih baik tentunya akan menghasilkan respon yang baik pula, itulah yang ada dalam pikiran positifnya sekarang.
“Baru dua hari gak ketemu, lo udah berubah gini Fan.” Kata Lala setengah tak percaya.
“Aku ingin menjadi orang yang lebih baik La.” Kata Rifana lembut.
“Tapi apapun itu, gue suka Fan sama perubahan lo. Gue dukung seratus persen.” Kata Lala bersemangat.
“Makasih ya Lala sayang.” Ucap Rifana kepada sahabatnya itu.
“Iya. Oia gimana perkembangannya si Abang Dani?” Tanya Lala menyelidiki. Sementara Rifana tertawa kecil mendengar kata Abang keluar dari mulut sahabatnya itu.
“Ya gak gimana-gimana La.” Jawaban Rifana membuat Lala semakin penasaran.
“Kok gak gimana-gimana sih, bukannya sekarang bisa lebih sering ketemu Abang Dani.” Kata Lala menyelidiki.
“Emang sih lebih sering ketemu tapi gak pasti sering ngobrol juga kan?” Tegas Rifana.
“Iya juga sih.” Kata Lala dengan tampang pasrah.
******
Gadis kecil itu berlari tergesa-gesa melewati lorong-lorong gedung Rumah peduli. Entah apa yang ia cari. Berhentilah ia pada sebuah Ruangan dimana Dani sedang mengajarkan tajwid kepada anak-anak. Tanpa pikir panjang sang gadis meminta izin membawa Dani ke suatu tempat, sementara Dani hanya kebingungan melihat sang gadis menarik tangannya dengan sangat kuat. Setelah beberapa saat sampailah mereka dihadapan Rifana yang sedang memberi makan ikan-ikan di pinggir kolam. Sementara Rifana terlihat bengong melihat mereka berdiri dengan nafas yang terengah-engah. Rifana hanya ingat sesaat yang lalu ia menghampiri Rani dan secara tiba-tiba Rani meminta Rifana untuk menunggunya dan kemudian pergi meninggalkan Rifana di pinggir kolam.
“Loh Kalian kenapa?” Tanya Rifana kebingungan. Sementara Dani berusaha mengalihkan pandangannya dari Rifana.
Rani berusaha mengatur napasnya kembali dan kemudian berbicara kepada Dani,”Kak Dani, liatlah ! Kak Zahra udah pake jilbab. Dia cantik ya Kak?”
Gadis kecil itu benar-benar membuat Rifana merona sekaligus malu dengan kelakuan dan perkataan yang tak terduga itu. Entahlah apa yang berada dalam pikirannya yang lugu?
Dani hanya tersenyum mendengar perkataan Rani dan kemudian memposisikan tubuhnya setengah jongkok sehingga sejajar dengan wajah Rani dan memegang bahunya seraya berkata,”Rani cantik, perempuan muslimah itu berhias dan berpenampilan bukan untuk dikomentari oleh banyak pria, tapi dia berhias dan berpenampilan hanya untuk suaminya.”
Rifana tertegun mendengar ucapan sang ketua BEM tersebut, begitu pula gadis lugu itu terlihat sedang mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Dani. Kemudian pria bernama lengkap Muhammad Dani Aldiansyah tersebut beranjak dari tempat diikuti salam darinya,”Wassalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawab Rifana dan Rani serentak.
******
 Setelah kejadian itu, Rifana sebisa mungkin menghindari Dani, karena ternyata banyak hal yang membatasi ruang pria dan wanita bukan muhrim untuk berduaan dan masih banyak lagi hal yang belum bisa ia mengerti tentang semua itu. Ia memang memiliki cinta yang terpendam untuk sosok pemuda itu namun sepertinya ia harus menguncinya rapat hingga Allah benar-benar akan mempersatukannya.
Hari demi hari terlewati dengan penuh keindahan. Rifana berhasil menjaga kepercayaan sang ayah karena semester ini nilainya naik semua dan ia mendapatkan nilai terbaik seangkatan tahun ini di kampusnya dan berhak mendapatkan beasiswa dari kampus. Keluarganya sangat bahagia terutama papa dan mamanya karena bisa melihat perubahan yang terjadi pada anak bungsunya tersebut. Seperti diibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga, namun tangga disini adalah tangga kebahagiaan, itulah yang dirasakan kedua orang tua Rifana. Selain perubahan yang terjadi pada putri bungsunya, Hari ini juga tepat berlangsungnya acara Wisuda Mahasiswa Angkatan ke-95 Universitas Indonesia Muda, Annisa berhasil lulus dengan nilai terbaik berdua dengan Muhammad Dani Aldiansyah. Ia telah berhasil melewati masa 3 setengah tahun menempuh perkuliahan di kampus dan akan menempuh kehidupan yang lebih tinggi lagi.
Terlihat sumringah wajah wisudawan dan wisudawati dengan toganya. Keluarga Annisa, Papa, Mama, Rifana, dan Gio datang menghadiri upacara wisuda yang berlangsung sangat khidmat. Setelah acara berlangsung, Rifana melihat papanya sedang berbincang-bincang akrab dengan Ayah dari orang yang berada dalam hatinya saat ini, Mungkin karena kedua pria setengah baya itu sama-sama memiliki anak yang mendapatkan nilai terbaik.
*****
Rifana menatap ke luar jendela dari sebuah kamar yang didominasi dengan warna coklat, dengan foto-foto sahabat dari sekolah dasar hingga kuliah yang tertata rapi di meja yang terletak di sudut kamar. Ya, Rifana telah berada dalam kamarnya sendiri tidak di kamar kosan lagi, mengingat bahwa ia telah berhasil mendapatkan nilai terbaik maka sang papa mencabut hukuman tersebut. Hal itu membuat Rifana senang sekaligus sedih karena semakin jauh dengan pemuda yang ia cintai.
Rifana melihat pemandangan malam dari balkon kamarnya, tak terasa telah enam bulan lamanya setelah wisuda itu berakhir ia berada di kamar ini. Yang ia rasakan saat ini masih sama, masih mencintai sosok pria yang pertama ditemuinya pada malam pertama di kosan.
Sekarang Annisa bekerja di salah satu Rumah Sakit ternama di Jakarta, sedangkan yang Rifana tahu bahwa pria yang dicintainya saat ini telah pergi ke sebuah kota di Jogjakarta untuk menetap di sana. Sejak itu ia tidak pernah lagi melihat seorang Dani yang telah membuat ia menyadari tentang keindahan dan penjagaan cinta, serta bahwasanya cinta yang harusnya tercipta adalah milik jodohnya kelak, namun tetap saja nama Dani terus mengusik hatinya tanpa seorang pun tahu mengenai itu kecuali sahabatnya, Lala dan tentunya Sang Pemilik Cinta , Allah SWT.
*****
Esok hari di pagi yang ceria, tercium wangi kue brownis dari dapur rumah Rifana. Rifana yang memang sejak kecil sangat menggemari kue brownis langsung bergegas menuju dapur rumahnya.
“Mama sama bibi lagi buat brownis ya. Rifana coba dong, boleh ya ?” Pinta Rifana
“Iya nanti kalau ada sisa ya.” Kata sang mama sembari menghitung jumlah loyang kue bownis.
“Memangnya untuk acara apa Ma?” Tanya Rifana penasaran.
“Kemarin Papamu bilang malam ini di pesantren milik Pak De mu ada acara Maulid. Kue-kue ini akan diantar ke sana.” Kata Mama menjawab.
“Oh begitu.” Kata Rifana kepada sang mama.
“Nanti kamu yang antar kuenya ya ke rumah Pak De mu.” Kata Mama.
“Iya nggak papa Ma, aku saja nanti yang mengantar.” Kata Rifana menyanggupi meskipun ia tahu bahwa rumah Pak De nya cukup jauh dari rumahnya.
Tepat pukul delapan pagi, Rifana langsung melesat dengan mobil yang dikendarainya sendiri. Kira-kira setelah menempuh dua jam perjalanan sampailah Rifana di sebuah bangunan pesantren Darussalam di kota bandung. Dia langsung menuju rumah Pak De nya Kyai Abdul Rasyid yang tepat bersebelahan dengan bangunan pesantren.
“Assalamualaikum.” Rifana mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam.” Jawab seorang perempuan berjilbab keluar dari dalam rumah, dia adalah istri dari kyai Abdul Rasyid.
“Wah, ada Fana datang. Apa kabar sayang?” Kata perempuan tersebut ketika Rifana mencium tangannya.
“Alhamdulillah baik, Ummi. Ummi sama Pak Kyai gimana kabarnya?“ Tanya Rifana kepada istri Pak de nya yang sering ia panggil dengan sebutan Ummi.
“Alhamdulillah semuanya sehat. Ayo masuk Nak.” Kata sang Ummi.
“Oia, ini titipan dari Papa sama Mama.”  Kata Rifana sambil memberikan sekantong plastik Kue brownis buatan ibunya.
“Bilang sama mama, Kata Ummi sama Pak De mu mengucapkan banyak terima kasih.” Pesan sang Ummi lembut.
“Iya Insya Allah akan Rifana sampaikan Ummi. Ngomong-ngomong Pak De kok tidak kelihatan ya. Kemana beliau Ummi?” Tanya Rifana penasaran. Namun sebelum sang Ummi menjawab terdengar suara merdu seorang ikhwan membaca Surah Ar-Rahman dari belakang rumah Pak Kyai.
* Subhanallah, merdu sekali suaranya. Belum pernah aku mendengar suara bacaan Al-Qur’an semerdu itu.
“Pak Kyai sedang mengajarkan membaca Al Qur’an kepada muridnya di mushala belakang rumah.” Jawab Ummi memecah lamunan Rifana.
“Loh kok tumben banget Ummi belajar membaca Al-Qurannya di mushala belakang bukannya di pesantren.” Tanya Rifana heran.
“Soalnya dia bukan santri di sini. Dia meminta Kyai untuk mengajarkannya membaca Al-Qur’an, ‘ingin fasih’ katanya.” Jawab sang Ummi lagi.
“Bukannya nanti malam ada maulid Ummi biasanya Pak Kyai sibuk mengurusinya Ummi?” Tanya Rifana makin penasaran.
“Pemuda itu sudah belajar membaca Al-qur’an selama sebulan, ini hari terakhirnya belajarnya di sini. Pak Kyai tidak mau mengesampingkannya.”
“Sebentar ya Ummi panggil dulu Pak Kyai-nya.” Kata Ummi
“Tidak usah Ummi, Rifana mau langsung balik saja. Soalnya nanti sore mau ada kuliah Ummi.” Kata Rifana menghalangi Ummi.
“Tidak apa, biar Ummi panggil Kyai. Tadi Kyai pesan kalau ada Rifana, beliau minta dipanggil.” Kata Ummi lembut.
Rifana hanya tersenyum mendengar perkataan Ummi, dia menunggu sambil meminum teh yang disediakan oleh Ummi. Namun tiba-tiba Mengapa suara pemuda itu meredup lalu hilang? Apa karena Pak Kyai beranjak dari sana (Pikir Rifana dalam hati).
“Assalamualaikum.” Suara salam yang tenang milik Pak Kyai yang usianya telah setengah abad itu menyejukkan hati Rifana.
“Waalaikumsalam.” Jawab Rifana.
“Apa kabar Nak.” Tanya Pak Kyai.
“Alhamdulillah baik Kyai.” Jawab Rifana.
“Papa dan Mamamu, Annisa dan Gio bagaimana?”
“Alhamdulillah mereka juga sehat. Pak Kyai bagaimana?”
“Alhamdulillah luar biasa sehat.”
“Rifana semakin cantik menggunakan jilbab ya.” Kata Pak Kyai memuji.
“Alhamdulillah, Pak Kyai bisa saja.” Jawab Rifana tersipu malu.
“Oia, Ini buku perjalanan Nabi Muhammad dari beliau lahir hingga wafat. Bapak kan pernah berjanji memberikan kamu buku ini.” Ucap Pak Kyai sambil menyerahkan buku berjudul “Muhammad” dengan sampul background hijau.
“Wah, syukron ya Pak Kyai. Fana senang sekali. Insya Allah pasti akan dibaca.” Kata Rifana antusias.
“Sama-sama.” Kata Pak Kyai dengan senyumnya yang tulus.
“Kalau begitu Rifana mau pamit pulang dulu ya. Mau langsung ke kampus ada jam kuliah soalnya.” Kata Rifana berpamitan
“Iya hati-hati ya Nak.” Kata Ummi dan Pak Kyai
“Wassalamualaikum.” Kata Rifana berpamitan menuju mobil yang tepat berada di depan rumah Pak Kyai.
“Waalaikumsalam.” Jawab Pak Kyai dan Ummi yang langsung masuk ke rumah untuk melanjutkan kegiatannya.
Rifana sudah menaiki mobilnya dan suara lantunan ayat suci Al Qur’an kembali terdengar. Sejenak didengarnya kemudian akhirnya Rifana memutuskan untuk meninggalkan Bandung. 
Sesampainya di kampus Rifana langsung menghampiri Lala yang berada di taman kampusnya.
“Assalamualaikum.” Ucap Rifana.
“Waalaikumsalam.” Jawab Lala.
“Tumben Fan udah dateng, kan masih satu jam lagi mulai kuliahnya.” Tanya Lala.
“Iya tadi aku abis dari Bandung makanya langsung ke sini, kalau ke rumah dulu bisa telat La.” Jawab Rifana
“Oh gitu. Udah ngerjain tugas belum?” Tanya Lala
“Alhamdulillah udah. Oia nih aku bawa kue brownis, kebetulan Mama buat kuenya lebih.” Kata Rifana sembari memberikan sekotak kue.
“Tau aja temennya lagi lapar Fan. Makasih ya.” Kata Lala sambil membuka lalu memakan brownis dengan lahapnya.
Sementara mereka asyik melahap kuenya, tiba-tiba Rifana tertegun melihat seseorang dari kejauhan.
“Kenapa Fan?” Tanya Lala penasaran dan langsung melirik apa yang dilihat Rifana.
“Oh Laras.”  Kata Lala tenang.
“Subhanallah sekarang dia pakai jilbab. Cantik banget ya La?” Kata Rifana kagum.
“Kemana aja Bu. Udah dari dua minggu yang lalu kali dia pakai jilbab. Emangnya gak tahu?” Tanya Lala.
“Seriusan aku gak tahu La.” Jawab Rifana.
“Jangan-jangan gak tahu juga kalau Laras sama Rey udah putus.” Ucapan Lala nampaknya berhasil membuat wajah Rifana penuh ketidakyakinan.
“Serius?” Tanya Rifana.
“Iya serius banget, banget, banget.” Jawab Lala lantang dengan penekanan di kata “banget”.
“La, coba deh liat wajahnya Laras. Kayak ada yang aneh deh.” Kata Rifana sambil memperhatikan Laras yang sedang berjalan menuju gedung fakultas jurusannya.
“Aneh apanya? Perasaan sama aja kayak kemarin-kemarin.” Ucap Lala datar.
“Wajahnya Laras kelihatan damai banget La.” Kata Rifana meyakinkan.
“Apanya yang damai, kok aku ngerasa biasa aja ya.” Kata Lala sambil terus melahap habis kue brownis pemberian Rifana. Sementara Rifana masih melihat ada raut kedamaian di wajah Laras.
Selesai makan Rifana dan Lala melanjutkan kuliah.
“Hari ini Bapak akan mengumumkan nilai UAS terbaik mata kuliah Akuntansi. Siapa tebak, Apa kalian tahu?” Tanya Pak Andi membuat mahasiswa penasaran.
“Pasti Rifana Pak.” Kata mahasiswa di pojok belakang.
“Ya pasti sohib gue, siapa lagi emang.” Kata Lala menambahi.
Mendengarnya Rifana hanya bisa berkata dalam hati “Alhamdulillah mudah-mudahan.”
Pak Andi sebagai dosen hanya tersenyum mendengar celetukkan mahasiswanya.
“Rifana memang nilainya bagus, namun ada yang lebih bagus. Reyhan, selamat kamu mendapat nilai sempurna, tertinggi di kelas ini.” Kata Pak Andi bangga.
“Wah beneran Pak?” Tanya mahasiswa yang duduk bersebelahan dengan Reyhan seakan tak percaya.
“Iya benar.” Jawab Pak Andi.
“Terima kasih Pak” Jawab Rey tersenyum senang. Sementara mahasiswa-mahasiswa lain hanya tertegun sesaat mendengar pengumuman dari Pak Andi tersebut.
Sementara Rifana tersenyum mendengar pengumuman dari Pak Andi, ia tidak kecewa karena telah berlapang hati. Rifana justru bahagia karena telah banyak melihat perubahan besar dalam diri pria yang pernah ia cintai tersebut.
*****
Setelah beberapa hari pertemuan dengan Laras. Kebetulan ini hari libur sehingga seluruh anggota keluarga berada di rumah.
“Nis, boleh papa tanya sesuatu?” Kata papa memulai pembicaraan di ruang keluarga sementara Rifana yang dari tadi asyik membaca buku tentang manusia paling mulia di bumi ini “Nabi Muhammad SAW” ikut menghentikan bacaan dan mendengarkan sang ayah berbicara.
“Ada apa Pa?” Kata Annisa balik bertanya.
“Apa sudah ada pria yang mengisi hati kamu?” Tanya Sang Papa ke pokok permasalahan.
“Bukannya seorang muslimah seharusnya mengisi hatinya hanya dengan cinta untuk suaminya, bukan pria lain?” Jawab Annisa membuat sang Papa tersenyum.
“Iya betul. Dan Papa telah menemukan pria yang pantas untuk menjadi suamimu.” Kata Papa mencengangkan Rifana sementara Annisa hanya tersenyum seakan telah mengetahui bahwa sang papa pasti akan membicarakan hal tersebut.
“Pria seperti apa dia Pa?” Tanya Annisa menyelidiki.
“Pria yang shalih, bertanggung jawab, tampan dan berasal dari keluarga baik-baik. Kamu juga telah mengenalnya. Dia anak sahabat kecil Papa.” Jawab sang Papa berwibawa.
“Aku mengenalnya? Siapa namanya Pa?” Tanya Annisa penasaran.
“Papa suka memanggilnya Aldi, nama lengkapnya Muhammad Dani Aldiansyah.” Rasanya seperti ada kilat yang menyambar-nyambar di telinga Rifana, dia serasa mengalami cardiac arrest, rongga dadanya berhenti berkontraksi saat Papa menyebutkan nama itu, rasanya saat itu juga ia ingin menjerit sekuat-kuatnya dan menjatuhkan air mata yang telah membendung di kelopak matanya. Kenapa harus dia? Kenapa harus dia? Pertanyaan itulah yang ingin ia teriakkan kepada Papanya yang telah memilihnya menjadi calon suami sang Kakak.
“Dani.” Kata Annisa lembut menyunggihkan sesimpul senyuman diwajahnya sepertinya ia bahagia mendengar nama itu, Rifana pun menyadarinya. Siapa yang tidak bahagia dijodohkan dengan pria sebaik dia, yang menjaga dirinya hanya untuk jodoh yang telah dituliskan Allah dalam Lauh Mahfuzh.
“Kalau kamu setuju, tiga hari lagi Aldi dan keluarganya akan datang ke sini untuk melamarmu.” Kata sang mama melanjutkan setelah melihat rona bahagia di wajah Annisa. Sementara Rifana sedang mengontrol perihnya sendiri, berusaha bersikap tegar dan yang paling penting adalah tersenyum.
“Bagaimana dengan Kak Gio? Masa aku melangkahinya Pa.” Tanya Annisa.
“Kakak nunggu calon Kakak wisuda Nis. Kalau mau duluan, ya duluan aja bukannya lebih cepat lebih baik.” Kata Gio tenang.
Semakin perih yang dirasakan Rifana, mengapa semua orang seakan tak mengerti perasaanya yang sedang terluka? Namun bagaimana pun juga ia tak dapat menyalahkan orang lain karena keluarganya tak ada yang mengetahui perihal hatinya.
“Aku menurut aja Pa. Papa aja yang mengatur semuanya ya. Annisa mau ke kamar dulu.” Jawab Annisa beranjak ke kamar dengan senyuman yang tak bisa ia sembunyikan dari wajahnya.
“Lihat Ma, anak kita sangat bahagia ya?” Tanya sang Papa kepada Mama. Sementara Rifana tak bisa lagi membendung air matanya, mereka jatuh begitu saja, Mama menyadari hal itu dan langsung bertanya,”Ade kenapa nangis?” Pertanyaan sang Mama mengagetkan, termasuk Gio dan Papa, ia memutar akal untuk menjawab pertanyaan itu.
“Eu, Nggak papa Ma. Ade cuma sedih baca tahun dimana Rasulullah Muhammad kehilangan istri dan pamannya Ma, Pa.” Jawabnya, karena hanya itu yang terlintas dalam benak Rifana.
* Ampuni aku Ya Rabbi. (Bisiknya dalam hati.)
“Ooh, mama pikir kamu sedih kenapa.” Kata mama seakan menusuk perasaannya lagi.
Rifana hanya tersenyum simpul mendengar perkataan sang mama. “Aku mau ke kamar Kakak dulu ya, mau kasih selamat untuknya.” Jawab Rifana sambil mengusap air mata di wajahnya.
Setelah Rifana menuju ke kamar Annisa.  Gio yang dari tadi memperhatikan tingkah laku aneh adik bungsunya itu, langsung beranjak dari duduknya menuju ke tempat duduk Rifana dan melihat buku berjudul “Muhammad” sambil menunjukkan tatapan yang tidak biasa.
*****
 “Kakaaaakkkk.” Teriak Rifana memasuki kamar sang kakak.
“Selamat ya.” Katanya lagi sambil memeluk tubuh sang kakak.
“Iya sayang makasih.” Jawab Annisa.
“Kakak bahagia?” Tanya Rifana.
“Sangat. Apa kamu juga bahagia?” Annisa balik bertanya.
“Apapun yang membuat kakak bahagia, aku juga pasti bahagia.” Jawab Rifana.
Annisa langsung memeluk Rifana, sangat lama. Dalam pelukan itu Rifana meneteskan air matanya dan langsung ia usap saat hendak melepaskan pelukan.
“Aku balik ke kamar dulu ya.” Kata Rifana beranjak dari kamar Annisa.
*****
Rifana masuk ke dalam kamarnya dengan tergesa, hatinya sudah tak bisa menutupi lagi, ia ingin menangis. Kemudian ia mengunci pintu kamarnya dan menuju balkon rumah yang persis menyuguhkan pemandangan taman bunga. Ia menangis di sudut balkon, terus menangis, tak bisa ia menahan perihnya, sampai ia sesenggukan dan sulit bernafas. Sesaat kemudian ia menyadari bahwa ini adalah kesalahan, buru-buru ia mengucapkan istighfar dan langsung menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu,”Subhanallah, sejuknya.” Bisiknya dalam hati. Lalu meraih mukena putih dan memulai untuk membaca Al-Quran. Membaca beberapa ayat dalam Al-Qur’an membuatnya merasakan ketenangan yang besar untuk menutupi lukanya kembali.
Keteduhan tercipta saat aku memandangmu
Namun sesaat aku pun menunduk malu, itu bukan hak ku
Ketenangan tercipta saat aku mendengar tutur katamu
Namun sesaat aku pun pergi berlalu, itu tak halal bagiku
Keindahan tercipta saat aku memperhatikan akhlakmu
Namun sekali lagi aku takut, dosa akan tercipta bila ku meneruskannya
Aku hanya bisa diam dan menjauh
Ya, Rabbi maafkanlah aku
Yang tak bisa menjaga cinta hanya untuk jodohku
Yang tak bisa memelihara pandangan bukan untuk suamiku
Namun aku tak tahu mengapa rasa itu muncul kian hebat
Merusakkan ketenangan jiwa yang ku rasa.
Ya, Rabbi maafkanlah aku
Jangan biarkan aku terus mencintainya dalam ketahuanMu
Jangan biarkan aku mencintainya melebihi cintaku padaMu
Hingga menggangu waktuku bercengkrama denganMu dalam sujudku.
Ya, Rabbi...
Aku yakini dalam diriku yang penuh dosa
Ini adalah skenario hidup yang kau takdirkan
Kau-lah Yang Maha Mengetahui Sesuatu Yang Tersembunyi
Ya, Rabbi maafkanlah aku
Bukankah seharusnya aku bahagia?
Melihat pria sebaiknya akan bersanding dengan kakakku
Kakak yang memiliki hati sejernih embun
Kakak yang memiliki paras secantik bidadari
Kakaklah yang pantas menjadi Bidadari untuknya.
Dalam lirih ku berdoa
Jika memang ia jodoh yang tertulis dalam Lauh Mahfuzh untukku
Aku yakin jalanMu sangat indah
Maka dekatkanlah hatiku dan hatinya
Namun jika tidak
hapuslah namanya dari hatiku
gantilah dengan yang lebih baik Ya, Rabb.
23 Februari 2013 “RA”
Beberapa doa dalam bait ungkapan hatinya tertulis jelas dalam buku coklat kecil yang selama ini menemani perjalanan hatinya. Setetes air mata membasahi namanya. Dalam kelu yang ia rasakan tiba-tiba handphonenya berdering. Sebuah pesan dari Lala yang cukup mengagetkannya.
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, teman kita semua “Purnama Larasati” mahasiswi tahun ke-4 jurusan Arsitektur malam ini tepat jam 21.00. Semoga almarhumah dapat diterima di sisi-Nya. Aamiin. Jenazah akan dikebumikan esok hari pukul 9. Wassalam
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Serius La?
Ya masa gue nyebarin berita boong tentang nyawa orang Fan. Tadi Reyhan sendiri yang sms gue. :S
Maaf La, aku setengah gak percaya aja bacanya. Makasih ya udah dikasih tau. Mau melayat gak? Jam berapa?
Iya Fan, jam 7 ya ketemu di rumahnya.
Oke La.
* Apalagi rencana yang Kau gariskan Ya Allah. (Lirihnya dalam diam.)
*****
Dalam diam Rifana sekilas melihat sosok Rey yang telah duduk disamping jenazah Laras. Laras begitu damai sama seperti beberapa hari yang lalu.
Terlihat ada raut kesedihan di wajah Rey meskipun ia tidak menangis. Dia memulai membaca Surah Yasin untuk Laras.
* Suara ini, aku mendengar suara ini saat di rumah Ummi. Subhanallah apa itu Rey? (Pikir Rifana membuatnya tertegun dan tak percaya.) Namun suara Rey benar-benar mengingatkannya dengan suara pemuda yang ia dengar sewaktu di rumah Ummi. Perasaan bingung, tak percaya, kaget dan bahagia menyatu dalam hatinya, Ia telah mengenal Rey cukup lama namun baru kali itu ia mendengar Rey membaca Al-Qur’an dengan sangat merdu.
Di tempat duka ada orang tua Laras dan orang tua Rey, suasana duka terasa sekali di sana. Rifana melihat orang tua mereka sangat akrab. Telah empat bulan lamanya Rifana tak pernah melihat lagi Rey dan Laras berdua. Ia jarang melihat keberadaan Laras dan Rey pun lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berada di Masjid kampus. Rifana senang melihat perubahan Rey lebih baik.
Setelah disholatkan, jenazah dikebumikan di TPU dekat rumahnya, banyak teman-teman kampus yang menghantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. Laras memang gadis yang baik dan ceria, maka tak heran bila banyak teman yang menghantarkannya. Setelah didoakan, satu per satu orang-orang pulang termasuk Rifana.
Saat Rifana dan Lala menuju mobil untuk kembali ke rumah terdengar seseorang yang memanggil Rifana dari belakang.
Rifana membalikkan tubuhnya, ia melihat sesosok pemuda berkulit putih, wajahnya bersinar dengan baju koko berwarna hitam dengan peci yang melingkar diatas kepalanya, Itu Rey. Sekilas Rifana langsung menunduk
“Fan, untunglah kamu belum pulang.” Kata Rey memulai percakapan.
“Memangnya ada apa?”
“Aku ingin memberikan ini.” Ucap Rey sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat kepada Rifana.
“Apa ini?” Tanya Rifana heran.
“Ini surat terakhir yang Laras tulis. Dia bilang ini untuk kamu.” Pekataan Rey membuat Rifana heran.
“Kalau begitu aku permisi ya. Wassalamualaikum.” Kata Rey mengakhiri.
“Waalaikumsalam.” Jawab Rifana dan Lala serentak.
*****
“Thanks ya Fan udah nganterin. Lo hati-hati.” Kata Lala berpesan setelah diantar pulang oleh Rifana.
“Iya, sama-sama. Balik dulu ya La. Assalamualaikum.” Ucap Rifana langsung menutup kaca mobilnya.
“Waalaikumsalam.”
Rifana melaju dengan mobil putihnya, dia terus melirik surat beramplop coklat yang ditulis Laras. Semakin ia penasaran akan isi dari surat tersebut. Setelah di pertigaan jalan menuju rumahnya di kompleks Cempaka Indah, akhirnya ia memilih jalan yang berlawanan arah dari rumahnya menuju taman perumahan.
Duduk di bangku taman yang sejuk dengan angsa-angsa yang berenang-renang di danau tepat dihadapan Rifana adalah hal yang sangat ia sukai.
Perlahan ia membuka amplop coklatnya dan mengambil secarik kertas putih secara perlahan.
Assalamualaikum
Dear Rifana
Saat kamu membaca surat kecil ini, aku udah nggak ada lagi di dunia ini.
Fan aku sakit dan penyakitku tidak bisa disembuhkan, umurku mungkin tidak lama lagi. Aku putus asa sekali hingga beberapa kali aku mencoba bunuh diri. Dan yang terakhir kali seorang wanita cantik menyelamatkanku, tidak hanya itu dia berkata “Hidup ini sangat indah Laras, kadang kita gak tahu berapa lama lagi kita berada di dunia ini. Tapi bukankah kita masih punya waktu untuk membuat orang-orang yang kita cintai tersenyum bahagia? Dengan dikelilingi mereka adalah hal yang terindah yang bisa kita miliki di sisa waktu kita Laras.” Aku ingat sekali saat kamu menyemangatkanku, namun aku memang wanita yang tidak tahu diri Fan. Kamu bilang kita berhak dikelilingi orang yang kita cintai bukan? Maka apa aku salah jika aku menginginkan Rey ada disisiku?
Aku minta maaf Fan sudah mengambil kebahagiaan yang kamu miliki. Selama ini aku tahu bahwa Rey adalah pacar kamu, tapi aku pura-pura nggak tahu dan aku menginginkan keadaan berbalik, aku mencintai Rey sejak pertama kali aku bertemu dengannya, saat aku dan mama menghadiri ulang tahun tante Sarah, bundanya Rey. Bundanya Rey dan mama aku adalah sahabat sejak SMA. Dan demi Mamanya dia rela melepas kamu dan membahagiakan aku disisa umurku, meskipun aku tahu hatinya selalu untukmu. Aku minta maaf Fan, Rey adalah pria yang sangat baik, perhatian dan setia. Aku mohon jangan membenciku apalagi membenci Rey. Rey tidak bersalah Fan, kembalilah bersamanya, aku akan sangat bahagia.
Wassalamualaikum
Purnama Larasati.                    
Airmata menetes dari pipinya yang mungil. Rasanya Rifana telah merasa sangat berdosa karena dahulu pernah membenci mereka berdua. Namun kenyataannya Rey tidaklah benar-benar menyia-nyiakan cinta Rifana.
“Aku sudah memaafkanmu sejak dulu kok Ras. Kalaupun kamu minta seribu kebahagiaan yang lebih dari Rey yang aku punya, pasti akan aku berikan. Maafkan aku.” Ucap Rifana lirih sambil mendekap surat itu erat ke dadanya.
*****
Sudah seharian penuh, aktivitas di rumah Rifana cukup sibuk. Setiap anggota keluarga punya tugas masing-masing untuk persiapan acara nanti malam. Rifana sendiri mendapat tugas untuk menyiapkan hidangan makanan untuk nanti malam.
Kondisi Rifana terlihat sangat baik, dia membuat kue dan masakan lain dengan penuh ketulusan bahkan dia sudah bangun dari subuh untuk menyiapkan makanan. Dia terlihat sangat sumringah bahkan saat kakaknya berusaha membantu, ia melarang supaya kakaknya tidak terlihat kecapekan nanti malam. Rifana terlihat sangat bahagia, tapi siapa yang tahu hatinya?
Ia sekuat hati untuk menahan air mata yang setiap detiknya dapat meluncur dari kelopak matanya yang indah, menyunggihkan senyuman tulus yang terlihat dari mata tapi tak ada yang tahu dalamnya sedang meluruh perih.
Tepat pukul delapan malam, Dani, ibu dan ayahnya sampai di rumah Rifana. Sang Papa langsung menyambutnya dengan sangat hangat.
Rifana melihat dengan sekali pandangan kepada Dani yang terlihat begitu tampan dan gagah dengan dibalut kemeja coklat dan celana hitam. Jantung Rifana berdetak tak karuan. Melihatnya berdiri dengan gagah dan tenang untuk melamar sang kakak membuat perasaannya begitu teriris. Pertanyaan mengapa harus dia terus terulang dalam hatinya. Namun dia terlihat lebih kuat dan bisa mengontrol diri ekspresi wajahnya pasalnya semalam kemarin Rifana meminta kekuatan kepada sang Khaliq untuk menghadapi semua ini.
Bukan hanya Dani yang tampan namun Annisa dan Rifana tak kalah cantiknya malam ini. Mereka sebagai anak hanya bisa berdiam mendengar obrolan sang Papa dengan orang tua Dani yang notaben-nya teman sang Papa sejak Sekolah Dasar.
Obrolan begitu hangat hingga sampailah orang tua dari Dani mengungkapkan tujuannya datang ke rumah Rifana.
“Begini, maksud kedatangan kami ke sini yaitu dalam rangka mempererat hubungan keluarga kita maka Saya sebagai orang tua dari Aldi ingin menjadikan Annisa untuk menjadi istri Dani.” Orang tua masing-masing tersenyum mendengar penuturan Ayah Dani. Namun mengapa Dani telihat kaget? Dia bahkan menatap heran ke arah sang ayah, tidak ada yang menyadari ekspresi Dani tersebut kecuali Gio.
“Apakah itu benar Nak Aldi?” Kata sang ayah pura-pura bertanya untuk lebih memperjelas keteguhan Dani sendiri.
“Oh iya Insya Allah benar Pak.” Ucapnya terbata-bata. Berbungah-bungahlah hati kedua orang mereka berdua. Sementara entah apa yang dirasakan Rifana saat ini, ia hanya diam, beribu tanya mungkin akan terbesit di kepala orang yang melihat dan menyadarinya.
“Alhamdulillah.” Kata kedua keluarga mengucapkan syukur.
Setelah membicarakan beberapa kesepakatan termasuk tanggal yang tepat untuk pernikahan. Annisa mengajukan syarat agar tanggal pernikahan diadakan setelah wisuda adik tersayangnya yang tak lain Rifana sendiri.
*****
Ruangan keluarga itu terlihat sangat sepi di sana hanya terlihat seorang gadis berkerudung, Nabila tengah behadapan dengan sebuah laptop. Tidak lama kemudian terdengar suara orang membuka pintu dan mengucapkan salam.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Nabila
“Gimana le acara khitbahnya?” Tanya Nabila kepada kedua orang tua Dani yang terlihat sumringah.
“Alhamdulillah tanggal pernikahan Mas mu sama Annisa sudah ditetapkan bulan depan.” Jawab sang ibu.
Tiba-tiba Nabila berubah ekspesi wajahnya. “Tadi bude bilang siapa? Annisa?” Tanya Nabila penasaran.
“Loh memang kamu gak bilang toh sama Nabila akan melamar Annisa.” Tanya sang ibu kepada Dani yang terlihat memperbaiki ekspresi wajahnya yang mendung.
“Dani lupa Ummi.” Jawabnya singkat dan langsung menuju teras rumah.
“Le sama bude mau istiahat dulu yo Bil.” Kata ayah Dani kepada Nabila yang masih berekspresi tak percaya.
Nabila menghampiri Dani yang sedang duduk di halaman belakang rumah dengan tatapan kosong ke langit.
“Mas.” Ucap Nabila singkat menghampiri Dani.
“Mas gak menyangka sebelumnya kalau lamaran itu datang untuk Annisa.”
“Kenapa Mas gak jujur?”
“Mas gak bisa menyakiti hati wanita sebaik Annisa.”
“Lalu? Apa Mas fikir itu tidak menyakiti hati Rifana dan Mas sendiri?” Dani terdiam.
“Bila tahu banget cinta Mas Dan itu untuk siapa. Mas jangan selalu mementingkan kebahagiaan orang lain, sekali aja Mas pikirin kebahagiaan Mas sendiri. Sebelum semuanya terlambat Mas.”
“Bukankah memang sudah terlambat?” Kata Dani menatap Nabila penuh arti.
“Belum. Allah bisa mengubahnya jika Dia mau.”
“Akan Mas fikirkan. Mas mau istirahat dulu ya.” Ucapnya lesu dan berlalu meninggalkan Nabila.
“Bila gak akan ngebiarin cinta kalian kalah Mas.” Ucap Nabila melihat bayangan Dani menghilang di balik pintu kamarnya.
******
Cinta terkadang membuat seseorang sulit untuk berfikir, mengambil keputusan maupun tidur dengan tenang. Sulit rasanya berada dalam posisi ini, fikir Rifana. Rasanya munafik sekali ia berpura-pura bahagia padahal hatinya merasakan sakit. Sejujurnya Rifana memang turut bahagia karena kakaknya akan segera menikah dan cepat memberinya keponakan namun mengapa harus Muhammad Dani Aldiansyah? Rifana terus berdoa agar perasaannya untuk Dani hilang karena dia tau tak boleh mencintai seseorang yang bukan ditakdirkan untuknya.
“Kamu mencintainya?” Suara seorang Gio mengaburkan lamunannya.
“Kak Gio. Siapa yang Kakak maksud?” Jawab Rifana tak mengerti
“Muhammad Dani Aldiansyah.” Jawab Giovanni tegas mengagetkan Rifana.
“Apa aku tidak salah dengar? Mana mungkin aku mencintai seseorang yang akan menjadi kakak iparku sendiri.” Jawab Rifana dengan ekspresi menutupi kebenaran hatinya.
“Jangan bohong sama kakak.” Gio langsung mengambil buku “Muhammad” yang terletak di meja tak jauh dari tempat ia berdiri, “Ini.” Gio memperlihatkan buku itu dihadapan Rifana. “Saat Papa bilang kalau Dani yang akan jadi calon suami Annisa, kamu menangis dan bilang karena membaca tahun dimana Rasulullah Muhammad kehilangan istri dan pamannya. Kamu bohong. Dosa De.” Kata Gio dengan nada sedikit tinggi.
“Di sini terlihat jelas kalau kamu baru membaca halaman dua puluh lima dan itu masih menceritakan kehidupan masyarakat sebelum kedatangan Rasulullah. Kamu menangis karena Dani kan? Karena ternyata pria itu orang yang kamu cintai?” Gio berbicara dengan nada agak tinggi. Sementara Rifana menunduk.
“Jangan keras-keras kak ngomongnya nanti Kak Nisa denger.”
“Jadi bener kan yang kakak bilang tadi?” Perkataan Rifana membuat semua menjadi jelas. Rifana membalikkan tubuhnya menatap keluar menghembuskan napas panjang dan bersandar pada tembok pembatas.
“Iya aku mencintainya Kak.” Setetes air meluncur dari matanya yang indah. Suasana berubah, udara semakin dingin menusuk ke tulang. Apalagi perasaan Rifana sekarang menjadi semakin tak karuan. Gio menyadari suasana hati Rifana makin tak baik lalu ia menghampiri Rifana dan memegang bahu adik bungsunya itu.
“Temui dan katakan jika kamu mencintainya.” Lontaran kalimat itu membuat Rifana menatap dalam wajah Gio.
“Nggak. Aku gak bisa melakukan itu Kak. Bukankah semua yang terjadi ini adalah takdir. Sedalam apapun aku mencintainya, kenyataannya dia adalah jodoh kak Annisa.”
Gio langsung memegang tangan kanan Rifana,“Jodoh itu bukan di tangan kamu.” Ucap Gio menggelengkan kepalanya sambil menunjuk tangan Rifana.
“Di luar sana, banyak sekali orang yang sudah lamaran bahkan saat akan ijab kabul, jika Allah menakdirkan bukan berjodoh, mereka tak akan jadi menikah.” Kata Gio memberikan penekanan pada kata-katanya.
“Aku tahu. Tapi di sini posisinya Kak Nisa adalah kakak aku, adik kak Gio sendiri. Apa aku punya hati untuk menyakitinya? Apa aku punya keberanian untuk membuatnya menangis? Nggak kak. Sementara jelas di mata Kak Nisa ada kebahagiaan, ada cinta untuk Dani. Aku bisa apa?” Ucapan Rifana semakin parau, airmata keluar deras dari matanya.
“Akan lebih menyakitkan jika Annisa tahu bahwa pria yang menjadi suaminya ternyata mencintai wanita lain, yang wanita itu tak lain adalah adiknya sendiri.”
“Apa sih maksud kakak? Aku gak ngerti.”
“Dani. Di matanya jelas ada cinta untuk kamu. Atau mungkin dia juga gak tau kalau lamarannya datang untuk Annisa bukan untuk kamu, kalau tidak dia gak akan kaget mendengar nama Annisa disebut oleh ayahnya.”
 “Kakak jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kalaupun itu benar, biarlah dia datang dengan sendirinya.” Ucap Rifana pasrah.
“Dengan sendirinya?” Gio makin tak mengerti dengan jalan pikiran Rifana.
“Kamu harus dengerin kakak. Kamu harus memilih dan mengusahakan sendiri pasangan hidup yang kamu mau. Mau dia berjodoh denganmu ataupun tidak, biar takdir yang memainkan perannya. Dani berhak tahu de kalau wanita yang dia cintai juga mencintainya.” Kata Gio menatap Rifana dalam.
Rifana tak bisa membendung perasaannya, ia memeluk Gio, kakak lelaki satu-satunya yang ia miliki yang telah memberikannya sebuah nasehat yang mungkin bisa ia pikirkan di kemudian hari.
*****
Mentari pagi bersinar menembus jendela mobil Rifana yang sedang melesat di jalan tol Tb Simatupang. Merasakan sejenak kehangatan pagi yang menenangkan, ia membiarkan dirinya menyimpan rapat dahulu luka yang ia rasakan. Seminggu lagi ia akan melaksanakan wisuda setelah selama beberapa bulan lamanya ia berjuang untuk menyusun skripsinya. Dan hari ini ia akan mengurusi administrasi acara wisuda di kampus.
Setelah beberapa saat menghabiskan waktu di kampus, tak lengkap bila rasanya ia tak mengunjungi Rumah Peduli yang tak jauh dari kampusnya. Menginjakkan kaki lagi di tempat yang merupakan alasan ia untuk mendekati pria yang ia cintai.
Beberapa anak yang jumlahnya kira-kira belasan menghampiri Rifana dengan wajah yang penuh dengan rasa senang pasalnya sudah selama sebulanan Rifana tak mengunjungi Rumah peduli untuk mengurusi sidang skripsinya. Berada dalam dunia mereka adalah anugrah bagi Rifana karena setiap saat ia selalu merasakan syukur dalam perasaannya.
“Kakak, lihat siapa yang datang.” Kata salah satu anak menunjuk ke arah lorong gedung. Muncullah seorang pemuda dengan karismanya yang mendetakkan jantung Rifana dengan cepat membuat darahnya mengalir dengan deras. Melihatnya, angin bagaikan menerpanya lembut, memancarkan cahaya cinta di matanya, membuat wajahnya tak tahu harus berekspresi seperti apa namun hanya dengan menunduk mungkin bisa menenangkan kembali perasaannya.
“Sayang, maaf ya kakak gak bisa lama-lama. Kakak mesti balik ke rumah. Nanti kakak kesini lagi ya.” Kata Rifana terburu-buru kearah mobil dan pergi berlalu. Sementaa Dani seakan ingin mengejar namun tetap hatinya mencegahnya melakukan itu.
*****
Hari ini adalah hari wisuda mahasiswa angkatan ke 96 Universitas Indonesia Muda. Rifana dengan bangga dan penuh syukur menorehkan kembali prestasi yang pernah diraih oleh sang kakak, Annisa. Rifana mendapatkan peringkat terbaik semester akhir ini dengan rekannya yang sama nilainya dengan Rifana, rekan itu tak lain adalah Reyhan Raditya yang telah berubah sosok menjadi pemuda yang lebih matang dan tidak mengesampingkan pendidikan diatas kesenangan sesaatnya.
Raut senyum merekah yang terlihat dari wajah kedua orang tua Rifana merupakan anugrah yang paling indah yang dirasakan Rifana saat ini, setidaknya dia mengetahui satu hal dalam kehidupan, jika hal yang kita inginkan tidak dapat membuat kita bahagia akan ada hal lain yang bisa membuat kita lebih bahagia.
Hari ini adalah hari ini, esok dan nanti apa yang terjadi siapa yang tahu? Hari ini bahagia, esok siapa yang tahu akan menderita? Rifana menyadari apa yang akan terjadi setelah ia wisuda namun apapun itu dia harus mensyukuri kebahagiaan yang ia rasakan sekarang.
*****
“Kamarnya rapi sekali.” Ucap Nabila memasuki kamar Dani yang sedang tidak berada di rumah.
“Maaf ya Mas lancang, ada yang harus aku cari di sini.” Ucapnya lagi sambil melihat-lihat barang-barang dan berkas-berkas Dani di meja. Namun  sudah setengah jam ia mencari tak juga ketemu apa yang ia butuhkan. Ia merasa putus asa dan duduk di atas tempat tidur Dani yang bersprei sangat rapi. Ia langsung memeluk bantal yang berada di sisi kirinya. Sejurus kemudian ia menyadari ada sesuatu yang tersembunyi di balik bantal itu.
“Astaghfirullah, kenapa aku tak menyadari tempat rahasia yang stategis ini.” Kata Nabila mengakui ketidaksadarannya.
Gadis ini melihat sebuah buku berjudul Aisyah dengan sampul merah muda bergambar setangkai bunga mawar yang cantik. Lalu ia membuka satu persatu halaman hingga kemudian ia menemukan secaik kertas berwarna putih dan dengan rasa penasaran ia mulai membaca kalimat di kertas itu dalam hati.
******
“Kak Zahra janji ya akan sering-sering datang ke sini.” Ucap seorang gadis kecil yang lugu.
“Iya Kakak janji sebisa mungkin seminggu sekali akan ke sini.” Ucap Rifana menimpali.
“Jangan lupain Rani ya Kak.” Ucap Rani.
“Kakak gak mungkin ngelupain Rumah peduli ini yang udah banyak ngajarin kakak tentang hidup, anak-anak di sini, dan terutama kamu sayang.” Kata Rifana kepada Rani. Hari ini memang Rifana memberitahukan Rani bahwa ia telah diterima kerja di salah satu perusahaan besar di Bandung dan kemungkinan akan jarang berkunjung ke rumah peduli.
Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka.
“Nabila.” Kata Rifana menoleh dan melihat sosok Nabila sudah berada dibelakang tak jauh dari tempatnya duduk bersama Rani. Nabila tersenyum ke arah mereka berdua.
“Kak, Rani izin mau tidur siang ya.” Kata Rani berpamitan.
“Iya sayang.” Kata Rifana mengangguk pelan.
“Ada hal yang harus aku sampaikan ke kamu Fan.” Kata Nabila memulai pembicaraan.
“Katakanlah !” Jawab Rifana singkat.
Terlihat keseriusan muncul dari raut wajah Nabila, ia mulai mengatur nafasnya dengan baik.
“Senyuman itu ku lihat di wajahnya saat ia tiba di Jakarta. Senyuman yang aku tahu berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia selalu tertawa dan tersenyum riang setelah mengetahui akan melamar gadis yang ia cintai sejak dulu, Kamu. Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke rumah kamu, ia perbanyak puasa, bertahajud dan sholat malam, berharap niatnya akan dipermudah oleh Allah. Tapi ada satu hal yang luput dari pandangannya, Rifana memiliki seorang kakak perempuan bernama Annisa. Ia melupakan itu.” Kata Nabila menolehkan pandangannya ke arah Rifana yang tak tahu harus berekspresi seperti apa.
“Mas Dani bukan laki-laki yang pandai mengungkapkan keinginannya. Dia pria yang sangat baik, saking baiknya ia selalu mengorbankan kebahagiaannya. Aku sangat menyayanginya Fan, aku tak ingin lagi dan lagi ia kehilangan apa yang dia inginkan. Jangan biarkan cinta kalian berdua kalah. Aku hanya bisa melakukan ini, aku mohon bertindaklah.” Ucap Nabila sembari memberikan secarik kertas berwana putih kepada Rifana yang menatap Nabila sedih. Kemudian Nabila pergi setelah mengucapkan salam.
******
Rifana memasuki kamarnya dengan tubuhnya tampak lemas menuju teras kamarnya di lantai dua. Mencoba membuka secarik kertas yang membuat perasaannya semakin tak karuan.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ


Ya Allah Yang Maha Pengasih

Cinta adalah anugrah yang Kau berikan kepada hamba-Mu

Kau ciptakan dari jenis kami pasangan hidup yang akan menentramkan hati kami

Dan Kini hamba-Mu yang lemah ini merasakan anugrah itu

Aku mencintai seorang wanita seiman

Yang ku tahu, dia sedang mendekat ke jalan-Mu

Dia mungkin terlihat tak perduli, namun aku yakin hatinya lembut dan penyayang

Dia memang terlihat angkuh, namun sesungguhnya ia memiliki hati yang terbuka untuk memaafkan dan menerima perubahan

Dia memang tak sesholehah Fatimah Azzahra namun dia berusaha untuk menjadi muslimah sejati

Ya Allah

Aku tak tahu mengapa aku sangat menginginkannya menjadi bidadari dunia akhiratku

Aku hanya ingin mengiringinya menuju jalan-Mu

Menjadi tempat ia berpegangan saat ia terjatuh

Menjadi tempat sandarannya saat ia lelah berjalan

Aku yakin tak ada yang mencintainya sebesar cinta-Mu kepadanya, namun ijinkanlah aku menjadi perantara-Mu

Membentuk surga dalam dunia yang penuh dengan cahaya cinta-Mu

Menapaki jalan dakwah yang kita lewati bersama dalam peluk-Mu

Sejak dulu aku menjaga cinta ini untuknya

Sekarang dengan keberanian aku akan menghalalkannya

Berilah kemudahan jika memang kita berdua berjodoh

Namun jika tidak, gantilah aku dengan ikhwan yang lebih sholih untuknya daripadaku Ya Rabb.

M.Dani Aldiansyah untuk ukhti Rifana Azzahra

Tetesan-tetesan air mata berjatuhan ke pipinya yang lembut, ia bahagia dengan isi secarik kertas putih itu namun apa daya ia begitu sangat sedih melihat kenyataan.
“Temui dan katakan jika kamu mencintainya.” Perkataan Gio
“Ia selalu tertawa dan tersenyum riang setelah mengetahui akan melamar gadis yang ia cintai sejak dulu, Kamu.” Perkataan Nabila
“Jodoh itu bukan di tangan kamu.” Perkataan Gio
“Dani. Di matanya jelas ada cinta untuk kamu” Perkataan Gio.
“Mas Dani bukan laki-laki yang pandai mengungkapkan keinginannya, Fan.” Perkataan Nabila
“Kakak bahagia?” Tanya Rifana.
“Sangat. Apa kamu juga bahagia?” Annisa balik bertanya.
“Akan lebih menyakitkan jika Annisa tahu bahwa pria yang menjadi suaminya ternyata mencintai wanita lain, yang wanita itu tak lain adalah adiknya sendiri.” Perkataan Gio
“Jangan biarkan cinta kalian berdua kalah. Aku hanya bisa melakukan ini, aku mohon bertindaklah.” Perkataan Nabila.
“Dani berhak tahu de kalau wanita yang dia cintai juga mencintainya.” Kata Gio
Tangisnya semakin meledak mengingat itu semua. Apa yang harus ia lakukan pun ia tak tahu. Hanya Allah yang akan membuatnya tenang, kebetulan adzan isya sudah berkumandang dan waktunya ia sholat dan menghadap Allah SWT, Tuhan semesta alam.
******
Papa memanggil Rifana ke ruang tamu. Rifana melihat Kyai Abdul Rasyid sudah duduk di sana dan bersama seorang pemuda yang tak asing di mata Rifana.
“Rey.” Ucapnya pelan. Rifana langsung mengucapkan salam dan duduk bersama ayah, ibu pak kyai dan Reyhan.
“Rifana apa kabar Ndo? Sehat?” Tanya Pak Kyai.
“Alhamdulillah sehat Pak Kyai.” Jawab Rifana masih menundukkan pandangannya.
“Nak, niat kedatangan pamanmu kemari adalah untuk menghantarkan lamaran Reyhan untukmu.” Kata sang papa tegas.
“Lamaran? Maksudnya lamaran apa?” Tanya Rifana kebingungan.
“Pemuda ini berniat menjadikan kamu istrinya Ndo.” Tambah Pak Kyai.
Seketika Rifana langsung kaget mendengar penuturan sang paman dan ayahnya. Bagaimana mungkin pilihan demi pilihan harus ia putuskan dengan tepat tanpa harus menyakiti siapapun. Rifana sadar niat Rey tak main-main. Ia juga sangat yakin bahwa Rey telah banyak berubah lebih baik dan mendekatkan dirinya pada Allah terbukti dengan sikapnya dan juga  tak disangka sang paman, Kyai Abdul Rasyid bisa percaya dengan niat Rey bahkan beliau bisa meyakinkan ayahnya yang semula tidak menyukai mantan pacarnya itu.
“Bagaimana Nak?” Tanya sang ibu.
“Ma, Pa, Pak Kyai juga Reyhan, Rifana butuh waktu untuk berfikir, Rifana tidak bisa memutuskannya sekarang.” Katanya dengan tegas.
“Baiklah, kalau begitu. Kami persilahkan kamu untuk berpikir beberapa hari. Setelah itu kamu bisa menghubungi paman jika kamu sudah ada jawabannya.” Kata Pak Kyai bijak.
“Syukron Pak Kyai.” Kata Rifana merespon.
Tak ada ekspesi kecewa yang timbul dari wajah Rey, ia tetap tersenyum mendengar keputusan Rifana dan ia berharap Rifana akan menerima lamarannya itu.
******
Sudah seminggu terlewat setelah lamaran itu terjadi, Rifana belum bisa memutuskannya. Rifana telah menyerahkan semua keputusannya itu kepada sang Khaliq, ia sangat berharap Allah SWT akan menjawab doa dalam istikharahnya tanpa memihak pada salah satu diantara keduanya. Ia harus memperjuangkan cintanya untuk Dani tentunya dengan menyakiti kakaknya atau menerima pinangan dari lelaki yang pernah ia cintai.
“Ya Allah, sampai saat ini aku belum juga mendapatkan jawaban atas istikharahku seminggu yang lalu. Aku mohon berikan jawaban itu Ya Rabb. Hamba hanyalah manusia lemah dan sering salah. Hamba tidak bisa mengambil keputusan dengan segala keegoisan hamba. Karena sebaik-baiknya keputusan adalah dari-Mu Ya Rahmaan Ya Fattah. Aamiin.” Ucap Rifana dalam doanya. Selesai tahajud ia merasa sangat haus, tidak biasanya ia merasa seperti itu. Akhirnya ia memutuskan untuk turun ke bawah mengambil air untuk minum.
Saat menuruni tangga ia melihat pintu kamar Annisa terbuka.
“Kok pintu kamar kakak terbuka ya. Apa dia lupa menutup pintu?” Akhirnya Rifana memutuskan untuk menutup pintu Annisa. Namun kemudian ia melihat Annisa sedang mengangkat kedua tangannya dan berdoa.
“Ya Allah, Ya Rahmaan Ya Rahiim. Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi-Mu Tuhan semesta alam. Terima kasih atas segala nikmat yang telah Kau berikan kepada keluargaku terutama ayah dan ibu. Mereka adalah anugrah terindah yang Kau berikan dalam hidup ini. Ya Allah, dua hari lagi aku akan menikah. Terus dan terus aku mengucapkan syukur atas kebahagiaan yang kurasakan saat ini, terimakasih telah mengabulkan doa yang ku panjatkan setiap malam selama empat tahun ini, atas berkat rahmat-Mu dua hari lagi aku akan menikah dengan seseorang yang namanya selalu kusebut dalam tahajudku. Muhammad Dani Aldiansyah. Permudah jalan kami untuk pernikahan ini Yaa Mujib. Semoga kelak ia bisa menjadi imam yang baik dan ayah yang sholih dari anak-anakku. Aamiin.”
“Aamiin.” Ucap Rifana sesenggukan dari balik pintu Annisa dan ia langsung berlari menuju kamarnya. Disana Ia menangis sejadi-jadinya dengan berusaha tak mengeluarkan suara. Sakit sekali pikirnya.
“Innallaha ma’ashoobiriin, Rifana.” Lirihnya.
******
“Dua hari lagi kakak pindah ke Bandung ya?” Tanya Rani sedikit murung.
“Iya, setelah acara pernikahan Kak Annisa selesai, kakak akan berangkat ke Bandung.” Kata Rifana tak kalah sedih.
“Kita tak harus memilih salah satu diantara kedua pilihan, terkadang kita harus melepaskan keduanya. Yang mungkin ada pilihan lain yang lebih baik daripada keduanya.” Kata Rani memandang langit. Rifana kaget mendengar penuturan Rani dan langsung menatap wajah bocah lugu itu.
“Maksud kamu bicara seperti itu apa de?” Tanya Rifana penasaran.
“Hah? Kenapa kak?” Kata Rani balik bertanya.
“Kakak nanya, Maksud kamu bicara seperti itu apa?” Kata Rifana mengulangi.
“Memangnya aku bicara apa Kak?” Kata Rani semakin tak mengerti.
“Kamu gak sadar tadi bicara apa?” Tanya Rifana.
“Enggak Kak.” Jawabnya lugu.
“Tidak mungkin gadis kecil lugu seperti dia bisa berbicara seperti itu.” Kata Rifana dalam hati.
******
“Ini. Jawaban dari lamaranmu ada dalam amplop ini.” Kata Kyai Abdul Rasyid kepada Reyhan yang terlihat tegang di depannya. Reyhan terlihat sesekali menarik nafas dalam dan memperhatikan amplop berwarna coklat muda tersebut.
“Berdoalah sebelum membukanya.” Kata Pak Kyai menasehati.
“Bismillahirrahmaanirrahiim.” Ucap Reyhan khusyuk.

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh Akhi Reyhan Raditya

Semoga Allah senantiasa memberikan kebahagiaan untukmu.

Akhi, terimakasih telah mencintaiku dan melamar aku menjadi istri akhi. Aku sangat menghargai tindakan akhi yang jarang sekali dilakukan seorang laki-laki jika mencintai seorang wanita. Mereka pasti meminta sang wanita untuk menjalin hubungan yang tak halal, namun tidak kau lakukan itu. Kau dengan berani datang dan berbicara kepada orang tuaku tentang niatmu.

Akhi, maafkanlah aku. Aku tak bisa menerima lamaranmu. Sungguh tak ada maksud hatiku untuk menyakiti hatimu. Mungkin aku bukanlah wanita yang baik yang akan menemani hidupmu dan berjalan bersama menuju ridho-Nya. Namun sungguh inilah jawaban dari istikharah yang ku lakukan. Aku yakin Allah telah menetapkan jalan untuk kita yang terbaik dan mungkin bukan ini jalannya.

Maaf, sekali lagi maaf. Mohon jangan membenciku. Aku yakin kau memiliki hati yang lapang untuk menerima ini semua.

Semoga Allah senantiasa memberimu kekuatan dan nikmat yang berlimpah. Aamiin

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh.

Rifana Azzahra.
Ada buliran air mata kecil di sudut matanya yang indah. Kekecewaan itu pasti ada namun selalu ada hikmah dibalik itu semua jika manusia mengetahui.
“Apa jawabannya?” Tanya Pak Kyai.
“Lamaranku ditolak Pak Kyai.” Jawab Reyhan dengan nada rendah.
“Innalillahi wa innailaihi rajiuun. Bukankan untuk wanita itu kamu berubah Nak?” Tanya Pak Kyai.
“Benar Pak Kyai.” Jawab Rey.
“Sekarang berubahlah terus lebih baik bukan karena Rifana atau wanita-wanita sholehah yang lain tapi karena Allah. Kau pemuda yang sangat baik Nak. Allah pasti akan memberimu kebahagiaan lain. Ingatlah ! Allah sudah berjanji akan memberikan wanita yang baik untuk laki-laki baik.” Kata Pak Kyai bijak.
“Iya Pak Kyai saya ingat. Terimakasih untuk semua kebaikan Pak Kyai selama ini.”
******
“Mas.” Sapa Nabila kepada Dani sambil menunduk lesu.
“Kenapa Bil?” Tanya Dani heran.
“Maafkan aku.” Kata Nabila, terlihat butiran air mata menetes dari wajahnya.
“Maaf? Maaf untuk apa?” Tanya Dani menyeringitkan dahinya makin penasaran.
“Maaf karena aku sudah mengambil kertas ini dari buku Mas Dani.” Kata Nabila merasa bersalah. Sementara Dani sejurus kemudian tersadar dan secepat kilat mengambil buku “Aisyah” dari balik bantal dan membuka halaman di mana terletak kertas itu.
“Aku memberikan kertas ini kepada Rifana. Maafkan aku, aku tak mengerti kenapa sampai saat ini pun Mas Dani masih saja tidak bertindak untuk memperjuangkan cinta Mas Dani.”
Dani kemudian mengambil kertas putih itu dan membaca tulisan dibaliknya.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ



Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Hanya ungkapan syukur yang bisa aku lakukan karena Allah telah mempertemukan aku dengan ikhwan shaleh sepertimu. Kata-kata yang pertama keluar dari mulutmu untukku mungkin menyakitiku, tapi kemudian aku berfikir mungkin aku salah. Aku tak tahu bahwa menutup aurat sesuatu yang penting bagi-Nya namun kau  mengingatkanku.

Setiap yang kau lakukan dan perkataan yang keluar dari mulutmu selalu hal yang baik. Aku sangat mengagumimu. Mungkin juga tidak ! lebih dari itu aku mencintaimu. Cahaya yang memancar dari wajahmu membuatku yakin. Aku tak pernah bertemu pria seperti itu selama hidupku. Dan aku semakin ingin memilikimu untuk menjadi imamku, hingga tak lupa ku sebut namamu selalu dalam doa.

Sejauh itu aku mencintaimu dari awal hingga saat ini. Tapi sekali lagi aku tersadar akan satu hal bahwa Allah Maha Berkehendak, yang terjadi sekarang bukanlah kebetulan tapi takdir atau mungkin ini adalah ujian. Sampai mana aku bisa bersabar? Dan Seberapa besar aku mencintai Allah daripada dirimu?

Ya Akhi, aku sangat ingin kau menjadi imamku dan pasangan hidupku di dunia maupun di akhirat. Tapi ketahuilah, Allah tidak berkehendak demikian. Jauh sebelum kau lahir, Dia telah menuliskan nama seorang bidadari cantik dan sholehah dalam lauh mahfudz untuk mendampingimu. Dia adalah Kak Annisa, yang sehari lagi akan kau nikahi. Inilah jawaban dari istikharahku, Akhi.

Kak Annisa adalah gadis yang terbaik. Kau harus tahu bahwa dia telah mendoakanmu selama empat tahun dalam tahajudnya. Dia-lah bidadari untukmu yang telah Allah takdirkan. Aku percaya kau akan bisa mencintainya.

Coba kau tanyakan kepada hatimu dan kepada Allah. Aku yakin kau telah melakukan itu dan kau pun telah menemukan jawabannya. Karena itu kau tak berjuang untuk cintamu sendiri. Dengarlah ! Kita adalah hamba yang lemah yang tak mampu melawan takdir-Nya dan kita terlalu mencintai-Nya hingga kita harus ikhlas mengorbankan kebahagiaan kita. Aku yakin Allah akan memberikan kebahagiaan yang kita butuhkan.

Sampai di sini, kita harus melupakan rasa itu. Kita akan berjalan di hidup kita masing-masing dengan pasangan masing-masing.

Semoga Allah tetap menguatkanku dan memberikanmu kebahagiaan bersama Kak Annisa.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Rifana Azzahra

Setitik airmata keluar dari kedua sudut mata Dani. Hanya setitik. Karena laki-laki tidak diajarkan untuk banyak menangis, mereka lebih bisa mengontrol emosinya sendiri. Kemudian ia menghapusnya dengan satu jari kelingkingnya.
Nabila melihat dengan sangat jelas sekali Dani beberapa kali menarik nafas sangat dalam seperti menyimpan beban yang berat sekali.
“Maafkan Nabila, Mas.” Kali ini Nabila yang menangis karena merasa bersalah.
Dani terlihat menarik napas lagi, “Beberapa ikatan cinta tidak harus berakhir pada pernikahan.” Ucap Dani kemudian menatap ke lantai.
Sesaat kemudian Dani tersenyum ke arah Nabila yang masih menatapnya iba.
“Terimakasih.” Itulah kata-kata yang keluar dari bibirnya dengan tulus. Nabila tak menyangka Dani akan berkata seperti itu.
“Terimakasih banyak.” Kata Dani mengulanginya lagi.
Nabila seperti menahan haru dan kemudian menganggukan kepalanya pelan sambil tersenyum ke arah Dani.
“Setidaknya aku tahu bahwa dia juga mencintaiku. Itu sudah cukup.” Katanya dalam hati.
******
Hidup ini adalah sebuah jalan dimana kita menapakinya setiap saat. Kadang kita akan melewati jalan lurus yang indah membuat kita selalu tersenyum dan berjalan dengan riang. Namun disisi lain kita akan menemukan banyak jalan yang membuat kita sulit memilih, hanya ada dua pilihan kita akan selamat dan bahagia atau kita akan tersesat selamanya. Jalan yang menyakitkan kita sekarang boleh jadi itulah jalan yang akan membuat kita bahagia selamanya. Jalan itulah yang Rifana pilih, memang ini sangat menyakitkan untuknya, sangat. Dia tidak bisa membohongi hati kecilnya dan menahan setiap tetes airmata yang keluar dari matanya yang indah. Rifana adalah gadis biasa, hanya gadis biasa. Tapi ia punya keyakinan akan satu hal. Rasa sakit itu kelak akan sembuh dengan berlalunya waktu karena dia percaya akan ada kebahagiaan lain yang akan memeluknya erat untuk selamanya.
Saat ini, ya saat ini pasti akan berlalu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Nuraini binti Ahmad Subagio dengan maskawin seperangkat alat solat dan alqur’an dibayar tunai.” Lantang, jelas dan benar kabul yang diucapkan olen Muhammad Dani Aldiansyah.
“Bagaimana sah?” Tanya penghulu.
“Sah.” Jawab semua orang yang menyaksikan akad nikah.
Airmata itu mengalir lagi di pipi Rifana yang lembut. Sebagai seorang kakak, Gio yang berada di samping Rifana merangkulnya erat dan Rifana menghapus airmatanya.
******
Empat  tahun kemudian
“Aku seperti berada di langit. Bukan ! aku memang ada di langit. Melalui jendela ini, aku melihat awan yang menggumpal besar. Mereka seperti kapas yang bertebaran di sampingku. Aku bahagia sekali, ini salah satu hal yang aku inginkan dalam hidup. Dan ada satu hal lagi, aku akan menuju ke kota dimana seluruh muslim menghadap saat sholat. Ya, aku akan ke Mekkah untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima bersama orang tuaku. Ini kebahagiaan dan impian terbesar dalam hidup aku. Dan alhamdulillah Allah mengabulkan semuanya.”
“Aku merasa betapa Allah sangat menyayangiku. Pilihan yang aku ambil tiga tahun yang lalu adalah hal yang benar. Memang tak mudah melupakan cinta dalam hati ini untuknya namun seperti yang ku katakan waktu pasti menghapus semuanya. Sekarang aku benar-benar dengan diriku yang baru. Dan kalian tahu? Sekarang Kak Annisa sudah mempunyai anak-anak yang lucu. Ia memberikanku keponakan kembar. Yang perempuan mirip kak Annisa dan yang laki-laki mirip Kak Dani. Betapa lucunya mereka. Oh ya, Kak Gio juga sudah menikah setahun yang lalu. Sekarang semua Kakakku telah menemukan jodoh mereka masing-masing. Entah kenapa aku merindukan jodohku Yaa Rabbi. Jodoh yang kau tetapkan dan ku impikan selama ini. Aku begitu merindukan sosok yang belum ku ketahui namanya, akhlaknya dan juga rupanya. Dan entah mengapa sekarang aku begitu ingin mengetahui nama jodohku.” Tanya Rifana dalam hati.
“Tio. Nama saya Tio Rismawan Pak.”
Rifana langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang pemuda hitam manis dengan lesung pipit di kedua pipinya sedang tersenyum kepada ayahnya dan kemudian menoleh ke arah Rifana. Sontak mereka langsung menundukkan pandangan.
~ Selesai ~

Rasulullah saw bersabda, "Ketika seorang wanita menunaikan salat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya, maka dia akan masuk surga dengan beberapa pintu yang dia inginkan." (HR Bukhari)

Perkataan yang benar itu datangnya dari Allah, dan perkataan yang salah datangnya dari saya sendiri. 
Mohon Kritik dan saran yang membangun. 
Terimakasih sudah membaca. :)