oleh : Ria Adiana
Bus Trans Jakarta melaju cepat menerobos lampu merah dan kemacetan yang terjadi. Udara dalam dan luar bus yang dingin karena hujan terus membasahi bumi jakarta sore ini tak surut memberhentikan orang-orang yang lalu lalang untuk pulang ke rumah. Sore ini memang jam-jamnya pulang kantor, jadi tak heran jika kemacetan muncul di berbagai pusat jalan. Bus mendekati Halte Busway Pondok Labu yang tepat berada di dalam terminal, di sini banyak orang yang turun dan melewati koridor bus yang ramai tersebut.
BUUUKKKKK
“Aw.” teriak Chika, seorang gadis berambut panjang yang dikuncir kuda, berwajah bulat, berkulit putih dan berpenampilan sangat simple, tidak menunjukkan kefeminiman sedikitpun, sedikit lusuh karena mungkin efek dari aktivitasnya seharian.
“Hati-hati dong mas kalau jalan.” jawab Chika kesal.
Belum sempat Chika menoleh ke arahnya untuk melihat wajah sang pria, dia sudah berlalu dan menghilang melewati kerumunan orang dan keramaian di terminal.
“Huh dasar.” gumamnya.
Beberapa detik kemudian
“Loh heh, itu bukannya dompet orang itu ya.” Dengan sigap Chika langsung berlari mengejar pria tersebut.
“Mas..mas...dompetnya jatuh.” teriaknya melewati angkot-angkot dan bus-bus yang berderet serta penumpang-penumpang yang melihatnya terheran-heran.
Chika berlari mengejar pria itu cukup jauh akan tetapi dia tetap tidak bisa mendapatkannya.
“Yah, ga kekejar. Yaudahlah mungkin nanti juga ketemu.” Kata Chika sambil terengah-engah.
******
Chika duduk dilantai dua rumahnya, Ia menghadap keluar melihat langit dan pemandangan kota Jakarta yang sangat padat dan ramai meskipun sudah larut malam. Dia sering menghabiskan waktu setiap malam untuk sekedar melihat bintang, padahal sulit sekali untuk bisa mendapatkan bintang berkelip di langit Jakarta.
“Buka...nggak...buka...nggak...buka...nggak.” kata Chika yang sudah dari setengah jam yang lalu masih bingung untuk membuka dompet itu atau tidak. Tetapi karena saking lamanya ia menjadi kesal.
“Ah ribet banget sih, lebih baik buka ajalah ya. Mungkin dengan buka dompetnya gue bisa tahu siapa pemiliknya terus bisa gue balikin deh dompetnya” ucap Chika mantap.
Perlahan Chika membuka dompet itu, tetapi mengecewakan, di dalam dompetnya hanya ada selembar kertas yang sudah lusuh.
“Dasar orang yang aneh, kok gak ada kartu identitasnya sama sekali sih. Masa isi dompetnya cuma kertas doang ?” gerutu Chika lalu memegang kertas tersebut dan mulai membaca isi kertas itu.
Seberkas senyum
Hampiri sepi
Menutup pilu dan lara
Tabir mimpi menyeruak kembali
Singgahi hati
Hempaskan gundah
Hampiri sepi
Menutup pilu dan lara
Tabir mimpi menyeruak kembali
Singgahi hati
Hempaskan gundah
Cukup hanya satu kisah
Kau hadir dalam mimpi
Dengan senyum khas yang menggoda
Menyirami layunya bunga hatiku
Kau hadir dalam mimpi
Dengan senyum khas yang menggoda
Menyirami layunya bunga hatiku
Pergi saja aku
Dapatkan senyum mu setiap hari
Meleburkan angan sambut impian
Bersamamu
Telah sampai aku pada sang pujaan hati
Dapatkan senyum mu setiap hari
Meleburkan angan sambut impian
Bersamamu
Telah sampai aku pada sang pujaan hati
“for you ‘the woman whom i haven’t finded’ - FM”
“Hemmmm, orang yang aneh. Dia bisa buat puisi sedalam ini buat orang yang belum pernah dia temuin.” Ucap Chika keheranan.
******
Seperti biasanya Kamis pagi ini, Chika ada perkuliahan pagi. Ruang kuliah Chika cukup luas dengan kursi panjang yang hanya ada satu sekat ditengahnya.
“Hai Chikaaaaaaaa.” sapa Rere, sahabat Chika dari kecil itu, sembari mencubit pipi Chika.
“Aaaaw, ih bisa gak sih loe gak cubit pipi gue mulu setiap hari ?” teriak Chika.
“Gak bisa.” Tegas Rere cengengesan.
“Sssssssttttttttt ada dosen.” teriak salah satu mahasiswa.
“Aaaaw, ih bisa gak sih loe gak cubit pipi gue mulu setiap hari ?” teriak Chika.
“Gak bisa.” Tegas Rere cengengesan.
“Sssssssttttttttt ada dosen.” teriak salah satu mahasiswa.
Semua mahasiswa hening menunggu kedatangan sang dosen sambil membereskan tempat duduknya masing-masing.
“Selamat pagi semua.”Sapa Pak Hartono, dosen terdisiplin di kampus itu.
“Pagi Pak.” jawab mahasiswa serentak.
“Hari ini kita ada mahasiswa pindahan dari Australia. Dia akan menjadi mahasiswa di kampus ini sampai ia lulus. Bapak harap kalian bisa bekerja sama dengannya dalam belajar ya. Silahkan masuk, Nak.” Kata Pak Hartono mempersilahkan.
“Pagi Pak.” jawab mahasiswa serentak.
“Hari ini kita ada mahasiswa pindahan dari Australia. Dia akan menjadi mahasiswa di kampus ini sampai ia lulus. Bapak harap kalian bisa bekerja sama dengannya dalam belajar ya. Silahkan masuk, Nak.” Kata Pak Hartono mempersilahkan.
Mahasiswa baru itu pun memasuki ruangan, semua mata para hawa tertuju padanya dan tertegun melihatnya kecuali Chika yang menatapnya dengan pandangan biasa, tak ada raut kagum di wajah gadis itu. Ya, pria itu tampan, tinggi, berkulit putih, berhidung mancung, cool, dan memiliki tatapan yang mempesona. Tak heran bila kaum hawa di ruangan itu menatapnya kagum.
“Silahkan perkenalkan dirimu.” tegas Pak Hartono.
“Pagi semua, nama gue Fiko Marcelino. Gue pindahan dari Australi, sebenarnya gue asli Indo tapi gue kuliah di sana dan sekarang gue pindah ke kampus ini.”
“Pantesan, katanya dari luar negeri tapi mukanya muka lokal.” bisik Chika ke Rere.
“Hahahaha iya ya dari tadi juga gue merhatiin, tapi lumayan juga Chik.” celoteh Rere.
“Chika. Jangan bicara sendiri kamu.” tegur pak hartono kepada gadis itu.
“Loh pak, saya gak bicara sendiri kok, saya bicara sama Rere.” balas Chika tanpa dosa sambil menunjuk ke arah Rere.
“Pagi semua, nama gue Fiko Marcelino. Gue pindahan dari Australi, sebenarnya gue asli Indo tapi gue kuliah di sana dan sekarang gue pindah ke kampus ini.”
“Pantesan, katanya dari luar negeri tapi mukanya muka lokal.” bisik Chika ke Rere.
“Hahahaha iya ya dari tadi juga gue merhatiin, tapi lumayan juga Chik.” celoteh Rere.
“Chika. Jangan bicara sendiri kamu.” tegur pak hartono kepada gadis itu.
“Loh pak, saya gak bicara sendiri kok, saya bicara sama Rere.” balas Chika tanpa dosa sambil menunjuk ke arah Rere.
Alhasil seluruh mahasiswa di ruangan itu tertawa mendengar jawaban dari Chika termasuk Fiko, walaupun ia hanya tersenyum tipis.
“Emangnya ada yang lucu ya ?” tanya Chika kepada Rere.
“Dasar loe Chik...Chik ada ada aja sih.” celetuk Vino gemas yang duduk di sebelah Rere.
“Sudah...sudah diam semuanya.” Teriak Pak Hartono.
“Sekarang kamu duduk di sebelahnya Chika ya, karena hanya tempat itu yang kosong.” perintahnya kepada Fiko.
“Baik pak.” Jawab Fiko sambil mengangguk.
“Dasar loe Chik...Chik ada ada aja sih.” celetuk Vino gemas yang duduk di sebelah Rere.
“Sudah...sudah diam semuanya.” Teriak Pak Hartono.
“Sekarang kamu duduk di sebelahnya Chika ya, karena hanya tempat itu yang kosong.” perintahnya kepada Fiko.
“Baik pak.” Jawab Fiko sambil mengangguk.
******
Beberapa hari semenjak kedatangan Fiko di kampus, para kaum hawa seantero kampus telah mengetahui ada mahasiswa baru yang dengar-dengar katanya “tampan”. So, hampir seluruh mahasiswi di kampus itu mencoba berkenalan dengannya dan mencoba mendekatinya. Hanya saja Fiko adalah pria yang acuh tak acuh dengan kepopulerannya yang secepat kilat tersebut. Dia tak memperdulikan perhatian banyak gadis itu.
“Chika, loe tahu gak ?” tanya Rere kepada Chika.
“Gak tahu.” potong Chika asal.
“Ih Chika gue serius.” kata Rere sebal.
“Gue juga serius gak tahu.” Jawab Chika tambah asal.
“Tadi si Sheila nembak Fiko.” Kata Rere dengan nada tinggi.
“Oh.” respon Chika datar.
“Ih kok loe nyebelin banget sih jawabnya” Rere kecewa mendengar respon Chika.
“Emangnya gue harus bilang apa ? Wow! Gitu ? Re, ngapain gue heran, lo kan tahu sendiri si Sheila emang begitu orangnya. Gak bisa lihat cowok kece dikit aja langsung tembak ?” Kata Chika menjelaskan.
“Iya sih Chik, apalagi kan Fiko emang ganteng banget pantesan aja Sheila jadi tergoda.” ucap Rere menambahkan
“Hahahaha, emang dia ganteng ya ?” ledek Chika
“Lo normal gak sih Chik ? Ya gantenglah. Tapi...ganteng belum tentu baik sih. Itu kata-kata yang lo suka bilang ke gue kan.” Lirik Rere kepada Chika yang hanya tersenyum tipis.
“Gak tahu.” potong Chika asal.
“Ih Chika gue serius.” kata Rere sebal.
“Gue juga serius gak tahu.” Jawab Chika tambah asal.
“Tadi si Sheila nembak Fiko.” Kata Rere dengan nada tinggi.
“Oh.” respon Chika datar.
“Ih kok loe nyebelin banget sih jawabnya” Rere kecewa mendengar respon Chika.
“Emangnya gue harus bilang apa ? Wow! Gitu ? Re, ngapain gue heran, lo kan tahu sendiri si Sheila emang begitu orangnya. Gak bisa lihat cowok kece dikit aja langsung tembak ?” Kata Chika menjelaskan.
“Iya sih Chik, apalagi kan Fiko emang ganteng banget pantesan aja Sheila jadi tergoda.” ucap Rere menambahkan
“Hahahaha, emang dia ganteng ya ?” ledek Chika
“Lo normal gak sih Chik ? Ya gantenglah. Tapi...ganteng belum tentu baik sih. Itu kata-kata yang lo suka bilang ke gue kan.” Lirik Rere kepada Chika yang hanya tersenyum tipis.
******
Siang itu masih dalam hari yang sama, karena cuaca cukup panas Chika memutuskan untuk melewati taman belakang kampus untuk menuju ke Halte busway yang terdekat, tetapi tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang wanita di taman itu dan ternyata Ririn, teman sejurusan dengannya sedang menangis di bawah pohon yang rindang.
“Rin, lo kenapa ?” Tanya Chika
“Gak apa apa kok Chik.” Jawab Ririn tersedu-sedu.
“Kalau gak ada apa-apa kok mata lo basah, merah, dan sembab pula.”
“Hem, tapi kalau lo gak mau cerita juga gak apa-apa. Gue duluan ya.” Ucap Chika pamit.
Belum juga Chika melangkahkan kakinya, Ririn berkata lirih, “Gue diputusin Chik.”
“Alasannya apa?” Ucap Chika tenang.
“Dia bosan sama gue. Katanya ada orang yang lebih baik dari dia buat gue. Dia udah gak sayang lagi sama gue Chik. Padahal gue sama dia baik-baik aja, gue gak pernah sedikit pun bikin dia sakit hati gara-gara gue. Gue selalu berusaha untuk menjaga perasaan dia.” Lirih Ririn terbata-bata sambil menangis.
“Usap air mata lo ! Lo gak pantes tangisin dia, paling juga besok-besok dia udah punya pacar yang baru.” Jawab Chika enteng.
“Gak apa apa kok Chik.” Jawab Ririn tersedu-sedu.
“Kalau gak ada apa-apa kok mata lo basah, merah, dan sembab pula.”
“Hem, tapi kalau lo gak mau cerita juga gak apa-apa. Gue duluan ya.” Ucap Chika pamit.
Belum juga Chika melangkahkan kakinya, Ririn berkata lirih, “Gue diputusin Chik.”
“Alasannya apa?” Ucap Chika tenang.
“Dia bosan sama gue. Katanya ada orang yang lebih baik dari dia buat gue. Dia udah gak sayang lagi sama gue Chik. Padahal gue sama dia baik-baik aja, gue gak pernah sedikit pun bikin dia sakit hati gara-gara gue. Gue selalu berusaha untuk menjaga perasaan dia.” Lirih Ririn terbata-bata sambil menangis.
“Usap air mata lo ! Lo gak pantes tangisin dia, paling juga besok-besok dia udah punya pacar yang baru.” Jawab Chika enteng.
Perkataan Chika malah membuat Ririn semakin menangis. Memang aneh gadis yang satu ini, bukannya menghibur tetapi dia malah semakin membuat Ririn terluka.
“Sori Rin, bukannya gue mau nyakitin perasaan lo tapi cowok tuh emang ribet tahu gak. Bilang aja kalau udah bosen dan nemuin yang baru, pake bilang ada yang terbaik buat lo, terus selama ini apa? Gue hanya pengen lihat lo kuat dan lihat kenyataan yang di depan supaya lo gak kaget. Kasih batas waktu buat lo nangis, setelah itu jangan pernah nangis lagi buat dia. Oke” Ucap Chika menasehati.
Ririn hanya terdiam untuk beberapa saat dan sepertinya ia sudah bisa mengendalikan perasaannya.
“Thanks Chik. Gue harus banyak belajar dari lo. Lo bener-bener cewek yang kuat ya.” Jawab Ririn
“Ya, sama-sama” Kata Chika tersenyum tipis.
“Ya, sama-sama” Kata Chika tersenyum tipis.
*lo gak tau kenapa gue bisa sekuat ini Rin. (ucap Chika dalam hati)
Mereka pun berlalu pulang ke rumahnya masing-masing. Ternyata gadis itu punya cara tersendiri untuk menyemangati kawannya. Tetapi Chika dan Ririn tak menyadari sepasang bola mata yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka. Ya, ternyata Fiko berada di balik pohon besar di dekat taman tersebut dan mendengar semuanya.
“Apa dia, cewek yang lo bilang cengeng dan manja ? Apa dia, cewek yang membuat lo bosen ? Tapi kenapa gue ngerasa dia punya sesuatu yang berharga yang gak dimiliki cewek lain.” Kata Fiko penuh arti.
******
Keesokan hari, panasnya kota Jakarta siang ini tak surutkan semangat para mahasiswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Ibu Ratna, dosen fisika memberikan tugas fisika kepada para mahasiswa secara berkelompok dua orang, dikarenakan Chika duduk bersebelahan dengan Fiko maka mereka menjadi satu kelompok untuk menyelesaikan tugas Fisika yang harus dikumpulkan besok.
Di toilet wanita kampus
“Ah Re, gue masa harus sekelompok sama si Fiko sih, males banget deh.” keluh Chika.
“Males ? loh malah bagus kan lo jadi bisa kenal sama dia lebih dalam. hahaha” ledek Rere.
“Ngeledek lagi lo. Kita tukeran kelompok ya Re, gue sama Vino aja ya. Please” Pinta Chika penuh harap.
“Sekarang kok jadi lo yang ribet si Chik. Udah sih jalanin aja. hahaha” tambah Rere.
“Iya ya kenapa jadi gue yang ribet. Ya udah lah yang penting gue dapet nilai.” Kata Chika pasrah.
“Nah gitu dong. ” Rere tertawa puas melihat sahabatnya itu.
“Males ? loh malah bagus kan lo jadi bisa kenal sama dia lebih dalam. hahaha” ledek Rere.
“Ngeledek lagi lo. Kita tukeran kelompok ya Re, gue sama Vino aja ya. Please” Pinta Chika penuh harap.
“Sekarang kok jadi lo yang ribet si Chik. Udah sih jalanin aja. hahaha” tambah Rere.
“Iya ya kenapa jadi gue yang ribet. Ya udah lah yang penting gue dapet nilai.” Kata Chika pasrah.
“Nah gitu dong. ” Rere tertawa puas melihat sahabatnya itu.
Saat Rere dan Chika keluar dari toilet, ternyata ada Fiko yang sedang menunggu Chika di kursi panjang tak jauh dari toilet tersebut. Rere pun berlalu bersama Vino dan Chika terpaksa harus menghampiri Fiko. Fiko yang melihat kedatangan Chika, segera berdiri.
“Udah selesai ?” Tanya Fiko kepada Chika.
“Udah. Emang lo nunggu gue ?” Chika balik bertanya.
“Ya iyalah. Deadline tugas tuh besok masa gue mau ngerjain sendiri.” Jawab Fiko cuek.
“Tenang aja kali gue juga gak akan kabur kok.” Balas Chika kesal.
“Udah. Emang lo nunggu gue ?” Chika balik bertanya.
“Ya iyalah. Deadline tugas tuh besok masa gue mau ngerjain sendiri.” Jawab Fiko cuek.
“Tenang aja kali gue juga gak akan kabur kok.” Balas Chika kesal.
Mereka berjalan menuju parkiran, masih dalam suasana agak tegang.
“Kita mau ngerjain dimana ?” Tanya Fiko.
“Terserah lo aja deh.”
“Oh yaudah, kita ngerjain di Trotoar jalan mau ?” celetuk Fiko.
“Hah ? Gila lo ya.” Reflek Chika kaget.
“Loh tadi katanya terserah.” Kata Fiko.
“Ya gak gitu juga kali.” Ucap Chika.
“Makanya jangan jawab terserah. Gue benci kata terserah.”
“Terserah lo aja deh.”
“Oh yaudah, kita ngerjain di Trotoar jalan mau ?” celetuk Fiko.
“Hah ? Gila lo ya.” Reflek Chika kaget.
“Loh tadi katanya terserah.” Kata Fiko.
“Ya gak gitu juga kali.” Ucap Chika.
“Makanya jangan jawab terserah. Gue benci kata terserah.”
Mereka masih dalam suasana yang menegangkan. Chika masih menggerutu dalam hatinya atas semua perkataan Fiko tersebut. Dia kesal kenapa sebuah kata aja dibuat ribet oleh Fiko. Tetapi memang tak semua hal bisa dijawab dengan kata terserah, adakalanya setiap orang butuh kepastian akan suatu hal. Tetapi orang sesantai Chika tak pernah memaknai kata terserah dengan sedemikian ribet seperti itu.
“Nih pake helmnya” perintah Fiko.
Chika pun memakai helm tersebut, masih dengan wajah cemberutnya. Kemudian menaikki motor 2R ber-background merah yang sangat sesuai dengan penampilan seorang Fiko Marcelino.
“Pegangan ya” Kata Fiko sambil meraih tangan Chika dan menaruhnya di pinggangnya.
Tanpa sadar banyak mata para hawa melihat kedekatan Chika dan Fiko hingga membuat mereka iri tetapi mereka pun berlalu ke suatu tempat entah kemana untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sekarang entah perasaan apa yang ada di dalam hati Chika, dia hanya terdiam melihat sikap Fiko. Seolah-olah ia pernah merasakan keadaan yang sama seperti keadaan yang baru ia alami tadi.
Sampailah mereka di sebuah danau tak jauh dari penatnya hiruk pikuk kehidupan kota Jakarta yang ramai dan padat. Chika terheran-heran melihat keindahan alam yang ada di depannya saat ini. Padang rumput yang luas mengelilingi danau hijau yang jernih, bukit-bukit menjulang menambah keindahan sekitarnya. Udara pun sangat sejuk terasa dihirupnya.
“Wow, indah banget ya Ko.” Ucap Chika dengan senyumannya yang sangat lebar sambil menghirup sejuknya udara sedalam-dalamnya.
“Iya emang indah” Jawab Fiko seadanya. “Lo suka ?” Fiko meliriknya bertanya.
“Suka banget Ko. Gue kangen banget sama suasana yang seperti ini, kayaknya udah setahun gue gak pernah ngerasain kesejukan sedamai ini.” Jawab Chika bersemangat.
“Iya emang indah” Jawab Fiko seadanya. “Lo suka ?” Fiko meliriknya bertanya.
“Suka banget Ko. Gue kangen banget sama suasana yang seperti ini, kayaknya udah setahun gue gak pernah ngerasain kesejukan sedamai ini.” Jawab Chika bersemangat.
Chika tak menyadari dan tak memperdulikan percakapan antara dia dan Fiko di kampus. Seolah-olah mereka tidak pernah terlibat dalam percakapan yang menegangkan tadi.
“Setahun yang lalu ? emang lo baru di Jakarta ?” Tanya Fiko menyelidiki.
“Gue emang asli Jakarta tetapi gue dan keluarga merantau ke Bandung dan baru setahun gue pindah lagi ke sini.” Jawab Chika menjelaskan.
“Kok lo bisa tahu tempat seindah ini di dekat Jakarta sih, kan lo juga orang baru di sini ?” Tanya Chika penasaran.
“Seminggu setelah pindah, gue cari-cari tempat kayak gini. Ya kalau gak ada di Jakarta minimal di sekitar Jakarta lah. Akhirnya ketemu juga kan.” Jawab Fiko tersenyum melirik ke arah Chika.
“Gue emang asli Jakarta tetapi gue dan keluarga merantau ke Bandung dan baru setahun gue pindah lagi ke sini.” Jawab Chika menjelaskan.
“Kok lo bisa tahu tempat seindah ini di dekat Jakarta sih, kan lo juga orang baru di sini ?” Tanya Chika penasaran.
“Seminggu setelah pindah, gue cari-cari tempat kayak gini. Ya kalau gak ada di Jakarta minimal di sekitar Jakarta lah. Akhirnya ketemu juga kan.” Jawab Fiko tersenyum melirik ke arah Chika.
Di sana Chika tersadar bahwa Fiko memiliki senyum yang sangat manis.
“Oh ya tugas kita belum dikerjakan nih. Yuuuk ngerjain.” Ajak Fiko memecah keheningan.
Chika hanya mengangguk dan mereka mulai mengerjakan tugas Fisika di sana. Selama beberapa jam mereka mengerjakan, sesekali mereka beradu pendapat dan kadang tiba-tiba tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa ini adalah awal baik kedekatan mereka. J
*****
Keesokan harinya semua mahasiswa Jurusan Fisika yang mendapatkan tugas kelompok dari Ibu Ratna dosen Fisika kampus tersebut mengumpulkan tugas di Ruang Dosen. Tepat 08.00 Ibu Ratna memasuki ruang kuliah kemudian memeriksa satu per satu tugas yang dikerjakan para mahasiswa.
“Fiko dan Chika kalian tidak mengerjakan tugas yang saya perintahkan ?” Tanya Bu Ratna.
“Sudah, Bu.” Jawab Chika.
“Kalian berdua maju ke depan !” Perintahnya.
“Sudah, Bu.” Jawab Chika.
“Kalian berdua maju ke depan !” Perintahnya.
Chika dan Fiko heran mendengar perkataan Bu Ratna namun tetap menuruti perintah Bu Ratna untuk maju ke depan menghampirinya.
“Lihat ! saya kan menyuruh kalian mengerjakan soal nomer 10 sampai dengan 30. Semua mahasiswa yang lain mengerjakannya tetapi mengapa kalian mengerjakan soal nomer 1 sampai dengan 20 ? Kalian tidak mendengarkan yang saya katakan ya ?” Tanya Bu Ratna dengan nada tinggi.
Kemudian Fiko dan Chika pun melihat tugas yang dikerjakan oleh teman-teman yang lain ternyata benar mereka melakukan kesalahan. Mereka salah mengerjakan tugas yang diberikan oleh Ibu Ratna.
“Maaf Ibu, Kami mengakui kekeliruan yang kami lakukan. Kami siap mendapatkan konsekuensinya Bu.” Kata Fiko tegas.
“Iya Bu.” Tambah Chika.
“Baiklah karena kalian dengan lapang mengakui kesalahan kalian maka Saya memberikan keringanan waktu sampai siang 14.00, kumpulkan di meja saya ya.” Perintah Bu Ratna.
“Baik, Bu.” Jawab Fiko dan Chika serentak.
“Tunggu sebentar. Saya dengar kamu mempunyai suara yang bagus ya Fiko ? Bagaimana jika kamu menyanyikan sebuah lagu untuk kita semua yang ada di ruangan ini ?” Tanyanya.
“Tapi, Bu.” Elak Fiko.
“Tidak ada tapi-tapian. Saya pernah melihat sertifikat lomba menyanyi kamu di meja Pak Hartono. Kamu ingin mendapatkan nilai dari tugas yang tadi bukan ? Atau kamu mau tugas yang akan kamu kerjakan hanya sia-sia.” Ucap Bu Ratna.
“Iya Bu.” Tambah Chika.
“Baiklah karena kalian dengan lapang mengakui kesalahan kalian maka Saya memberikan keringanan waktu sampai siang 14.00, kumpulkan di meja saya ya.” Perintah Bu Ratna.
“Baik, Bu.” Jawab Fiko dan Chika serentak.
“Tunggu sebentar. Saya dengar kamu mempunyai suara yang bagus ya Fiko ? Bagaimana jika kamu menyanyikan sebuah lagu untuk kita semua yang ada di ruangan ini ?” Tanyanya.
“Tapi, Bu.” Elak Fiko.
“Tidak ada tapi-tapian. Saya pernah melihat sertifikat lomba menyanyi kamu di meja Pak Hartono. Kamu ingin mendapatkan nilai dari tugas yang tadi bukan ? Atau kamu mau tugas yang akan kamu kerjakan hanya sia-sia.” Ucap Bu Ratna.
* kena lo Fiko dikerjain Bu Ratna. (Kata Chika dalam hati merasa puas.)
“Tidak, Bu. Baiklah.” Jawab Fiko pasrah.
Ibu Ratna memang dosen yang sangat tegas tetapi dia adalah salah satu dosen pembimbing Paduan Suara di kampus dan sangat menyukai dunia tarik suara sehingga tak heran bila dia tidak bisa menahan diri bila ia mengetahui ada bakat menyanyi yang dimiliki oleh salah satu mahasiswanya, apalagi Fiko tidak tertarik untuk mengikuti UKM di kampusnya sehingga Beliau tidak memiliki cara lain untuk membuat Fiko menyanyi selain dalam perkuliahan.
“Berarti saya boleh duduk ya , Bu ?” Tanya Chika penuh harap.
“Siapa bilang kamu boleh duduk ? Kamu tetap di sini dan kamu jadi model yang menemani Fiko bernyanyi.” Jawab Bu Ratna.
“Cieeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.” Teriak semua mahasiswa di ruangan itu serentak.
“Gue kena lo juga harus kena.” Bisik Fiko di telinga Chika.
“Siapa bilang kamu boleh duduk ? Kamu tetap di sini dan kamu jadi model yang menemani Fiko bernyanyi.” Jawab Bu Ratna.
“Cieeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.” Teriak semua mahasiswa di ruangan itu serentak.
“Gue kena lo juga harus kena.” Bisik Fiko di telinga Chika.
Chika hanya bisa menggerutu dalam hati atas semua kejadian ini.
“Baik. Mulailah sekarang Fiko !” Perintah Bu Ratna.
Suasana seketika menjadi hening menunggu suara emasnya Fiko mengalun. Semua mata tertuju pada mereka berdua.
I think of you, in everything that i do
(Chika langsung menatap Fiko seakan tak percaya. Lagu yang dinyanyikan Fiko adalah lagu kesukaannya - Christian Bautista “Since I Found You”)
To be with you whatever it takes I’ll do
Cause you my life you are all my heart desires
Cause you my life you are all my heart desires
Fiko memegang kedua tangan Chika dan mereka saling berhadapan. Fiko menatap kedua bola mata Chika sangat dalam. Entah karena menghayati lagu tersebut atau karena hal lain. Yang jelas Chika tak dapat mengelak perlakuan Fiko dan membalas tatapannya.
You have lightened my life forever I am alive
Since I found you my world seems so brand you
You show me the love I never knew
Your present is what my whole life trough
Since I found you my life begin so new
Now who needs a dream when there is you
For all of my dream came true
Since I found you
Since I found you my world seems so brand you
You show me the love I never knew
Your present is what my whole life trough
Since I found you my life begin so new
Now who needs a dream when there is you
For all of my dream came true
Since I found you
............................................................................
My heart forever true
In love with you.
Fiko berlutut dihadapan Chika bersamaan dengan berakhirnya lagu tersebut.
Prok Prok Prok Prok
Semua orang di ruangan tersebut serentak berdiri dan bertepuk tangan memberikan appreciation untuk Fiko yang menyanyikan lagu Cristian Bautista dengan sangat bagus ditambah dengan ekspresi yang diluapkannya kepada Chika menambah suasana yang begitu romantis.
“Amazing Fikooo.” Ucap Bu Ratna dengan senyumannya yang lebar.
“Terima Kasih Bu.” Jawab Fiko datar dengan senyum tipisnya.
“Ekhm...Ekhm itu tangannya gak dilepas-lepas ya. Hahahaha.” sindir Rere lantang.
“Terima Kasih Bu.” Jawab Fiko datar dengan senyum tipisnya.
“Ekhm...Ekhm itu tangannya gak dilepas-lepas ya. Hahahaha.” sindir Rere lantang.
Mereka tak menyadari sedari tadi tangan mereka berdua belum dilepas. Mereka pun kaget dan menjadi salah tingkah.
“cieeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.” teriak teman-teman yang lainnya. Mereka semua tertawa melihat kejadian tersebut.
******
Di lorong kampus
“Ciee, Chika sama Fiko.” Ledek Rere.
“Ih, apa sih lo Re.” Jawab Chika kesal.
“Lo suka ya Chik sama Fiko. Kelihatan banget loh tadi ekspresi lo.” Tambah Rere meledeki Chika.
“Apaan sih. Tadi gue cuma akting gak lebih. Lagian mana mungkin gue suka sama cowok belagu kayak dia.” Elak Chika.
“Masa sih ? Perasaan gue, Fiko gak belagu deh. Udah deh jangan bohong sama gue.” Ucap Rere.
“Please stop, Re ! Gue lagi males ngebahas makhluk yang namanya cowok.” Terlihat jelas suasana hati Chika menjadi buruk. Maka sebagai sahabat yang sangat mengerti perasaan Chika, Rere langsung men-stop ledekannya itu.
“Gue mau ngelanjutin tugas Fisikanya Bu Ratna, Re. Gue duluan ya.” Kata Chika berpamitan.
“Iya. Hati-hati ya Chika sayang.” Jawab Rere tersenyum.
“Iya lo juga ya. haha” Balas Chika dengan senyuman.
“Ih, apa sih lo Re.” Jawab Chika kesal.
“Lo suka ya Chik sama Fiko. Kelihatan banget loh tadi ekspresi lo.” Tambah Rere meledeki Chika.
“Apaan sih. Tadi gue cuma akting gak lebih. Lagian mana mungkin gue suka sama cowok belagu kayak dia.” Elak Chika.
“Masa sih ? Perasaan gue, Fiko gak belagu deh. Udah deh jangan bohong sama gue.” Ucap Rere.
“Please stop, Re ! Gue lagi males ngebahas makhluk yang namanya cowok.” Terlihat jelas suasana hati Chika menjadi buruk. Maka sebagai sahabat yang sangat mengerti perasaan Chika, Rere langsung men-stop ledekannya itu.
“Gue mau ngelanjutin tugas Fisikanya Bu Ratna, Re. Gue duluan ya.” Kata Chika berpamitan.
“Iya. Hati-hati ya Chika sayang.” Jawab Rere tersenyum.
“Iya lo juga ya. haha” Balas Chika dengan senyuman.
******
Chika dan Fiko berada di perpustakaan kampus untuk mengerjakan tugas Fisika yang harus dikumpulkan hari ini juga.
Di Perpustakaan
“Fiko, gue........” Belum sempat Chika meneruskan ucapannya Fiko langsung memotongnya.
“Gue tadi cuma akting jadi lo jangan ke-geer-an.” Kata Fiko datar.
“Gue tadi cuma akting jadi lo jangan ke-geer-an.” Kata Fiko datar.
Entah perasaan apa yang sekarang ada di dalam hati gadis manis itu. Mengapa dia merasakan sakit atas perkataan yang Fiko ucapkan ? Dia hanya bisa terdiam mendengarnya dan sebenarnya tak tahu lagi apa yang harus dia ucapkan kepada seorang Fiko Marcelino.
“Ye, siapa lagi yang geer. Gak akan ya cowok belagu kayak lo bikin gue geer.” Ucap Chika lantang.
Fiko hanya terdiam dan terus mengerjakan tugas dengan tenang, tidak mengindahkan Chika yang mulai kesal dengan dirinya.
******
Pada hari yang sama, setelah Chika mengumpulkan tugas di meja Bu Ratna, Ia pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya karena dia sudah sangat penat dengan kuliahnya hari ini. Tetapi dia di hadang oleh Sheila and the genk dengan maksud dan tujuan yang tak lain pasti tentang Fiko Marcelino.
“Lo mau apa ?” Tanya Chika santai.
“Pake nanya lagi. Lo ada hubungan apa hah sama Fiko ?” Tanya Sheila dengan nada tinggi.
“Hubungan ? Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia.” Elak Chika santai.
“Alah gak usah ngelak deh lo. Gue kemaren lihat lo sama Fiko naik motor pake pegang pinggang Fiko segala lagi. Terus tadi gue lihat lo pegang-pegangan tangan sama dia di depan ruang kuliah. Masih mau ngelak lo ?” Kata Sheila masih dengan nada tinggi.
“Terus mau lo apa ?” Kata Chika masih santai menanggapi sikap cemburuan Sheila yang sebenarnya tidak pantas karena memang Fiko bukan siapa-siapanya.
“Gue pengen lo jauhin dia. Fiko tuh milik gue, jadi gak ada cewek manapun yang boleh deket sama dia kecuali gue. Ngerti lo ?” Kata Sheila mengancam.
“Milik lo ? Emang Fiko barang ya yang bisa lo milikin ? Lagian, Gue denger-denger kan katanya lo ditolak sama dia. Bukan begitu ?” Kata Chika melawan.
“Kurang ajar lo ya.” Sheila naik darah mendengar ucapan Chika dan melayangkan tangannya ke pipi Chika.Tetapi belum sampai tangan Sheila mendarat di pipi Chika, Chika langsung menangkisnya.
“Sori gue gak ada waktu meladeni lelucon kayak gini.” Ucap Chika dingin dan langsung pergi dari kumpulan Sheila dan kawan-kawannya yang masih naik darah atas perkataan Chika tersebut.
“Pake nanya lagi. Lo ada hubungan apa hah sama Fiko ?” Tanya Sheila dengan nada tinggi.
“Hubungan ? Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia.” Elak Chika santai.
“Alah gak usah ngelak deh lo. Gue kemaren lihat lo sama Fiko naik motor pake pegang pinggang Fiko segala lagi. Terus tadi gue lihat lo pegang-pegangan tangan sama dia di depan ruang kuliah. Masih mau ngelak lo ?” Kata Sheila masih dengan nada tinggi.
“Terus mau lo apa ?” Kata Chika masih santai menanggapi sikap cemburuan Sheila yang sebenarnya tidak pantas karena memang Fiko bukan siapa-siapanya.
“Gue pengen lo jauhin dia. Fiko tuh milik gue, jadi gak ada cewek manapun yang boleh deket sama dia kecuali gue. Ngerti lo ?” Kata Sheila mengancam.
“Milik lo ? Emang Fiko barang ya yang bisa lo milikin ? Lagian, Gue denger-denger kan katanya lo ditolak sama dia. Bukan begitu ?” Kata Chika melawan.
“Kurang ajar lo ya.” Sheila naik darah mendengar ucapan Chika dan melayangkan tangannya ke pipi Chika.Tetapi belum sampai tangan Sheila mendarat di pipi Chika, Chika langsung menangkisnya.
“Sori gue gak ada waktu meladeni lelucon kayak gini.” Ucap Chika dingin dan langsung pergi dari kumpulan Sheila dan kawan-kawannya yang masih naik darah atas perkataan Chika tersebut.
******
Di Kamar Chika
BUUKKKKKKK
Chika membaringkan tubuhnya di kasur dengan sprei ber-background bola-bola warna-warni dengan warna dasar coklat muda. Kamar tidur yang rapi dengan buku-buku yang ditata dan letak barang-barang yang sesuai memberikan efek kamarnya menjadi luas. Tembok cat berwarna kuning soft membuat kamar itu menjadi cerah. Chika masih menaruh tas dan sepatunya di tempat yang sembarang, entah mengapa hari ini dia kelihatan begitu lelah. Banyak hal yang dia tidak mengerti terutama dengan sikap seseorang yang terkadang baik lalu menjadi sangat angkuh serta perasaannya dan dia tidak bisa mengelak bahwa sekarang ada sosok seorang Fiko Marcelino yang terkadang membuat ia mencari-cari orang seperti apa sebenarnya Fiko itu ? Karena sangat lelahnya maka dia pun terlelap.
“Sayang.” Sapa pria berkacamata, bertubuh tinggi, berkulit putih, dengan senyuman yang ditambah oleh dua lesung pipit di kedua sisi pipinya menambah sweet senyum yang ia suguhkan.
“Kakak.” Jawab Chika tersenyum, yang sedari tadi menunggu kedatangan pria tersebut di kursi panjang tepat berada di tengah taman kota yang hijau penuh dengan pepohonan yang mendukung sejuknya udara sore hari.
“Udah lama nunggunya ?” Tanya sang pria.
Chika hanya mengangguk pelan. Seakan mendapatkan kepastian atas penantiannya di taman sendiri dan sekarang ada seseorang yang sangat ia cintai di sampingnya.
“Ada sesuatu penting yang harus kakak sampaikan ke kamu.” Ucapnya.
“Sesuatu yang penting ? Apa itu kak ?” Balas Chika bersemangat.
“Sesuatu yang penting ? Apa itu kak ?” Balas Chika bersemangat.
Sang pria terdiam dan menarik nafas sangat panjang seakan menandakan ada sesuatu buruk yang akan terjadi.
“Sepertinya kita harus mengakhiri hubungan kita de. Kakak mau kita putus.” Katanya pelan.
Seperti ada kilat yang menyambar silih berganti di sampingnya membuatnya lemas. Hingga ia tidak bisa lari kemana pun. Sesak. Sesuatu menghimpitnya dan tanpa tersadar air mata telah membasahi kedua pipi Chika. Tak ada yang dapat ia sampaikan. Chika terpukul, semua seperti mimpi yang tak dapat ia mengerti. Pria itu pun kemudian bangkit dari duduknya dan meninggalkan Chika tapi ia meraih tangan sang pria dan berusaha menahannya untuk tetap tinggal.
“Jangan tinggalin aku kak.” Kata Chika mencoba untuk mempertahankannya tetap di sampingnya tetapi perlahan-lahan genggaman tangan mereka terlepas.
“Maafin Kakak de.” Balas sang pria singkat. Sang pria pun pergi dan menghilang.
“Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkk” Teriak Chika yang langsung terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah, keringat keluar dari pori-pori kulitnya dan membasahi tubuhnya. Air matanya pun keluar. Ternyata semua itu hanya mimpi tetapi sakit dari mimpi sangat dalam hingga membuat air matanya jatuh di kenyataan.
“Kak Riza.” Lirihnya terengah-engah menyebut nama sang pria.
“Astaghfirullahaladziim.” Kata Chika sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Maafin Kakak de.” Balas sang pria singkat. Sang pria pun pergi dan menghilang.
“Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkk” Teriak Chika yang langsung terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah, keringat keluar dari pori-pori kulitnya dan membasahi tubuhnya. Air matanya pun keluar. Ternyata semua itu hanya mimpi tetapi sakit dari mimpi sangat dalam hingga membuat air matanya jatuh di kenyataan.
“Kak Riza.” Lirihnya terengah-engah menyebut nama sang pria.
“Astaghfirullahaladziim.” Kata Chika sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Beberapa saat kemudian handphone Chika berdering “The Way You Look at Me” nya Cristian memecah keheningan dan mengalun menandakan ada sms yang masuk.
Jelek, main sepeda nyok. (Sms dari Vino)
Sore ini Pipin ? (Balas Chika)
Nggak, tahun depan. Ya iyalah oon sekarang :P (Ledek Vino)
Huh :@ Bilang “manis” dulu dong Pin. Hahaha (Balas Chika asal)
Iya manis. :P (Balas Vino)
Pipin, si Rere ikut gak ? (Tanya Chika)
Dia mau ke salon katanya. Gue tunggu di taman 15 menit lagi yak (Tegas Vino)
Oh gitu. Oke Siip. (Balas Chika mengakhiri.)
Sore ini Pipin ? (Balas Chika)
Nggak, tahun depan. Ya iyalah oon sekarang :P (Ledek Vino)
Huh :@ Bilang “manis” dulu dong Pin. Hahaha (Balas Chika asal)
Iya manis. :P (Balas Vino)
Pipin, si Rere ikut gak ? (Tanya Chika)
Dia mau ke salon katanya. Gue tunggu di taman 15 menit lagi yak (Tegas Vino)
Oh gitu. Oke Siip. (Balas Chika mengakhiri.)
Chika untuk sementara waktu bisa mengalihkan perhatiannya atas mimpi buruk yang baru saja dia alami. Vino, yang juga sahabat baik Chika dari kecil memang selalu ada untuknya. Bukan hanya disaat senang tetapi dia juga selalu hadir saat sedih.
******
Di taman perumahan
Vino dengan setelan jaket merah dan celana pendeknya, ia terlihat sangat supel tetapi tak mengurangi ketampanannya sedikit pun. Vino atau Pipin (panggilan kecil Vino dari Chika) sedang melihat-lihat jarum panjang di arlojinya, waktu sudah menunjukkan 17.15 yang artinya Chika telah terlambat lima belas menit dari waktu yang telah mereka janjikan.
Kringggg.....Kringgggg
Chika, masih dengan gaya rambut andalannya yang dikuncir kuda dengan setelan cardigan coklat tua dan muda yang bermotif garis-garis dan celana pendek selutut berwarna hitam datang dengan wajah yang cengengesan.
“Ketawa lagi. Telat 15 menit lo.” Kata Vino kesal.
“Maaf Pin. Gue tadi disuruh nyokap dulu ke warung.” Elak Chika beralasan.
“Alasan mulu lo Chik. Ya udah gue maafin tapi lo harus beliin gue es krim ya.”
“Huh harus disogok dulu lo mah Pin. Sebel gue.” Ucap Chika sebal.
“Ya udah lo mau gak ? Kalau gak mau, gue marah ni.” Jawab Vino mengancam.
“Iya oke-oke. Tapi lo harus balap gue duluuuuuu. hahahaha” Ledek Chika sambil mengayuh sepedanya meninggalkan Vino dengan sangat cepat. Vino yang tak menyangka Chika akan meninggalkannya, dengan cekatan mengayuh sepedanya mengejar Chika.
“Maaf Pin. Gue tadi disuruh nyokap dulu ke warung.” Elak Chika beralasan.
“Alasan mulu lo Chik. Ya udah gue maafin tapi lo harus beliin gue es krim ya.”
“Huh harus disogok dulu lo mah Pin. Sebel gue.” Ucap Chika sebal.
“Ya udah lo mau gak ? Kalau gak mau, gue marah ni.” Jawab Vino mengancam.
“Iya oke-oke. Tapi lo harus balap gue duluuuuuu. hahahaha” Ledek Chika sambil mengayuh sepedanya meninggalkan Vino dengan sangat cepat. Vino yang tak menyangka Chika akan meninggalkannya, dengan cekatan mengayuh sepedanya mengejar Chika.
Chika dan Vino terus mengayuh sepedanya menjauhi perumahan tempat tinggalnya. Bersepeda sore-sore adalah hal yang mereka sukai sejak kecil. Chika, Vino dan Rere selalu bersama-sama dari kecil hingga mereka kuliah pun berada dalam satu Universitas. Tetapi dikarenakan mereka sudah besar dan banyak kegiatan berbeda-beda yang mereka laksanakan maka untuk bersepeda bersama setiap sore menjadi jarang mereka lakukan.
Tiba-tiba di jalan yang menurun, kecepatan sepeda Chika meningkat dan terlihat oleh Vino Chika tidak bisa mengendalikan sepedanya itu.
“Chika rem Chik.” Teriak Vino.
“Remnya blong Pin. Gimana ini ?” Teriak Chika panik.
“Remnya blong Pin. Gimana ini ?” Teriak Chika panik.
Chika panik karena tidak bisa mengendalikan sepedanya, tepat di pertigaan jalan Chika menabrak trotoar jalan dan ia terpental ke tanah sebelah trotoar. Untunglah ia jatuh di tanah yang banyak ditumbuhi rerumputan sehingga tidak terlalu sakit. Sementara sepedanya tergeletak di jalan dan tiba-tiba ada sebuah mobil kijang biru yang melaju sangat cepat daannnnnn..........
Krekkkkkkkk
“Sepeda gue.” Teriak Chika.
“Chik lo gak apa-apa ?” Tanya Vino khawatir dan melihat keadaan Chika.
“Nggak, gue gak apa-apa kok. Tapi itu lihat sepeda gue rusak Pin.” Jawab Chika sedih.
“Chik lo gak apa-apa ?” Tanya Vino khawatir dan melihat keadaan Chika.
“Nggak, gue gak apa-apa kok. Tapi itu lihat sepeda gue rusak Pin.” Jawab Chika sedih.
Vino melihat-lihat sepeda Chika, yang rusak (dilindas mobil) hanyalah ban belakang sepedanya, bagian sepeda yang lain hanya tergores akibat gesekan dengan aspal.
“Masih bisa dibetulkan kok Chik. Di dekat sini ada bengkel mending kita ke sana sekarang.” Usul Vino.
Chika pun mengikuti usulan Vino. Mereka boncengan naik sepeda sambil mengangkat sepeda Chika yang rusak menuju bengkel. Tetapi saat hampir sampai, tiba-tiba rantai sepeda Vino putus dan terpaksa mereka harus berjalan menuju bengkel.
Di Bengkel
“Bang tolong benerin ya.” Pinta Vino kepada Abang tukang bengkel.
Beberapa saat kemudian azan magrib berkumandang. Untunglah bengkel tersebut tepat berada di samping masjid sehingga Chika dan Vino memutuskan untuk melaksanakan sholat terlebih dahulu. Setelah solat Vino langsung kembali ke bengkel dan menunggu Chika di sana.
“Pin lo kok. . . . .” Belum sempat Chika melanjutkan perkataanya dia kaget akan kehadiran seseorang di hadapannya.
“FIKO.” Ucap Chika pelan.
“Hai.” Sapa Fiko datar.
“Kok lo bisa di sini ?” Tanya Chika.
“Tadi gue selesai solat ketemu sama Vino.” Jawab Fiko singkat.
“Chik, kata abangnya masih lama kalau ditungguin. Mendingan lo balik sama Fiko aja ya ?” Ucap Vino menawarkan.
“Terus nanti lo sama siapa ?” Tanya Chika.
“Gue mah gampang. Lo tenang aja, nanti kalau udah selesai sepedanya gue bawa ke rumah gue dulu. Besok baru gue anter ke rumah lo sekalian berangkat ke kampus.” Jawab Vino menjelaskan.
“Tapi kan Pin, gue pergi sama lo berarti harus pulang sama lo kan ?” Chika mengelak dengan alasan yang dia buat-buat sendiri. Sebenarnya ia hanya tak ingin berlama-lama dekat dengan makhluk bernama Fiko Marcelino yang sedikit demi sedikit telah mengganggu pikirannya.
“Ya tapi kan kalau lo bareng sama gue pasti kemalaman. Udah deh jangan alasan terus, biasanya juga nggak apa-apa kan ?” Kata Vino meyakinkan.
“Ya bukannya gitu. Tapi kan . . . . . .” Belum sempat diteruskan, Vino memotong perkataan Chika.
“Udah gak ada tapi-tapian. Fiko juga mau kok nganterin lo. Iya kan Ko ?” Tanya Vino sambil melirik ke arah Fiko.
“FIKO.” Ucap Chika pelan.
“Hai.” Sapa Fiko datar.
“Kok lo bisa di sini ?” Tanya Chika.
“Tadi gue selesai solat ketemu sama Vino.” Jawab Fiko singkat.
“Chik, kata abangnya masih lama kalau ditungguin. Mendingan lo balik sama Fiko aja ya ?” Ucap Vino menawarkan.
“Terus nanti lo sama siapa ?” Tanya Chika.
“Gue mah gampang. Lo tenang aja, nanti kalau udah selesai sepedanya gue bawa ke rumah gue dulu. Besok baru gue anter ke rumah lo sekalian berangkat ke kampus.” Jawab Vino menjelaskan.
“Tapi kan Pin, gue pergi sama lo berarti harus pulang sama lo kan ?” Chika mengelak dengan alasan yang dia buat-buat sendiri. Sebenarnya ia hanya tak ingin berlama-lama dekat dengan makhluk bernama Fiko Marcelino yang sedikit demi sedikit telah mengganggu pikirannya.
“Ya tapi kan kalau lo bareng sama gue pasti kemalaman. Udah deh jangan alasan terus, biasanya juga nggak apa-apa kan ?” Kata Vino meyakinkan.
“Ya bukannya gitu. Tapi kan . . . . . .” Belum sempat diteruskan, Vino memotong perkataan Chika.
“Udah gak ada tapi-tapian. Fiko juga mau kok nganterin lo. Iya kan Ko ?” Tanya Vino sambil melirik ke arah Fiko.
Fiko mengangguk menandakan bahwa ia menyetujuinya.
Akhirnya Chika pun mau mengikuti perkataan Vino dan mengizinkan Fiko untuk mengantarkan ia pulang ke rumahnya.
“Pin, hati-hati ya. Sms gue kalau udah di rumah, Oke.” Pesan Chika kepada Vino.
“Iya Chika.” Jawab Vino singkat.
“Iya Chika.” Jawab Vino singkat.
******
Fiko pun akhirnya mengantarkan Chika pulang ke rumahnya. Di perjalanan motor Fiko berhenti di SPBU yang tak jauh dari bengkel tersebut. Setelah mengisi bahan bakar motornya, ia pun menghampiri Chika dan belum juga Chika menaiki motor Fiko, ada suara yang timbul dari perut Chika.
Kruueeekkkkk........Krueekkkkkkkkk
“Lo lapar ?” Tanya Fiko singkat.
“Hehe. Iya” Jawab Chika dengan wajah malunya yang lucu.
“Hehe. Iya” Jawab Chika dengan wajah malunya yang lucu.
Seperti memahami keadaan gadis itu, Fiko pun kemudian memberhentikan motornya di sebuah Cafe seafood.
“Lo gak alergi seafood kan ?” Tanya Fiko cuek.
“Nggak kok.” Jawab Chika sesingkat mungkin, entah mengapa dia tidak ingin salah berbicara di depan Fiko dan tidak tahu harus menghadapi Fiko dengan sikap seperti apa.
“Nggak kok.” Jawab Chika sesingkat mungkin, entah mengapa dia tidak ingin salah berbicara di depan Fiko dan tidak tahu harus menghadapi Fiko dengan sikap seperti apa.
Chika pun mengikuti langkah Fiko memasuki cafe tersebut, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua. Fiko mengajak Chika untuk duduk di kursi nomer 9. Kemudian waitress di cafe itu pun memberikan daftar menu kepada Fiko.
“Lo mau makan apa ?” Tanya Fiko.
“Ter.” Baru saja Chika akan mengucap kata “terserah” tetapi dia teringat perkataan Fiko tempo hari yang menyebutkan bahwa dia benci dengan kata terserah.
“Maksud gue, gue disamain aja sama lo.” Jawab Chika meralat.
“Cumi goreng mentega aja ya ?” Tanya Fiko.
“Iya.” Jawab Chika singkat sambil tersenyum. Cumi adalah makanan kesukaannya jadi tak heran bila ia senang mendengar tawaran Fiko tersebut.
“Ter.” Baru saja Chika akan mengucap kata “terserah” tetapi dia teringat perkataan Fiko tempo hari yang menyebutkan bahwa dia benci dengan kata terserah.
“Maksud gue, gue disamain aja sama lo.” Jawab Chika meralat.
“Cumi goreng mentega aja ya ?” Tanya Fiko.
“Iya.” Jawab Chika singkat sambil tersenyum. Cumi adalah makanan kesukaannya jadi tak heran bila ia senang mendengar tawaran Fiko tersebut.
Mereka menunggu menu masakan yang dipesan cukup lama tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani untuk memulai percakapan.
Beberapa menit kemudian waitress datang
“Lo tahu gak Fiko. Cumi itu makanan kesukaan gue, jadi gue senang banget pas lo nawarin ini.” Kata Chika cengar-cengir sambil memakan makanan tersebut.
Fiko hanya tersenyum mendengar ucapan Chika yang sambil makan itu. Seperti telah mengetahui apa yang disukai gadis itu sehingga bisa membuatnya begitu bahagia. Meja nomer sembilan yang tepat di daerah luar cafe yang langsung berhubungan dengan udara luar malam, serta ditambah cahaya sang bulan yang tepat menyinari wajah Chika membuat wajah gadis itu begitu lembut dan anggun. Fiko bisa melihat kecantikan wajah Chika yang tak ber-make up dan apa adanya tanpa dibuat-buat.
* Lo emang cantik. (Kata Fiko dalam hati)
Karena dia makan sambil berbicara dan terlalu bersemangat memakan cuminya. Tiba-tiba ia tersedak, batuk-batuk dan kemudian panik. Fiko pun dengan segera memberikan air kepada Chika.
“Ini diminum.” Kata Fiko sambil menyodorkan minuman ke mulut Chika.
“Makanya kalau lagi makan jangan banyak omong. Kebiasaan lo.” Kata Fiko menasehati.
“Makanya kalau lagi makan jangan banyak omong. Kebiasaan lo.” Kata Fiko menasehati.
Chika yang sedang minum langsung terhenti kaget mendengar ucapan Fiko. Apa maksud dengan kata kebiasaan ? Chika memang memiliki kebiasaan bicara saat makan, tetapi darimanakah Fiko bisa mengetahuinya ? Bukankah ia baru mengenalnya sebulan ini. Siapakah Fiko sebenarnya ? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul begitu saja di otak Chika.
“Kenapa lo bisa bilang ‘kebiasaan’ ? Lo tahu darimana gue punya kebiasaan itu ?” Tanya Chika dengan tatapan yang sangat tajam kepada Fiko.
Fiko kaget mendengar pertanyaan Chika tersebut. Fiko hanya bisa memandang wajah Chika yang sedang menatapnya tajam. Dia memutar otaknya untuk memberikan alasan yang tepat tanpa harus membuat Chika mengetahui tentang dirinya.
“Maksud gue, gue tahu banyak banget orang yang punya kebiasaan bicara saat makan dan gue yakin lo salah satunya, buktinya tadi kan ?.” Jawab Fiko tenang.
Chika masih menatap Fiko dengan tajam tetapi beberapa saat kemudian ia tersenyum.
“Oh gitu. Gue pikir lo udah kenal gue.” Ucap Chika.
Fiko tersenyum mendengar ucapan Chika. Di lubuk hatinya yang terdalam ia sungguh sangat lega mendengar ucapan Chika. Tetapi itulah Fiko, dia paling bisa menyembunyikan apa yang ada dihatinya bahkan mimik wajah dan matanya pun tak menunjukkan hal yang patut dicurigai sama sekali.
Di depan rumah Chika
“Fiko makasih ya udah nganterin pulang plus traktir gue makan.” Ucap Chika.
“Oke sama-sama.” Jawab Fiko singkat masih dengan gayanya yang cool.
“Ya udah gue masuk dulu ya.” Kata Chika berpamitan.
“Oke sama-sama.” Jawab Fiko singkat masih dengan gayanya yang cool.
“Ya udah gue masuk dulu ya.” Kata Chika berpamitan.
Saat Chika hendak menuju pintu rumahnya,
“Chika.” panggil Fiko sembari meraih tangan Chika.
Chika pun kaget dan tertegun lalu melihat tangannya yang digenggam oleh Fiko dan kemudian menatap mata Fiko yang sedang melihatnya penuh arti. Tetapi suasana itu pun tak berlangsung lama, mereka langsung tersadar dan membuat Chika tersipu.
“Sori.” kata Fiko melepaskan genggaman tangannya.
“Kenapa Ko ?” Tanya Chika mencoba sesantai mungkin untuk menutupi kegugupan yang dia rasakan sekarang.
“Itu helm gue belum lo balikin.” Jawab Fiko.
“Kenapa Ko ?” Tanya Chika mencoba sesantai mungkin untuk menutupi kegugupan yang dia rasakan sekarang.
“Itu helm gue belum lo balikin.” Jawab Fiko.
Ternyata Chika belum mengembalikan helm Fiko yang dipinjamkannya kepada Chika dan berada tepat di kepala Chika. Rasanya ini membuatnya lebih malu dibandingkan saat Fiko menggenggam tangannya untuk beberapa saat.
“Oh iya sori Ko.” Ucap Chika sambil melepaskan helm dari kepalanya kemudian berlalu dan menghilang di balik pintu.
Chika terlihat sangat malu dan menjadi salah tingkah tetapi Fiko hanya tersenyum geli melihat kejadian itu entah mengapa ia begitu senang melihat gadis itu menjadi salah tingkah.
******
Angin berdesir membelai lembut di pipi, udara sejuk menghampiri masuk dan mengisi kejernihan hati. Suara ramai kendaraan dan klakson menggema menghiasi sorak sorai kegaduhan yang memecah sepi. Musim sepertinya telah berganti, entah bersahabat atau tidak dengan kota padat ini yang pasti suasana Jakarta seperti inilah yang selalu ditunggu-tunggu oleh Chika. Gadis cantik itu sedang termenung menatap langit yang gelap bercahayakan lampu gedung-gedung yang tinggi menjadikan langit seolah sangat sempit, dia ditemani dengan boneka piglet yang super big, boneka pemberian seseorang yang pernah ia cintai dengan sangat. Boneka itu adalah sebagian dari sisa puing-puing kenangan yang masih ia simpan meski sang pelaku cinta telah pergi untuk waktu yang tak ia ketahui dan cinta sepertinya telah lambat laun sirna ditelan api perubahan.
Sudah beberapa malam ini, Chika tak pernah absent berada di teras atas rumahnya. Apa yang dipikirkan oleh gadis itu ?
“Pigy, aku masih nggak percaya sama makhluk yang namanya cowok. Pokoknya gak ada yang boleh nyakitin perasaan aku lagi termasuk si monster Fiko.” Curhat Chika pada bonekanya itu.
“Lho, kok jadi nyambung ke Fiko lagi sih ? Nggak, Gue gak boleh mikirin dia, gue gak suka dia dan gak akan suka sama dia.” Tegas Chika ke dirinya sendiri.
******
Disisi kehidupan yang lainnya.
Tok Tok Tok
Terdengar suara ketukan pintu di salah satu kamar kosan khusus laki-laki yang cukup luas dengan halaman yang tepat berada di depan kamar tersebut.
“Siapa ya ?” Tanya sang penghuni kosan, Fiko.
Tak ada jawaban apapun dibalik pintu, tetapi suara ketukan tetap terdengar misterius. Akhirnya Fiko pun beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu dan mengetahui siapa gerangan yang telah mengganggu pagi harinya.
“Hai Sel.” Sapa sang pria tampan berkacamata dengan senyum di wajahnya.
Fiko kaget melihat sosok lelaki tampan yang berada dihadapannya sekarang, ia pun tak dapat mengontrol suasana apa yang harus terlihat di wajahnya akan kedatangan sang pria. Ia hanya bisa berkata pelan, “Riza.”
******
Di Lorong Kampus
Chika, Rere dan Vino menelusuri lorong kampus. Bahagia sekali rasanya bisa melihat mereka kumpul bertiga dan bercanda ria. Terlihat tawa mereka yang sangat merekah.
“Lo lihat kan muka lucunya Chika waktu nemenin Fiko nyanyi.” Ledek Rere.
“Tuh kan lo mah gue lagi yang jadi bahan ledekannya.” Teriak Chika yang tak terima dijadikan bahan ledekan.
“Kan dua hari lalu ada yang dianterin pulang gitu sama Fiko.” Sindir Vino.
“Oh gara-gara insiden sepeda ya ?” Kata Rere menambahi. Vino tertawa melirik Chika.
“Pipiiiiiiiinn gak usah nyindir deh.” Jawab Chika sebal
“Tuh kan lo mah gue lagi yang jadi bahan ledekannya.” Teriak Chika yang tak terima dijadikan bahan ledekan.
“Kan dua hari lalu ada yang dianterin pulang gitu sama Fiko.” Sindir Vino.
“Oh gara-gara insiden sepeda ya ?” Kata Rere menambahi. Vino tertawa melirik Chika.
“Pipiiiiiiiinn gak usah nyindir deh.” Jawab Chika sebal
HAHAHAHAHAHAAHAHA
Akhirnya mereka bertiga tertawa bersama-sama. Kedekatan mereka sungguh hangat dan mereka bisa saling mengerti suasana hati masing-masing.
“Tapi lo jujur deh Chik. Lo beneran udah mulai sayang ya sama dia.” Tanya Rere mulai serius menyelidiki.
Chika hanya diam dan menatap kedua sahabatnya yang sedang menunggu jawabannya. Gadis itu tak tahu apa yang harus ia jawab. Ia bingung apa yang sebenarnya ia rasakan sekarang.
“Gue gak akan ngebiarin lagi seorang cowok manapun nyakitin gue, Re.” Lirih Chika.
“Lo bisa megang prinsip, tapi lo harus inget kalo cinta gak bisa kompromi dengan prinsip atau apapun itu.” Ucap Rere bijak.
“Lo bisa megang prinsip, tapi lo harus inget kalo cinta gak bisa kompromi dengan prinsip atau apapun itu.” Ucap Rere bijak.
Chika hanya bisa diam dan terenyuh mendengar perkataan Rere. Hatinya membenarkan itu tapi dia tidak mau lemah dengan hatinya.
“Gue duluan ya.” Ucap Chika. Rasanya ia ingin menyendiri.
Rere dan Vino hanya mengangguk pelan.
“Lo bisa lihat Pin ?” Tanya Rere penuh arti.
“Iya gue lihat di matanya.” Jawab Vino mantap.
“Gue harap dia bisa berfikir dengan jernih dan mendapatkan kebahagiaan lain karena dia gak bisa menyalahkan semua cowok hanya karena kesalahan satu cowok aja.” Ucap Rere.
“Gue juga harap dia balik lagi kayak Chika yang dulu. Kangen gue.” Kata Vino menambahi.
“Iya gue lihat di matanya.” Jawab Vino mantap.
“Gue harap dia bisa berfikir dengan jernih dan mendapatkan kebahagiaan lain karena dia gak bisa menyalahkan semua cowok hanya karena kesalahan satu cowok aja.” Ucap Rere.
“Gue juga harap dia balik lagi kayak Chika yang dulu. Kangen gue.” Kata Vino menambahi.
Mereka berdua tersenyum melihat Chika yang sedang berjalan dan kemudian menghilang terhalang pepohonan.
******
Chika duduk di taman sendiri karena jam masuk kuliah masih setengah jam lagi maka ia punya waktu untuk sendiri. Tetapi niatnya untuk sendiri digagalkan oleh kehadiran seseorang yang menghampirinya.
“Hai Chik.” Sapa Fiko mengelus kepala Chika.
Chika kaget dan tertegun melihat kehadiran Fiko. Bukan karena melihat wajahnya tapi kehadirannya dengan sikap dan hal-hal yang Chika sukai. Fiko mengelus kepalanya, Itu salah satu hal yang dia sukai. Hal ini makin membuat Chika heran dan tak mengerti.
“Lo ngapain ke sini ?” Tanya Chika jutek.
“Tuh kan jutek lagi, lagian kan ini tempat umum Chik.” Jawab Fiko seadanya.
“Biasanya juga kan lo yang jutek ke gue.” Jawab Chika cemberut.
“Oh jadi ceritanya balas dendam nih.” Lirik Fiko tersenyum kepadanya.
“Nggak gitu. Nanti ada yang marah lo berdua sama gue.” Kata Chika mengingat kejadian dengan Sheila tempo hari.
“Emang siapa ?” Tanya Fiko heran.
“Ada deh pokoknya.” Jawab Chika tak memberi tahu Fiko.
“Jadi lo cemburu ?” Tanya Fiko memancing.
“Nggak, siapa yang cemburu. Jangan geer lo.” Elak Chika.
“Chika. . . Chika” Ucap Fiko tertawa sambil menggelengkan kepalanya dan melihat lurus ke depan.
“Tuh kan jutek lagi, lagian kan ini tempat umum Chik.” Jawab Fiko seadanya.
“Biasanya juga kan lo yang jutek ke gue.” Jawab Chika cemberut.
“Oh jadi ceritanya balas dendam nih.” Lirik Fiko tersenyum kepadanya.
“Nggak gitu. Nanti ada yang marah lo berdua sama gue.” Kata Chika mengingat kejadian dengan Sheila tempo hari.
“Emang siapa ?” Tanya Fiko heran.
“Ada deh pokoknya.” Jawab Chika tak memberi tahu Fiko.
“Jadi lo cemburu ?” Tanya Fiko memancing.
“Nggak, siapa yang cemburu. Jangan geer lo.” Elak Chika.
“Chika. . . Chika” Ucap Fiko tertawa sambil menggelengkan kepalanya dan melihat lurus ke depan.
Chika memandang wajah Fiko yang lembut, Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ingat terakhir kali jantungnya berdetak lebih cepat saat berbicara dengan seseorang adalah setahun yang lalu. Apakah ini pertanda bahwa dia telah merasakan perasaan itu kembali ?
“Gak mungkin.” Lirih Chika pelan.
Fiko yang tak jelas mendengar kata-kata yang Chika ucapkan reflek menatap ke arah Chika dan berkata, “Kenapa ?”
“Nggak apa-apa kok.” Jawab Chika sekenanya.
“Oh ya, Gue mau kasih ini sama lo.” Kata Fiko sambil mengeluarkan gantungan kunci piglet dari tasnya.
“Piglet.” Teriak Chika gembira saat melihat pemberian Fiko.
“Kok lo tau sih gue suka banget sama piglet ?” Tanya Chika heran.
Fiko yang tak jelas mendengar kata-kata yang Chika ucapkan reflek menatap ke arah Chika dan berkata, “Kenapa ?”
“Nggak apa-apa kok.” Jawab Chika sekenanya.
“Oh ya, Gue mau kasih ini sama lo.” Kata Fiko sambil mengeluarkan gantungan kunci piglet dari tasnya.
“Piglet.” Teriak Chika gembira saat melihat pemberian Fiko.
“Kok lo tau sih gue suka banget sama piglet ?” Tanya Chika heran.
Fiko hanya tersenyum dalam diamnya. Belum juga Fiko menjawab pertanyaan Chika. Chika malah membuat pertanyaan baru.
“Lo Fiko beneran ?” Tanya Chika masih tak percaya.
“Ya iyalah ini gue.” Jawab Fiko bingung menatap Chika.
“Gue gak mimpi kan ?” Tanya Chika.
“Ya iyalah ini gue.” Jawab Fiko bingung menatap Chika.
“Gue gak mimpi kan ?” Tanya Chika.
Fiko pun mencubit pipi Chika.
“Aw, sakit Ko.” Teriak Chika kesakitan.
“Berarti lo gak mimpi.” Ucap Fiko sambil tertawa.
“Aaaaaaaaaa, Fiko. tapi gak usah cubit pipi gue juga kali. Kan sakit.” Ucap Chika.
“Berarti lo gak mimpi.” Ucap Fiko sambil tertawa.
“Aaaaaaaaaa, Fiko. tapi gak usah cubit pipi gue juga kali. Kan sakit.” Ucap Chika.
Fiko yang merasa lucu dengan tingkah laku Chika, lalu ia menggenggam tangan Chika dan menatap matanya. Chika pun tak dapat mengelak tatapan mempesona dari seorang Fiko Marcelino. Entah sekarang strategi apa yang dilakukan Fiko untuk membuat gadis itu mencintainya. Yang Jelas chika pasti semakin bingung dengan perubahan sikap Fiko kepadanya.
“Kalau lo bingung kenapa gue kayak gini. Lo tanya sama hati lo, pasti lo temuin jawabannya.” Kata Fiko lembut.
Chika masih terdiam, dia benar-benar bingung kata-kata apa yang harus keluar dari mulutnya. Seseorang yang berada dihadapannya sekarang telah memberikan banyak kejutan yang mengoyak pertahanannya.
“Daripada lo bingung dan makin terpesona lihat muka gue mending kita ke ruangan aja yuk.” Ajak Fiko geer memecah keheningan antara mereka.
Chika yang mendengar perkataan Fiko tersebut sangat geli dan kemudian tertawa.
“Ayo, tapi makasih ya buat pigletnya.” Ucap Chika berterima kasih.
“Sip.” Jawab Fiko mengakhiri dengan senyumannya yang menawan.
******
“Gue bilang lo jangan deketin Fiko lagi kenapa lo masih deketin dia hah ?” Teriak Sheila sambil mendorong Chika ke tembok. Dia bersama genknya memaksa Chika untuk ke halaman belakang kampus.
Chika merasakan sakit di punggung dan bahunya akibat dorongan Sheila kemudian Sheila melihat gantungan piglet yang baru saja diberikan Fiko kepadanya.
“Ini apa hah ? Dari Fiko ? Ini punya gue, seharusnya Fiko ngasih ini ke gue.” Kata Sheila masih dengan nada tingginya sambil memegang gantungan piglet tersebut.
Chika tak bicara satu patah kata pun, bukan karena ia takut dengan Sheila tetapi Chika malas meladeni seseorang yang sedang dibutakan oleh sesuatu yang ia anggap cinta.
“Kenapa lo diam ?” Teriak Sheila lantang.
“Gue kan udah bilang. Gue malas meladeni orang kayak lo.” Jawab Chika meringis menahan rasa sakitnya.
“Gue kan udah bilang. Gue malas meladeni orang kayak lo.” Jawab Chika meringis menahan rasa sakitnya.
Sheila makin naik darah mendengar perkataan yang diucapkan Chika, untuk kedua kalinya ia melayangkan telapak tangannya ke pipi Chika. Jelas Chika tidak bisa menahan tangannya Sheila, ia sendiri sedang menahan sakit di punggungnya. Tetapi lagi-lagi dengan tangan seseorang tamparan itu tak menyentuh pipi Chika sedikit pun.
“Fiko.” Kata Sheila kaget.
Fiko terlihat kesal dengan tatapannya yang sangat tajam menahan tangan Sheila.
“Jadi elo ? balikin pigletnya.” Kata Fiko mengambil paksa gantungan itu.
“Kenapa lo nglakuin ini ke Chika ?” Tambah Fiko dengan nada tinggi.
“Gue sayang sama lo Ko. Lo milik gue, gak ada satu pun cewek yang boleh deket sama lo.” Lirih Sheila emosi.
“Tapi gak usah ya lo nyakitin Chika. Gue kan udah jawab pernyataan cinta lo. Apa kurang jelas ?” Kata Fiko emosi.
“Kenapa sih lo belain Chika terus hah ?” Tanya Sheila emosi.
“Kenapa lo nglakuin ini ke Chika ?” Tambah Fiko dengan nada tinggi.
“Gue sayang sama lo Ko. Lo milik gue, gak ada satu pun cewek yang boleh deket sama lo.” Lirih Sheila emosi.
“Tapi gak usah ya lo nyakitin Chika. Gue kan udah jawab pernyataan cinta lo. Apa kurang jelas ?” Kata Fiko emosi.
“Kenapa sih lo belain Chika terus hah ?” Tanya Sheila emosi.
Fiko berdiam sejenak dan kemusian menarik nafas panjang.
“Karena gue merasa sakit dengan sebab hal yang menyakiti dia. Gue merasa terganggu dengan sebab hal yang mengganggu dia. Kalau lo berani nyakitin dia lagi, lo harus nyakitin gue dulu. Sekarang lo ngerti kan kenapa gue belain dia.” Tegas Fiko.
Semua orang yang ada di sana termasuk Chika merasa kaget dan tak menyangka seorang Fiko yang angkuh bisa mengatakan hal seindah itu. Ya, indah untuk Chika tapi tak indah untuk Sheila dan teman-temannya. Kemudian Fiko membawa Chika pergi dari kerumunan Sheila dan teman-temannya yang hanya tertunduk diam. Fiko mengerti bahwa yang dibutuhkan Chika sekarang adalah istirahat maka ia mengantarkan Chika pulang ke rumahnya. Tak ada satu pun kata yang Fiko ucapkan selama di perjalanan pulang begitu pun dengan Chika, ia masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja ia alami.
******
Langit malam telah berlalu, mentari pagi menyapa dengan sinarnya yang hangat. Pagi ini tercium wangi harum masakan yang menggoda dari dapur rumah Chika. Ya, gadis manis itu sedang membuat kue yang sangat lezat.
“Wah anak mama rajin ya, pagi-pagi udah bikin kue.” Sapa sang mama yang mengagetkan kesibukan Chika di dapur.
“Eh mama.” Kata Chika malu-malu.
“Kok bikin kuenya dua. Buat siapa aja sayang ?” Tanya mama penasaran.
“Yang satu buat kita, yang satunya lagi buat Fiko ma.” Jawab Chika malu-malu.
“Oh Fiko yang kemarin nganterin kamu pulang ya ?” Tanya mama lagi.
“Iya ma.” Jawab Chika singkat sambil menghias kue yang ia buat untuk Fiko.
“Memangnya dia ulang tahun ?” Tanya mama menyelidiki.
“Nggak ma, ini sebagai tanda ucapan terima kasih Chika karena kemarin Fiko udah belain Chika.” Jawab Chika menjelaskan.
“Oh begitu. Akhirnya anak mama udah semangat lagi buat kuenya.” Kata mama bahagia, pasalnya terakhir kali Chika bersemangat membuat kue adalah setahun yang lalu sebelum kejadian menyakitkan itu terjadi dan semenjak itu ia tak pernah mau membuat kue karena akan mengingatkannya dengan sosok seseorang.
“Eh mama.” Kata Chika malu-malu.
“Kok bikin kuenya dua. Buat siapa aja sayang ?” Tanya mama penasaran.
“Yang satu buat kita, yang satunya lagi buat Fiko ma.” Jawab Chika malu-malu.
“Oh Fiko yang kemarin nganterin kamu pulang ya ?” Tanya mama lagi.
“Iya ma.” Jawab Chika singkat sambil menghias kue yang ia buat untuk Fiko.
“Memangnya dia ulang tahun ?” Tanya mama menyelidiki.
“Nggak ma, ini sebagai tanda ucapan terima kasih Chika karena kemarin Fiko udah belain Chika.” Jawab Chika menjelaskan.
“Oh begitu. Akhirnya anak mama udah semangat lagi buat kuenya.” Kata mama bahagia, pasalnya terakhir kali Chika bersemangat membuat kue adalah setahun yang lalu sebelum kejadian menyakitkan itu terjadi dan semenjak itu ia tak pernah mau membuat kue karena akan mengingatkannya dengan sosok seseorang.
Kue yang dibuat Chika telah selesai. Chika langsung menghubungi Vino.
Pin lg sibuk g ? anterin gue ke kosannya Fiko y skrg.
Emang mau ngpain ? tp jngn mcem2 lo y.
Nggak kok pin, cm mau ngnterin kue
Lo bkin kue ? mau dong.
Iya, yaudah k rmh aja abis itu anterin y ?
Iya oke sip. :)
Emang mau ngpain ? tp jngn mcem2 lo y.
Nggak kok pin, cm mau ngnterin kue
Lo bkin kue ? mau dong.
Iya, yaudah k rmh aja abis itu anterin y ?
Iya oke sip. :)
******
Pagi hari di kosan Fiko
“Jadi lo ke Jakarta untuk nyari Chika.” Tanya Fiko memulai pembicaraan.
“Iya, gue mau memperbaiki semuanya. Gue rasa cukup serius belajarnya, ternyata gue butuh dia banget.” Sesal Riza.
“Serius belajar ? Maksudnya ? Gue gak ngerti.” Tanya Fiko kebingungan.
“Iya, gue mau memperbaiki semuanya. Gue rasa cukup serius belajarnya, ternyata gue butuh dia banget.” Sesal Riza.
“Serius belajar ? Maksudnya ? Gue gak ngerti.” Tanya Fiko kebingungan.
“Gue bohong sama lo, sama Chika terutama. Gue gak bosen sama dia, dia gak manja. Semua alasan yang gue bilang ke dia waktu putus itu semua akal-akalan gue aja supaya dia benci sama gue dan bisa ngerelain gue pergi. Lo inget waktu kita dapat beasiswa ke Ausi ? Gue rasa hidup gue harus maju, bukan dengan harta orang tua gue dan gue mutusin untuk serius belajar. Makanya gue ngelepas Chika, gue gak mau buat dia nunggu terlalu lama. Tapi ternyata semakin gue bohong dan jauh dari dia dalam kebenciannya ke gue, Itu buat gue sakit dan sadar kalau gue butuh dia. Gue gak lengkap tanpa dia, Cel. Selama setahun ini gue masih sangat mencintai dia, Cel.” Kata Riza menjelaskan semuanya.
Semua penjelasan Riza seolah membuatnya semakin terpojok. Dia merasa bersalah akan cintanya. Kenyataan yang selama ini ia lihat ternyata sebuah kebohongan yang justru memberanikannya melangkah. Kini seolah tebing yang menjaga disekelilingnya selama ini berbalik arah dan memusuhinya. Riza yang telah membuatnya mengubah persepsinya terhadap wanita. Riza yang memperkenalkan ia tentang cinta. Riza pula yang membuat ia merasakan jatuh cinta dan karena Riza jugalah, ia berani melangkahkan kakinya untuk seseorang yang ia cintai. Sekarang, apa karena dia juga, Fiko harus merelakan cintanya pergi dan melupakan semua perjuangan cintanya selama ini ? Fiko sungguh seperti berada di banyaknya jalan pintu langit tetapi tak satu pun pintu terbuka untuknya, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali bergerak mundur dan berdiam dalam sepi berharap akan ada pintu terbaik yang terbuka untuknya.
“Oh ya Cel, mulai besok gue kuliah di kampus lo.” Tambah Riza memotong lamunan Fiko. Fiko hanya tersenyum tipis, dia sadar mulai besok pasti banyak perubahan yang akan terjadi.
TOK TOK TOK
Suara ketukan pintu memecah keheningan antara mereka berdua. Kemudian Riza dengan rela membukakan pintunya.
“Biar gue aja Cel yang buka.” Kata Riza.
Riza melangkahkan kakinya mendekati pintu tersebut. Setelah pintu terbuka semua orang yang berhadap-hadapan di depan pintu tersebut tercengang (Riza, Chika dan Vino). Chika kaget dan refleks menjatuhkan kue yang telah ia buat dengan tangannya sendiri. Ia tak menyangka seseorang yang telah menorehkan luka yang sangat dalam kepadanya, yang membuatnya tak lagi mempercayai cinta dan kebahagian, sekarang ia telah berdiri dihadapanya. Entah perasaan apa yang ada dalam hatinya sekarang, ia kesal, kecewa, sedih semuanya terasa dalam hatinya. Tiba-tiba hatinya pun menjadi sesak dan sakit menjadikan ia sulit bernapas. Sementara Riza, dia merasa senang melihat seseorang yang masih ia cintai, seseorang yang memang niat dicarinya dan sekarang dia tak perlu susah-susah mencarinya karena sang cinta telah berada dihadapannya.
“Kok lo ada disini, Za.” Kata Vino kaget.
Fiko beranjak dari duduknya sepertinya ia mendengar sesuatu yang tak beres di depan pintu kosannya.
“Siapa yang datang, Za ?” Tanya Fiko yang kemudian kaget melihat sosok gadis yang sama-sama dicintai olehnya dan Riza. Gadis itu menatapnya sedih dan tajam.
“Chika.” Kata Fiko pelan.
“Pembohong.” Lirih Chika kepada Fiko yang kemudian berlari ke luar kosan. Vino pun mengejar Chika, ia takut kalau nanti Chika pulang sendirian padahal hatinya sungguh sedang runyam. Riza yang hanya mengetahui bahwa Chika sedih karenanya maka ia pun turut mengejar Chika hendak menjelaskan yang sebenarnya.
Vino cepat-cepat mengambil motornya yang sedang di parkir sementara Chika menunggu Vino dengan gelisah. Riza kemudian meraih tangan Chika.
“Maafin kakak, De.” Lirih Riza kepada Chika.
“Lepasin kak.” Ucap Chika memaksa Riza melepaskan tangannya, ia tak sadar bahwa air matanya telah keluar.
“Lepasin kak.” Ucap Chika memaksa Riza melepaskan tangannya, ia tak sadar bahwa air matanya telah keluar.
Sebagai sahabat Chika, Vino pun tak ingin melihat Chika semakin terluka berdekatan dengan Riza. Ia tahu bahwa semua ini tak mudah bagi Chika. Chika masih tak percaya Riza akan kembali dengan cara seperti ini. Maka itu, Vino turun dari motornya dan kemudian menghalangi Riza untuk berbicara dengan Chika.
“Sori Za. Jangan lo ganggu dia dulu.” Ucap Vino yang kemudian membawa Chika pulang.
Disisi lain
Fiko tidak mengejar Chika, ia tahu bahwa gadis itu butuh waktu untuk berfikir jernih. Ia melihat kardus yang berisi kue yang sengaja dibuat Chika untuknya, kue itu sudah berantakan tetapi tulisan diatas kue masih bisa terbaca “Thanks ya Fiko udah belain aku ^_*”. Sesak rasanya dada Fiko melihat tulisan itu, sepertinya ia telah berhasil membuat gadis itu menjadi dirinya seperti dulu. Tetapi Fiko telah menghancurkan semuanya.
* Maafin aku, kamu harus kembali ke seseorang yang tepat Chik. (Lirih Fiko dalam hati.)
“Lo belain dia karena apa ?” Tanya Riza menyelidiki karena melihat tulisan di atas kue.
“Ada cewek yang suka sama gue, dan dia nyakitin Chika karena Chika dilihat sama dia deket sama gue.” Jawab Fiko sekenanya berharap Riza gak akan curiga.
“Jadi lo udah kenal sama dia ? Kenapa gak bilang sama gue ?” Tanya Riza lagi.
“Dia sejurusan sama gue, sekelas pula. Gue pikir itu bukan Chika lo.” Jawab Fiko seadanya.
“Ada cewek yang suka sama gue, dan dia nyakitin Chika karena Chika dilihat sama dia deket sama gue.” Jawab Fiko sekenanya berharap Riza gak akan curiga.
“Jadi lo udah kenal sama dia ? Kenapa gak bilang sama gue ?” Tanya Riza lagi.
“Dia sejurusan sama gue, sekelas pula. Gue pikir itu bukan Chika lo.” Jawab Fiko seadanya.
******
Di rumah Chika
“Chikanya ada tante ?” Tanya Rere.
“Ada di kamarnya Re, dari tadi gak mau makan.” Lirih sang Mama
“Ya udah makanannya biar Rere dan Vino yang anter ke Chika ya tante.” Usul Rere.
“Ada di kamarnya Re, dari tadi gak mau makan.” Lirih sang Mama
“Ya udah makanannya biar Rere dan Vino yang anter ke Chika ya tante.” Usul Rere.
Mama Chika mengangguk pelan menyetujui usulan Rere.
Seperti biasa teras lantai dua rumahnya menjadi tempat yang tenang untuknya menyendiri. Mata Chika terlihat sembab, entah alasan apa yang membuatnya menangis. Chika sedang mengingat-ingat sesuatu.
“De, kamu harus ketemu deh sama sahabat Kakak namanya Marcel. Dia ganteng lho. Kakak suka cerita tentang kamu ke dia.” Ucap Riza.
“Emangnya ganteng banget kak ? Boleh deh.” Jawab Chika tertawa.
“Hem, jangan macem-macem ya.” Kata Riza cemburu.
“Lagian kakak pake mancing-mancing aku segala. Huuu gak mempan weee” Kata Chika meledek Riza.
“Emangnya ganteng banget kak ? Boleh deh.” Jawab Chika tertawa.
“Hem, jangan macem-macem ya.” Kata Riza cemburu.
“Lagian kakak pake mancing-mancing aku segala. Huuu gak mempan weee” Kata Chika meledek Riza.
* Marcel. Fiko Marcelino. Apa jangan-jangan dia ? (Ucap Chika dalam hati.)
Kemudian Chika mengingat-ingat kembali hal-hal yang dia lewatkan bersama Fiko. Fiko yang mengajaknya ke danau, Fiko yang menyanyikan lagu kesukaannya, Fiko yang mengajaknya duduk di meja no.9 dan memesan makanan kesukaannya tanpa harus menanyakan kepadanya, Fiko tahu tentang kebisaan buruknya waktu makan, dan Fiko juga memberikan benda yang ia sukai. Semua hal yang Fiko lakukan adalah hal yang Chika sukai.
“Apa dia tahu semua itu dari kakak ?” Kata Chika pelan.
Tok Tok Tok
“Chika, ini Rere. Buka pintunya ya.” Kata Rere di balik pintu.
Chika kemudian membukakan pintu kamarnya untuk Rere dan Vino, sahabat kecilnya yang hangat.
“Ya ampun Chika, pasti abis nangis.” Tanya Rere melihat mata Chika yang sembab.
“Nggak kok.” Jawab Chika berbohong.
“Masih bisa bohong lagi lo, jelas-jelas mata lo sembab.” Kata Vino.
“Gue udah denger semuanya dari si Pipin.” Tegas Rere.
“Gue juga gak tahu kenapa bisa nangis kayak gini, Re.” Lirih Chika.
“Lo masih bingung ya ? Riza atau Fiko yang buat lo nangis.” Ucap Rere.
“Maksud lo ?” Kata Chika tak mengerti.
“Maksud gue, Karena kehadiran Riza yang tiba-tiba, seseorang yang pernah menorehkan luka yang sangat dalam di hati lo atau karena Fiko yang diam-diam dan tanpa sadar telah masuk ke dalam hati lo, seseorang yang ternyata dia adalah sahabat Riza ?” Tegas Rere menjelaskan.
“Nggak kok.” Jawab Chika berbohong.
“Masih bisa bohong lagi lo, jelas-jelas mata lo sembab.” Kata Vino.
“Gue udah denger semuanya dari si Pipin.” Tegas Rere.
“Gue juga gak tahu kenapa bisa nangis kayak gini, Re.” Lirih Chika.
“Lo masih bingung ya ? Riza atau Fiko yang buat lo nangis.” Ucap Rere.
“Maksud lo ?” Kata Chika tak mengerti.
“Maksud gue, Karena kehadiran Riza yang tiba-tiba, seseorang yang pernah menorehkan luka yang sangat dalam di hati lo atau karena Fiko yang diam-diam dan tanpa sadar telah masuk ke dalam hati lo, seseorang yang ternyata dia adalah sahabat Riza ?” Tegas Rere menjelaskan.
Ya, yang dikatakan Rere benar. Chika masih tak mengerti apa yang sebenarnya membuat ia menangis. Sikap siapa yang sebenarnya benar-benar membuat ia terluka, masa lalu atau kenyataan yang ada dihadapannya sekarang. Siapa yang benar-benar dipikirkannya saat ini.
“Kalau lo masih gak bisa jawab pertanyaan gue. Gue cuma pengen lo inget satu hal, apapun yang terjadi lo harus ikutin kata hati lo, karena itulah jawaban yang paling jujur.” Kata Rere bijak.
******
Di kampus
Fiko yang biasa duduk di sebelah Chika, mulai hari ini ia memutuskan untuk pindah ke belakang menjauh dari Chika. Chika hanya terdiam menatap Fiko yang menuju ke arah belakang.
Seperti biasanya hari ini Pak Hartono yang akan mengajar.
“Pagi semua.” Sapa Pak Hartono.
“Pag pak.” Jawab mahasiswa serentak.
“Hari ini lagi-lagi kampus kita kedatangan mahasiswa pindahan dari Ausi. Silahkan masuk.” Kata Pak Hartono mempersilakan.
“Pag pak.” Jawab mahasiswa serentak.
“Hari ini lagi-lagi kampus kita kedatangan mahasiswa pindahan dari Ausi. Silahkan masuk.” Kata Pak Hartono mempersilakan.
Lagi-lagi mata para hawa yang berada di ruangan itu tertegun melihat kedatangan seseorang, kecuali Chika, Rere dan Vino yang kaget melihat sosok Riza memasuki ruangan. Riza memang dua tahun lebih tua dibandingkan mereka tetapi ia berada satu angkatan dengan mereka tetapi bukan karena ia tak naik kelas.
“Perkenalkan dirimu.” Kata Pak Hartono.
“Nama gue Riza Aprilio. Kalian bisa panggil gue Riza.” Kata Riza memperkenalkan dirinya.
“Baiklah sekarang kamu duduk di samping . . .” Kata Pak Hartono terbata sambil melihat kursi yang kosong.
“Chika.” Tambah Pak Hartono.
“Nama gue Riza Aprilio. Kalian bisa panggil gue Riza.” Kata Riza memperkenalkan dirinya.
“Baiklah sekarang kamu duduk di samping . . .” Kata Pak Hartono terbata sambil melihat kursi yang kosong.
“Chika.” Tambah Pak Hartono.
Belum sempat Riza duduk di sampingnya, Chika meminta Vino untuk tukeran tempat dengannya. Jadi, Riza duduk di samping Vino bukan Chika. Riza kecewa dengan sikap Chika tapi dia memahami semua itu karena kesalahan yang dia buat sendiri.
* Jadi karena dia, kamu ngejauh. (Kata Chika dalam hatinya.)
“Bapak mau mengumumkan sesuatu. Sabtu malam nanti kampus kita akan mengadakan malam ulang tahun kampus yang ke 50. Bapak harap kalian semua dapat berpartisipasi dalam acara tersebut.” Kata Pak Hartono.
“Baik, Pak.” Jawab mahasiswa serentak.
“Oh ya, Fiko ada pesan dari Ibu Ratna, selesai mata kuliah ini kamu disuruh menghadapnya.” Pesan Pak Hartono.
“Baik, Pak.” Jawab Fiko.
“Oh ya, Fiko ada pesan dari Ibu Ratna, selesai mata kuliah ini kamu disuruh menghadapnya.” Pesan Pak Hartono.
“Baik, Pak.” Jawab Fiko.
******
“Chika.” Teriak Riza meraih tangan Chika.
Chika hanya menatap Riza dengan tajam tak ada senyum sedikit pun diwajahnya. Dia hanya menunggu kalimat apa yang akan diucapkan oleh Riza.
“Maaf. Kakak bisa jelasin semua yang sebenarnya ke kamu. Tapi tolong maafin kakak.” Lirih Riza.
“Mau jelasin apa ?” Tanya Chika masih dengan tatapannya yang tajam menandakan begitu perihnya luka itu hingga tak tahu cara apalagi untuk menghadapinya.
“Sebenarnya, semua alasan yang kakak bilang ke kamu waktu dulu, itu kakak buat-buat sendiri. Semuanya bohong. Karena suatu hal kakak harus ninggalin kamu, tapi kamu harus tahu kalau sampai saat ini kakak masih sangat mencintai kamu.” Kata Riza menjelaskan.
“Alasan yang dibuat-buat ?” Mendengar perkataan Riza, Chika menggelengkan kepalanya, dia benar-benar kecewa.
“Dimana hati kakak waktu aku menangis, waktu aku mohon kakak untuk tetap tinggal. Dimana ? Aku benar-benar kecewa kak.” Kata Chika dengan nada agak tinggi. Ia tak dapat menahan perasaanya maka ia pun pergi meninggalkan Riza yang sedang menatapnya sedih.
“Mau jelasin apa ?” Tanya Chika masih dengan tatapannya yang tajam menandakan begitu perihnya luka itu hingga tak tahu cara apalagi untuk menghadapinya.
“Sebenarnya, semua alasan yang kakak bilang ke kamu waktu dulu, itu kakak buat-buat sendiri. Semuanya bohong. Karena suatu hal kakak harus ninggalin kamu, tapi kamu harus tahu kalau sampai saat ini kakak masih sangat mencintai kamu.” Kata Riza menjelaskan.
“Alasan yang dibuat-buat ?” Mendengar perkataan Riza, Chika menggelengkan kepalanya, dia benar-benar kecewa.
“Dimana hati kakak waktu aku menangis, waktu aku mohon kakak untuk tetap tinggal. Dimana ? Aku benar-benar kecewa kak.” Kata Chika dengan nada agak tinggi. Ia tak dapat menahan perasaanya maka ia pun pergi meninggalkan Riza yang sedang menatapnya sedih.
******
Di kantin
Riza duduk sendirian dengan ditemani segelas cappucino di meja kantin. Dia sedang bingung memikirkan cara bagaimana agar Chika dapat memaafkan kesalahannya.
“Woy, ngelamun aja.” Sapa Fiko mengagetkan Riza.
“Lo bikin kaget aja.” Ucap Riza.
“Lagi elo ngapain sendirian di kantin pake ngelamun pula.” Celetuk Fiko.
“Chika belum mau maafin gue, Cel.” Lirih Riza
“Lo bikin kaget aja.” Ucap Riza.
“Lagi elo ngapain sendirian di kantin pake ngelamun pula.” Celetuk Fiko.
“Chika belum mau maafin gue, Cel.” Lirih Riza
Bagi Fiko aneh rasanya mendengar nama itu dari mulut Riza padahal dulu ia sering mendengarnya dari Riza. Mood-nya langsung turun padahal ia yakin akan ada perubahan yang akan terjadi semenjak kedatangan Riza.
“Emangnya tadi lo bicara sama dia?” Tanya Fiko.
Riza kemudian menceritakan hal yang baru saja terjadi saat bersama dengan Chika. Tetapi kemudian Fiko hanyut sendiri dalam lamunannya.
“Mau berjanji satu hal sama ayah, Nak ?” Ucap sang ayah
“Apapun itu yah, Fiko mau berjanji.” Jawab Fiko yang masih remaja.
“Apapun itu yah, Fiko mau berjanji.” Jawab Fiko yang masih remaja.
“Apapun yang terjadi jangan pernah bertengkar dengan Den Riza, masalah apapun itu kamu harus mengalah termasuk soal perempuan. Kamu harus ingat Fiko, Ayah dari supir hingga bisa menjadi sukses seperti ini tak lain berkat dukungan dan bantuan Ayahnya Den Riza. ” Tegas sang ayah.
“Iya ayah, Fiko janji.” Kata Fiko mantap.
“Cel...cel...Marcel.” Teriak Riza menghentikan lamunan Fiko.
“Eh iya tadi apa ?” Jawab Fiko sekenanya.
“Apa...apa... lo gak dengerin gue ya ? Mikirin apa sih lo ?” Tanya Riza kesal.
“Sori, sori Za. Gue kepikiran tugas dari Bu Ratna.” Elak Fiko.
“Emang tugas apaan ?” Tanya Riza penasaran.
“Ada deh pokoknya, gue duluan ya buru-buru nih.” Kata Fiko tergesa-gesa.
“Eh iya tadi apa ?” Jawab Fiko sekenanya.
“Apa...apa... lo gak dengerin gue ya ? Mikirin apa sih lo ?” Tanya Riza kesal.
“Sori, sori Za. Gue kepikiran tugas dari Bu Ratna.” Elak Fiko.
“Emang tugas apaan ?” Tanya Riza penasaran.
“Ada deh pokoknya, gue duluan ya buru-buru nih.” Kata Fiko tergesa-gesa.
******
Hari ini jam mata kuliah sungguh tidak mengasyikkan bagi mahasiswa karena setelah selesai jam 10 akan dilanjutkan lagi jam 2. Jadi mau tak mau bagi mahasiswa yang malas pulang ke rumah mereka terpaksa menunggu di kampus berjam-jam dan Chika adalah salah satunya. Rasanya sekarang setiap sudut tempat di kampus terpasang ranjau yang setiap saat bisa meledak bagi Chika. Dia menjadi gelisah kalau-kalau bertemu lagi dengan makhluk itu, untunglah jadwal tidak mengasyikkan itu hanya terjadi satu kali dalam seminggu jadi dia tak perlu susah-susah untuk melarikan diri. Akhirnya Chika memutuskan untuk pergi ke ruang kesenian di kampusnya. Ruangan itu sangat luas meskipun banyak alat-alat musik namun masih telihat lega. Di ruang itu ternyata ada Yogi Putra Indrawan, kakak senior Chika yang pandai sekali bermain piano. Anak-anak seni pun selalu menyempatkan diri melihat ia bermain piano setiap sore.
“Hai kak.” Sapa Chika.
“Hai.” Jawab Yogi.
“Boleh aku masuk ke ruangan ini.” Tanya Chika
“Silahkan, gak ada yang larang kok.” Jawab Yogi seadanya.
“Hai.” Jawab Yogi.
“Boleh aku masuk ke ruangan ini.” Tanya Chika
“Silahkan, gak ada yang larang kok.” Jawab Yogi seadanya.
Setelah beberapa saat Chika duduk di ruang kesenian, Yogi mulai memainkan piano. Dentingan piano mengalun lembut memecah sepi dan menghibur hati yang sedih. Chika senang sekali bisa mendengar permainan piano Yogi. Tetapi bayangan itu muncul kembali, sosok Fiko merasuk ke pikirannya. Lagi-lagi dia, apa Chika benar-benar telah jatuh cinta ? Setelah cukup lama Chika memikirkannya sekarang sosok itu muncul dan telah berdiri dihadapannya, entah darimana datangnya ia Chika tak menyadari itu. Yang tersadar sekarang Yogi telah selesai memainkan pianonya dan menghilang yang ada hanya dirinya dan Fiko.
“Mau apa kamu ?” tanya Chika angkuh.
“Ada yang mau aku bicarakan.” Jawab Fiko seadanya.
“Yaudah ngomong aja.” Ucap Chika.
“Kamu boleh marah sama aku, tapi please maafin Riza.”
“Apa urusannya sama kamu ?” Tanya Chika angkuh.
“Ada yang mau aku bicarakan.” Jawab Fiko seadanya.
“Yaudah ngomong aja.” Ucap Chika.
“Kamu boleh marah sama aku, tapi please maafin Riza.”
“Apa urusannya sama kamu ?” Tanya Chika angkuh.
“Chik, Riza gak benar-benar berniat untuk nyakitin kamu. Dia milih beasiswa ke Ausi karena mau membuktikan kalau ia bisa sukses tanpa harta orang tuanya dan itu butuh waktu yang lama. Jadi dia memutuskan untuk melepas kamu padahal dia masih sangat mencintai kamu.” Kata Fiko berusaha meyakinkan Chika.
Sepertinya panggilan gue elo mereka telah berubah menjadi aku kamu. Mungkin itu lebih lembut terdengarnya atau mungkin ada sesuatu berbeda yang mereka rasakan hingga mendorong mereka mengucapkan panggilan itu. Kini seolah yang dijelaskan Fiko sekarang gak ada artinya lagi untuk Chika. Hatinya tak membutuhkan itu karena semuanya tak mengubah apapun yang telah terjadi.
“Terus apa penjelasan kamu akan mengubah semuanya ?” Ucap Chika
“Aku tahu semua ini gak akan mengubah apapun termasuk luka di hati kamu. Tapi gak ada manusia yang luput dari kesalahan. Satu yang aku yakin, kamu akan menjadi lebih tenang jika kamu mengikhlaskan semuanya.” Kata Fiko meyakinkan.
“Oke. Tapi aku ada satu pertanyaan.” Kata Chika
“Apa ?” Jawab Fiko singkat.
“Apa maksud kamu mendekati aku dengan semua hal yang aku sukai ?” Tanya Chika menyelidiki.
“Apa ?” Jawab Fiko singkat.
“Apa maksud kamu mendekati aku dengan semua hal yang aku sukai ?” Tanya Chika menyelidiki.
Fiko kaget mendengar pertanyaan Chika. Apa yang harus dia jawab, Chika tak akan mengerti.
“Aku hanya ingin mengingatkan kamu dengan Riza. Aku selalu dengar kalau Riza suka melakukan hal yang kamu sukai. Mungkin dengan cara itu kamu akan ingat tentang dia. Aku ingin lihat sahabat aku bahagia Chik. Dan aku berharap kalian bisa kayak dulu lagi.” Jawab Fiko.
Chika sedih, ini bukan jawaban yang ingin dia dengar. ‘Kenapa seolah-olah mereka berdua mempermainkan perasaanku’ (Ucap Chika dalam hati)
“Sesuatu hal telah terjadi Fiko dan kamu gak akan ngerti.” Lirih Chika yang kemudian pergi.
“Maafkan aku karena membuat sesuatu itu terjadi tapi aku gak punya kemampuan untuk meneruskannya Chika.” Sesal Fiko.
“Maafkan aku karena membuat sesuatu itu terjadi tapi aku gak punya kemampuan untuk meneruskannya Chika.” Sesal Fiko.
******
Beberapa hari kemudian
Suatu malam sebelum acara ulang tahun kampus berlangsung. Chika masih tetap berada di teras atas rumahnya menatap langit adalah kesukaanya. Tiba-tiba sebuah tangga bersandar di penyangga tepi lantai atas tersebut. Chika kaget, ia takut maling yang melakukan hal tersebut. Chika langsung melihat ke arah bawah tangga.
“Kakak.” Teriak Chika.
“Hai Jelek.” Sapa Riza yang telah sampai di teras rumah Chika.
“Kok kayak maling sih Kak. Bikin takut aja, kalau ketahuan tetangga gimana ? bisa diteriakin tau.” Kata Chika panik.
“Kenyataannya nggak kan.” Ucap Riza sambil tertawa.
“Huh. Udah izin sama mama belum ?” Tanya Chika.
“Udah kok. Tahun lalu tapi.” Ledek Riza.
“Tuh kan.” Kata Chika kesal.
“Tenang aja Chika.” Kata Riza menenangkannya.
“Kirain.”
“De.” Panggil Riza.
“Iya.” Jawab Chika.
“Terima kasih banyak ya udah mau maafin Kakak.”
“Hai Jelek.” Sapa Riza yang telah sampai di teras rumah Chika.
“Kok kayak maling sih Kak. Bikin takut aja, kalau ketahuan tetangga gimana ? bisa diteriakin tau.” Kata Chika panik.
“Kenyataannya nggak kan.” Ucap Riza sambil tertawa.
“Huh. Udah izin sama mama belum ?” Tanya Chika.
“Udah kok. Tahun lalu tapi.” Ledek Riza.
“Tuh kan.” Kata Chika kesal.
“Tenang aja Chika.” Kata Riza menenangkannya.
“Kirain.”
“De.” Panggil Riza.
“Iya.” Jawab Chika.
“Terima kasih banyak ya udah mau maafin Kakak.”
“Sebenarnya aku udah lama maafin Kakak, tapi masih belum terima aja diperlakukan seperti ini. Terus aku ingat kata seseorang kalau aku bisa mengikhlaskan semuanya aku pasti bisa lebih tenang, dan itu benar-benar terjadi.”
Riza tersenyum mendengar perkataan Chika. Tak ada yang tahu arti dibalik senyumannya itu.
“Kamu masih suka lihat bintang ?” Tanya Riza.
“Masih Kak. Ya walaupun jarang banget bintangnya muncul. Kakak ? Di Australia ada bintang gak ?”Tanya Chika asal.
“Masih aja anehnya gak ilang. Ya pasti ada lah Chika.” Jawab Riza.
“Hehehe” Tawa Chika dengan wajah lugunya.
“Kakak masih suka melihat bintang. Terkadang kalau lihat bintang kakak suka ingat sama kamu.” Kata Riza lembut.
“Masih Kak. Ya walaupun jarang banget bintangnya muncul. Kakak ? Di Australia ada bintang gak ?”Tanya Chika asal.
“Masih aja anehnya gak ilang. Ya pasti ada lah Chika.” Jawab Riza.
“Hehehe” Tawa Chika dengan wajah lugunya.
“Kakak masih suka melihat bintang. Terkadang kalau lihat bintang kakak suka ingat sama kamu.” Kata Riza lembut.
Chika hanya tersenyum mendengar perkataan Riza. Seseorang yang di sampingnya sekarang hanya ia anggap sebagai kakaknya, tidak lebih dari itu.
“Entah kenapa selama dua minggu sebelum kepulangan kakak ke Indonesia. Bintang-bintang di langit tempat tinggal kakak berhenti berkelip, dan ternyata kakak tahu jawabannya setelah di sini.” Kata Riza bercerita.
“Kenapa, Kak ?” Tanya Chika penasaran.
“Hemmm, udah kamu gak perlu tahu. Nanti otak kamu gak sampai lagi.” Ledek Riza.
“Kakakkkk, ngeledek terus.” Gerutu Chika.
“Hemmm, udah kamu gak perlu tahu. Nanti otak kamu gak sampai lagi.” Ledek Riza.
“Kakakkkk, ngeledek terus.” Gerutu Chika.
Seperti itulah mereka saat bersama. Malam itu mereka tertawa bersama melihat bintang-bintang di langit. Kedekatan mereka tak mempengaruhi perasaan Chika sedikit pun. Dia merasa lebih baik jika seperti ini.
******
Di kosan Fiko pada malam yang sama
“Darimana Za ?” Tanya Fiko.
“Dari rumah Chika.” Jawab Riza singkat
“Oohh.” Respon Fiko datar.
“Dari rumah Chika.” Jawab Riza singkat
“Oohh.” Respon Fiko datar.
Fiko senang melihat Riza dan Chika bisa bersama seperti dulu lagi. Namun dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa di lubuk hatinya dia merasakan sakit yang teramat dalam.
“Kenapa ? Lo cemburu ?” Tanya Riza memancing.
Fiko refleks kaget mendengar pertanyaan Riza. Mengapa Riza bisa bertanya seperti itu apa dia tahu perasaan Fiko yang sebenarnya.
“Cemburu ? Lo ngomong apa sih. Ya gak mungkin lah.” Elak Fiko.
“Udah gak usah bohong sama gue. Lo cinta kan sama dia ?” Tanya Riza.
“Ngaco lo. Yang cinta sama dia kan cuma lo.” Elak Riza.
“Apa perlu gue pakai kekerasan supaya lo ngaku.” Kata Riza menatap Fiko tajam.
“Udah gak usah bohong sama gue. Lo cinta kan sama dia ?” Tanya Riza.
“Ngaco lo. Yang cinta sama dia kan cuma lo.” Elak Riza.
“Apa perlu gue pakai kekerasan supaya lo ngaku.” Kata Riza menatap Fiko tajam.
Fiko semakin tak mengerti jalan pikirannya Riza. Darimana ia bisa tahu ? Sekarang apa yang harus dia jawab.
“Udahlah jujur aja sama gue. Gue udah tahu semuanya. Tulisan di atas kue itu, percakapan lo dan Chika di ruang kesenian dan cara kalian bertatapan. Itu udah nunjukkin banget kalau kalian saling mencintai.” Lirih Riza.
Fiko menarik nafasnya dalam-dalam, mungkin sudah waktunya ia beritahu semuanya.
“Iya. Gue cinta sama dia. Sangat mencintainya.” Kata Fiko tak dapat mengelak lagi.
“Tapi kenapa harus Chika Marceel.” Kata Riza dengan nada lebih tinggi.
“Salah gue kalau ternyata lo udah ngubah persepsi gue tentang wanita ? Salah gue kalau setiap waktu luang gue dihabiskan untuk mendengarkan cerita lo tentang Chika, Chika, dan Chika ? Dia masuk begitu aja ke dalam mimpi gue, merasuki seluruh ruang di hati gue dan gue mulai menikmati setiap cerita lo tentang dia.” Ucap Fiko juga dengan nada lebih tinggi.
“Tapi kenapa harus Chika Marceel.” Kata Riza dengan nada lebih tinggi.
“Salah gue kalau ternyata lo udah ngubah persepsi gue tentang wanita ? Salah gue kalau setiap waktu luang gue dihabiskan untuk mendengarkan cerita lo tentang Chika, Chika, dan Chika ? Dia masuk begitu aja ke dalam mimpi gue, merasuki seluruh ruang di hati gue dan gue mulai menikmati setiap cerita lo tentang dia.” Ucap Fiko juga dengan nada lebih tinggi.
Riza terdiam, dia menghempaskan tubuhnya ke kursi. Kenyataan yang harus ia hadapi bahwa sahabatnya sendiri mencintai seseorang yang dia cintai justru karena cerita dia selama ini.
“Terus lo nunggu apa lagi. Kenapa lo gak kejar dia ?.” Lirih Riza.
“Karena gue gak punya kemampuan untuk merebut cinta lo, Za. Jangan biarin gue nyakitin lo.” Ucap Fiko.
“Karena gue gak punya kemampuan untuk merebut cinta lo, Za. Jangan biarin gue nyakitin lo.” Ucap Fiko.
Mereka berdua berdiam, hening dalam gelap malam. Hingga mereka terlelap.
******
Pagi hari di rumah Chika
“Chikaaaaaaaaaaaa.” Teriak Rere yang mengagetkan tidur santai Chika.
“Ih ni anak kebiasaan ngagetin gue mulu.” Keluh Chika.
“Lo kok masih santai-santai aja sih. Nanti malam kan acara ulang tahun kampus.” Ucap Rere.
“Emangnya perlu siapin apaan ?” Tanya Chika tak mengerti.
“Huh, ya bajulah, make up, high heel, tas juga. Lo udah nyiapin semuanya belum ?” Tanya Rere ribet.
“Gak perlulah. Gue pakai pakaian yang biasa aja deh.” Kata Chika santai.
“Gak boleh pokoknya lo harus tampil cantik malam ini.” Kata Rere mengharuskan.
“Gue males Rere bawel.” Elak Chika.
“Kalau lo males, biar gue yang make up-in lo. Nih gue udah bawa kotak make up gue, dress gue juga. Jadi lo tinggal terima beres.” Kata Rere sambil mengeluarkan barang-barangnya dari tas.
“Ih ni anak kebiasaan ngagetin gue mulu.” Keluh Chika.
“Lo kok masih santai-santai aja sih. Nanti malam kan acara ulang tahun kampus.” Ucap Rere.
“Emangnya perlu siapin apaan ?” Tanya Chika tak mengerti.
“Huh, ya bajulah, make up, high heel, tas juga. Lo udah nyiapin semuanya belum ?” Tanya Rere ribet.
“Gak perlulah. Gue pakai pakaian yang biasa aja deh.” Kata Chika santai.
“Gak boleh pokoknya lo harus tampil cantik malam ini.” Kata Rere mengharuskan.
“Gue males Rere bawel.” Elak Chika.
“Kalau lo males, biar gue yang make up-in lo. Nih gue udah bawa kotak make up gue, dress gue juga. Jadi lo tinggal terima beres.” Kata Rere sambil mengeluarkan barang-barangnya dari tas.
Dasar memang sahabat Chika yang satu ini sangat semangat sekali jika ada peringatan ulang tahun seperti ini karena dia bisa tampil cantik dan kali ini ia mau menjadikan Chika tampil cantik sepertinya.
Malam ulang tahun kampus telah tiba
Chika, Rere dan Vino berangkat ke kampus bersama. Malam ini Vino membawa mobilnya sehingga bisa berangkat bersama-sama. Sementara suasana di kampus malam ini sungguh meriah, dengan desain panggung yang simple tapi terlihat mewah dan lapangan kampus yang di dekor dengan sangat apik dengan berunsur warna merah. Ditengah atas bangunan pusat kampus terpasang sejaring besar balon berbentuk hati berwarna merah. Di jalan utama menuju panggung juga terpasang gapura dengan lampu-lampu dan daun-daun menjalar memperlihatkan seperti adanya pesta kebun. Setiap mahasiswa datang dan melalui red carpet, benar-benar acara ulang tahun kampus yang meriah.
Mobil Vino melaju memasuki parkiran kampus. Vino, Chika dan Rere berjalan bersama melewati red carpet. Semua mata menatap Chika kagum. Chika yang setiap harinya selalu terlihat sederhana dan tanpa make up, malam ini ia terlihat sangat cantik dengan dress warna pink dan cardigan putih, rambutnya yang di gerai dan di jepit ke belakang dengan pita di pinggir rambutnya, high heel yang sesuai dengan pakaiannya dan make up yang natural membuatnya terlihat begitu anggun.
“Tuh kan, Re. Gue aneh ya, kok pada ngeliat gue kayak gitu.” Kata Chika tak percaya diri
“Mereka tuh kagum lihat lo, karena lo cantik banget malam ini. Iya kan Pin ?” Tanya Rere meminta pendapat Vino
“Iya lo cantik banget, gue aja sampe pangling.” Jawab Vino
“Lo jujur kan.” Kata Chika masih khawatir.
“Beneran. Siapa dulu yang dandanin, Rere.” Kata Rere membanggakan diri.
“Iya. Makasih ya Rere cantik.” Puji Chika.
“Sama-sama Chika” Jawab Rere dengan senyumannya yang khas.
“Mereka tuh kagum lihat lo, karena lo cantik banget malam ini. Iya kan Pin ?” Tanya Rere meminta pendapat Vino
“Iya lo cantik banget, gue aja sampe pangling.” Jawab Vino
“Lo jujur kan.” Kata Chika masih khawatir.
“Beneran. Siapa dulu yang dandanin, Rere.” Kata Rere membanggakan diri.
“Iya. Makasih ya Rere cantik.” Puji Chika.
“Sama-sama Chika” Jawab Rere dengan senyumannya yang khas.
Saat mereka sedang asyik mengobrol di kursi yang disediakan, tiba-tiba. . .
“Halo semua.” Sapa seorang pemuda tampan dengan setelan kemejanya yang pas dengan warna kulitnya yang putih.
“Kakak.” Ucap Chika, “Hai, Za.” Ucap Rere dan Vino.
“Cantik banget kamu malam ini.” Puji Riza.
“Makasih Kakak.” Jawab Chika seadanya tapi tetap dengan senyuman.
“Kakak.” Ucap Chika, “Hai, Za.” Ucap Rere dan Vino.
“Cantik banget kamu malam ini.” Puji Riza.
“Makasih Kakak.” Jawab Chika seadanya tapi tetap dengan senyuman.
Acara ulang tahun pun dimulai. Sambutan-sambutan dari Rektor kampus sampai dengan ketua pelaksana mengisi acara hingga peniupan lilin di atas kue ulang tahun menutup acara formal pesta tersebut. Selama acara formal berlangsung, mata Chika tak hentinya berkeliaran mencari sosok seseorang. Acara formal pun selesai dan dilanjutkan dengan acara bebas yang dimeriahkan dengan musik dan seni lainnya.
“Tepuk tangan semuanya.” Kata pembawa acara pria.
“Wah permainan piano Yogi benar-benar hebat ya, Bim.” Kata pembawa acara wanita.
“Iya benar banget Dina. Tapi itu baru sebagian aja, yang bakal tampil selanjutnya nih. Gak kalah keren.” Kata pembawa acara pria.
“Yang bener Bim ? Memang siapa yang akan tampil ?” Tanya pembawa acara wanita.
“Mau tahu kan ? Yaudah mendingan kita panggilin aja sekarang.” Kata pembawa acara pria.
“FIKO MARCELINO.” Teriak pembawa acara bersama-sama.
“Wah permainan piano Yogi benar-benar hebat ya, Bim.” Kata pembawa acara wanita.
“Iya benar banget Dina. Tapi itu baru sebagian aja, yang bakal tampil selanjutnya nih. Gak kalah keren.” Kata pembawa acara pria.
“Yang bener Bim ? Memang siapa yang akan tampil ?” Tanya pembawa acara wanita.
“Mau tahu kan ? Yaudah mendingan kita panggilin aja sekarang.” Kata pembawa acara pria.
“FIKO MARCELINO.” Teriak pembawa acara bersama-sama.
Semua para mahasiswa bertepuk tangan dengan kehadiran Fiko di panggung. Chika tertegun melihatnya yang begitu mempesona.
Fiko diiringi dengan sebuah gitar yang dimainkan oleh temannya. Namun ia tidak bernyanyi tetapi membacakan sebuah puisi, seperti yang dilakukan Dian Sastrowardoyo yang berperan sebagai Cinta di film AADC.
Seberkas senyum
Hampiri sepi
Menutup pilu dan lara
Tabir mimpi menyeruak kembali
Singgahi hati
Hempaskan gundah
Hampiri sepi
Menutup pilu dan lara
Tabir mimpi menyeruak kembali
Singgahi hati
Hempaskan gundah
Cukup hanya satu kisah
Kau hadir dalam mimpi
Dengan senyum khas yang menggoda
Menyirami layunya bunga hatiku
Kau hadir dalam mimpi
Dengan senyum khas yang menggoda
Menyirami layunya bunga hatiku
Pergi saja aku
Dapatkan senyum mu setiap hari
Meleburkan angan sambut impian
Bersamamu
Telah sampai aku pada sang pujaan hati
Dapatkan senyum mu setiap hari
Meleburkan angan sambut impian
Bersamamu
Telah sampai aku pada sang pujaan hati
Chika merasa tak asing dengan bait-bait puisi yang di bawakan oleh Fiko. Dia sepertinya pernah membaca puisi itu, tapi dimana ? Chika masih mengingat-ingat sementara setiap orang di sana telah memberikan appreciation-nya. Tiba-tiba ia ingat dompet yang ia temukan dan selalu ia simpan di dalam tasnya. Lalu ia mengeluarkannya dari tasnya dan ternyata sama persis dengan yang Fiko bawakan.
“Jadi FM itu..............”
* Aku ngerti sekarang Fiko (Ucap Chika dalam hati.)
Chika tersenyum lebar saat mengerti semua hal itu.
* Aku ngerti sekarang Fiko (Ucap Chika dalam hati.)
Chika tersenyum lebar saat mengerti semua hal itu.
Malam pesta ulang tahun kampus belum terlalu larut. Kini acara dansa pun di mulai, setiap pasangan menuju area yang disediakan. Chika sendiri masih terlihat duduk dengan tenang, Riza pun tak ada tanda-tanda akan mengajaknya.
“Chika.” Sapa Fiko yang membuat Chika menoleh.
“Iya.” Jawab Chika seadanya.
“Ada yang ingin aku sampaikan, boleh ikut aku sebentar.” Kata Fiko.
“Oh gitu. Yaudah kalau gitu.” Jawab Chika mengiyakan.
“Iya.” Jawab Chika seadanya.
“Ada yang ingin aku sampaikan, boleh ikut aku sebentar.” Kata Fiko.
“Oh gitu. Yaudah kalau gitu.” Jawab Chika mengiyakan.
Fiko dan Chika menuju taman kampus yang masih ramai dengan diterangi lampu-lampu hiasan ulang tahun. Sementara Riza masih asyik dalam duduknya. Ia hanya tersenyum melihat kejadian itu.
“hemmm, langitnya indah ya, Chik.” Kata Fiko basa-basi.
“Iya.” Jawab Chika singkat.
* Aduh mulai darimana. (Kata Fiko dalam hati.)
“Fiko, puisi yang kamu bawakan tadi bagus.” Ucap Chika memuji.
“Terima kasih.” Kata Fiko tersenyum.
“Fiko, kamu dan Riza baik-baik aja ?” Tanya Chika khawatir.
“Iya.” Jawab Chika singkat.
* Aduh mulai darimana. (Kata Fiko dalam hati.)
“Fiko, puisi yang kamu bawakan tadi bagus.” Ucap Chika memuji.
“Terima kasih.” Kata Fiko tersenyum.
“Fiko, kamu dan Riza baik-baik aja ?” Tanya Chika khawatir.
Pertanyaan Chika mengingatkan ia dengan perkataan Riza saat hendak pergi ke kampus malam ini.
“Lo harus menangkan cinta lo Cel. Jangan lo biarkan cinta lo kalah.” Kata Riza mantap.
“Tapi.” Ucap Fiko.
“Lo justru akan nyakitin gue kalau lo kecewain Chika Cel.” Kata Riza memotong yang kemudian berlalu pergi.
“Tapi.” Ucap Fiko.
“Lo justru akan nyakitin gue kalau lo kecewain Chika Cel.” Kata Riza memotong yang kemudian berlalu pergi.
“Kita baik-baik aja kok Chik, kamu tenang aja.” Kata Fiko meyakinkan
“Oh bagus kalau begitu. Oh iya, Ini dompet kamu kan ?” Tanya Chika sambil mengeluarkan dompet dari tasnya.
“Loh kok bisa ada di kamu ?” Tanya Fiko penasaran.
“Oh bagus kalau begitu. Oh iya, Ini dompet kamu kan ?” Tanya Chika sambil mengeluarkan dompet dari tasnya.
“Loh kok bisa ada di kamu ?” Tanya Fiko penasaran.
Fiko membuka dompetnya dan melihat kertas puisi miliknya.
“Aku sudah mengerti semuanya Fiko.” Kata Chika melirik Fiko.
“Maafkan aku Chika untuk semua hal yang tidak mengenakkan di hati kamu.” Ucap Fiko penuh arti.
“Iya, sudah kok.” Kata Chika singkat.
“Ini untuk kamu.” Fiko memberikan bunga mawar untuk Chika yang sedari tadi disembunyikan dibelakangnya.
“Wah, Terima kasih ya.” Kata Chika dengan senyuman merekahnya.
“Itu bunga pertama yang aku berikan untuk wanita pertama dan terakhir dihati aku.” Kata Fiko.
“Maafkan aku Chika untuk semua hal yang tidak mengenakkan di hati kamu.” Ucap Fiko penuh arti.
“Iya, sudah kok.” Kata Chika singkat.
“Ini untuk kamu.” Fiko memberikan bunga mawar untuk Chika yang sedari tadi disembunyikan dibelakangnya.
“Wah, Terima kasih ya.” Kata Chika dengan senyuman merekahnya.
“Itu bunga pertama yang aku berikan untuk wanita pertama dan terakhir dihati aku.” Kata Fiko.
“Fiko.....” Kata Chika terharu membuat matanya berbinar-binar.
Kemudian Fiko memperagakan kata “I LOVE YOU” dengan isyarat tangannya dan bantuan tangan Chika yang diraihnya setelah itu dia mengulang kata-kata itu lagi dengan lembut.
“I love you.”
Belum sempat Chika menjawab pernyataan cinta Fiko, ketakutannya muncul bagaimana jika ia akan disakiti lagi untuk kedua kalinya jika ia menerima cinta Fiko. Sementara Fiko tetap menunggu dengan setia jawaban dari Chika. Tiba-tiba Chika ingat kata-kata yang Rere ucapkan kepadanya.
“. . . . . . Gue cuma pengen lo inget satu hal, apapun yang terjadi lo harus ikutin kata hati lo, karena itulah jawaban yang paling jujur.” Kata Rere bijak.
Kemudian Chika merasa mantap dan berkata,
“I love you too Fiko.” Jawab Chika tersenyum.
Kembang api raksasa mengudara menghiasi langit malam kampus. Ya pesta ulang tahun kampus diakhiri dengan peluncuran kembang api raksasa yang dapat dilihat dari seluruh sisi kampus dan daerah sekitar kampus termasuk Chika dan Fiko yang malam ini resmi menjadi sepasang kekasih.
THE END
Hihihihihihi
Sori ya kalo gak bagus-bagus amat :P
Baca yang bawah juga oke ^o^
Sori ya kalo gak bagus-bagus amat :P
Baca yang bawah juga oke ^o^
↓
Cinta dan kebahagiaan adalah hal yang diinginkan semua orang jauh dilubuk hatinya yang terdalam. Setiap ada cinta disanalah terdapat kebahagiaan meskipun tak semua kebahagiaan terdapat cinta.
Suatu hubungan harus mempunyai tiga pilar utama sebagai penopang, Kesetiaan, Kejujuran dan Komunikasi. Dimana pun sang cinta berada, apapun yang dia lakukan selama ketiga pilar itu tetap terjaga kelak ia akan kembali dengan cintanya yang utuh, dengan senyumannya yang merekah dan merentangkan tangannya untuk memelukmu selamanya.
Cinta bukan ilusi yang semua halnya palsu tetapi Cinta adalah keajaiban yang setiap halnya terjadi tanpa terduga, hal yang tak dimasuk akal pun dapat terjadi kalau cinta telah menggebu. Cinta, tak setiap jalan mudah, di setiap sudut terdapat halangan tetapi semakin besar halangan semakin besar pula sang cinta berkobar.
Cintaku adalah kamu, kamu yang baik. Yang teguh akan keyakinannya, yang menghargai setiap pengorbanan, yang menghormati setiap perjuangan, yang melupakan perbedaan, yang mengingat setiap kenangan, yang belajar dari masa lalu, yang menguatkan sesamanya, yang malu menyakiti perasaan orang lain, yang memaafkan kesalahan, yang tidak memperdulikan status, yang menjaga perasaan orang yang menyayanginya, yang mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri, dan yang menamakan dirinya sebagai pria sejati. ^o^