CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 13 April 2012

Cinta yang Tak Ku Harapkan

by Ria Adiana

Aku seorang wanita, aku mengabdikan diriku untuk merawat orang lain, aku mengerti keadaan mereka yang membutuhkan pertolongan dan memposisikan diriku sebagai mereka. Aku bekerja pada salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Mereka yang ku rawat memanggilku Suster Nisa. Aku membantu pasienku memenuhi kebutuhannya yang terganggu dari buang air besar, kecil, membantu persalinan sampai merawat pasien yang menderita virus mematikan HIV/AIDS.
Aku merasa hidupku berarti saat bersama mereka, namun saat aku berada pada hidupku yang nyata aku merasakan kesepian. Usiaku yang sudah menginjak dewasa membuat orang tuaku selalu menanyakan kapan aku akan menikah. Aku bingung, aku sendiri tak tahu mengapa sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, melupakan seseorang yang mungkin sudah melupakanku. Dia, pria yang baik yang pernah ku temui walau akhirnya dia menyakiti perasaanku. Aku rapuh, aku tak tahu mengapa belum ada seorang pun yang bisa membuatku jatuh cinta, meskipun aku tahu banyak yang menginginkan aku menjadi kekasihnya, dan tak jarang kebanyakan mereka memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang yang ku cintai sampai saat ini. 

Hingga suatu hari orang tuaku memperkenalkan aku dengan seorang pria yang memiliki segalanya, wajah yang tampan dan menenangkan, tinggi, kulit yang putih, mapan dan pastinya seorang pria yang soleh. Ibu dan ayahku sangat menyukainya apalagi dia tidak pernah pacaran dan berniat baik untuk menjadikanku istrinya. Walaupun begitu kenapa aku tak sedikitpun menyukainya, menurutku tak ada yang istimewa di dirinya, aku masih merasakan bayangan masa laluku bersama orang lain. Namun akhirnya aku menyetujui pernikahan itu dengan hati yang terpaksa demi membuat orang tuaku bahagia dan setidaknya aku bisa tenang karena orang tuaku tak menuntutku lagi untuk menikah.
Pernikahan tiba, pernikahan itu sangat meriah dan menurut pendapat keluarga dan teman-temanku suasananya begitu damai. Aku tersenyum meski sangat terpaksa dan aku merasa seperti di ruang pengadilan dan menunggu keputusan hakim yang akan memberikan hukuman mati kepadaku. Singkat cerita aku telah berada di sebuah ruang kamar yang dihiasi untuk pengantin baru. Tetapi aku malah merasa berada di penjara. Aku ingin berteriak “Tuhan tolong keluarkan aku dari sini.” Meski aku tahu itu sia-sia dan pasti Allah akan membenciku jika aku tak menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Maka aku pun menjalankan kewajibanku sebagai istri terhadapi suaminya. Namun aku tak pernah melihat matanya dan membiarkan dia melakukan sesuatu sesukanya. Beberapa kali dia bertanya dengan suaranya yang lembut, berharap aku akan menengok ke arahnya namun aku pun tak mengindahkannya. Sampai ia bicara kepadaku “Aku akan menunggumu hingga kau benar-benar bisa menerimaku.” Namun itu pun tak membuat batu dihatiku hancur justru perkataan itu tak masuk sama sekali ke dalam hatiku.
Hari-hari ku jalani bersamanya seperti robot. Pagi hari aku bangun sholat dan menyiapkan makanan untuknya, kami sarapan bersama, bicara pun seperlunya, lalu aku berangkat ke rumah sakit seperti biasanya dan dia pun pergi ke tempat kerjanya. Pulang kerja aku menyiapkan makanan untuknya dan kami pun makan bersama lagi. Terkadang dia pulang malam dan aku enggan untuk menunggunya aku makan duluan, setelah solat aku langsung tidur. Saat dia pulang pun aku tidak membukakan pintu untuknya, aku sengaja memberikan kunci duplikat untuknya. Terkadang juga saat dia tak pulang untuk mengurusi kerjaan di luar kota aku tak pernah menanyakan kabarnya atau sekedar menanyakan apakah dia sudah makan atau belum, bahkan makanan kesukaannya pun aku tak pernah tahu. Dan beberapa minggu setelah menikah aku selalu mendapatkan bunga yang pengirimnya pun aku tak tahu. Suamiku bertanya “Bunga sebanyak ini dari siapa Dik?” Begitulah ia memanggilku, lalu ku jawab “Aku nggak tau, gak ada nama pengirimnya.” Aku sempat berfikir suamiku yang mengirimnya namun dia malah bertanya seperti itu, aku yang memang suka bunga menjadi tak perduli siapa pengirimnya. Setelah itu ia tak pernah berbicara sepatah kata pun melihat banyaknya bunga yang menghiasi setiap sudut di rumah kami. Aku suka kasihan melihatnya yang selalu menyibukkan diri dengan laptopnya saat sedang libur namun hatiku bergejolak “dia juga jahat tak berusaha membuat ku menyukainya bahkan merebut kebahagiaanku dengan membuatku berada satu rumah dengannya.” Begitulah syeitan mempengaruhi ku.
Suatu saat kepala ruangan keperawatan menugaskanku merawat seorang wanita yang seumuran denganku. Menurut diagnosa medis dia mengalami kanker payudara stadium akhir. Sebagai seorang perawat profesional aku pun selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sampai membersihkan luka-luka pada payudaranya dan tak bisa kalian bayangkan bagaimana wangi khas yang timbul saat aku membersihkan luka itu, namun aku tak memperdulikan itu.
Dilihat dari data pengkajian yang ku lakukan, wanita itu sudah menikah namun tak pernah aku melihat seorang pria yang menemaninya kecuali laki-laki dan wanita dengan kulit keriput mulai memenuhi tubuh mereka. Mereka adalah orang tua wanita tersebut. Mereka pun selalu tersenyum kepada ku saat aku melakukan tindakan. Pagi harinya aku melihat sang bapak menemani anaknya lalu sore hari bergantian sang ibu yang menemani anaknya namun saat malam hari mereka meminta bantuanku untuk menjaga putrinya karena mereka harus bekerja dan mencari dana untuk pengobatan putrinya.  Aku sangat empati melihat keadaan wanita itu yang semakin hari keadaannya semakin memburuk, tubuhnya yang kurus dan terlihat sangat lemah dan kesakitan, rambutnya yang lama-lama semakin berkurang akibat kemoterapi yang dijalankannya, Sel-sel kanker yang mulai menyebar dan menggerogoti payudaranya hingga habis. Aku menangis kala mengingatnya meskipun saat membantunya aku terlihat sangat tegar dan membuatnya merasakan lingkungan yang senyaman mungkin.
Aku semakin sibuk dengan pasien ku yang satu ini, aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk menjaganya. Sebagai seorang istri aku meminta izin kepada suamiku untuk lebih banyak bekerja di rumah sakit. Waktuku untuk bersama dan melihat suamiku semakin berkurang bahkan tak ada, hingga aku menjadi semakin terbebas darinya. Aku semakin tak memperhatikan kebutuhannya namun sebaliknya, dia selalu mengirim pesan untuk sekedar menanyakan kepadaku apakah aku sudah makan seakan dia sudah tahu bahwa aku selalu lebih mementingkan kepentingan pasienku daripada diriku sendiri.
Karena ku sering menghabiskan waktu ku bersama pasienku maka terjalin Hubungan terapeutik diantara kami. Pernah sewaktu malam dia menangis dan memanggilku. Dia bercerita tentang kehidupan pribadinya dan menjawab rasa penasaranku selama ini. Ternyata suaminya tidak memperdulikannya lagi setelah ia di diagnosa menderita kanker payudara bahkan meminta orang tuanya untuk menjaganya. Suaminya ternyata menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Dulu mereka saling mencintai, suaminya pria yang sangat baik bahkan laki-laki terbaik menurutnya yang dia pernah kenal namun tak menyangka ia akan menjadi seperti itu, pria itu hanya memberikan uang makan seperlunya, tak pernah memperhatikannya seperti dulu. Suaminya bahkan tak menanyakan kabarnya, bagaimana penyakitnya, apa yang dirasakannya, dia tidak perduli sedikitpun. Biaya pengobatannya pun bukan suaminya yang memberikan namun orang tuanya yang susah payah mencari kesana-kemari demi kesembuhan anaknya. Suaminya tidak bekerja, dia sengaja menikahi seorang gadis yang kaya raya agar ia tidak usah susah menjalani hidup. Wanita itu terus menangis menceritakan kejadian yang menimpanya, dan aku terus mendengarkan mencoba untuk memotivasinya sungguh aku merasa sangat sakit mendengar cerita pasienku.
Setelah beberapa hari, nyawanya tidak tertolong lagi, kami semua telah berusaha namun Allah jua-lah yang menentukan. Aku menangis dalam diamku sendiri melihat raganya yang terbujur kaku, disampingnya terlihat orang tuanya yang setia menemani dan beberapa sanak keluarganya. Aku menutup wajahnya dengan kain putih dan keluarganya membawa jenazah sang wanita ke rumahnya untuk dikebumikan. Karena belum ada pasien yang aku rawat lagi, Saat itu aku langsung mengganti pakaianku dan mengikuti ambulan dengan mobil hasil kerja ku selama ini. Aku ingin mengantarkannya ke tempat istirahatnya yang terakhir. Inilah pertama kalinya aku merawat pasienku hingga ia masuk ke liang lahat, entah ada perasaan apa yang membuatku ingin sekali mengantarnya. Sampai di rumah duka, sudah ramai dengan keluarga dan tetangga yang berbaju hitam dan bendera kuning menghiasi setiap sudut jalan menuju rumah duka. Jenazah pun di doakan di rumah duka. Bacaan QS. Yaasiin menggema untuk mendoakan wanita itu. Aku memeluk ibu sang almarhumah dan entah apa yang mendasariku untuk bertanya dimana suaminya lalu sang ibu berkata sambil terus berlinangan airmatanya “Ada di luar Sus, sedang bersama istri barunya bahkan dia tak mau masuk katanya malas, malah memberikan uang untuk proses pemakaman. Lalu ibu menolaknya Sus.” Sungguh hatiku sakit sekali mendengarnya. Aku kemudian keluar penasaran melihat seperti apa sosok lelaki biadab dan tak bertanggung jawab itu. Di luar hanya ada bapak-bapak dan dibawah pohon terlihat seorang wanita dan pria sedang tertawa sambil berbincang-bincang lalu adik sang almarhumah tiba-tiba memukul pria itu sangat keras dibagian pipinya hingga pria itu tersungkur, dengan bicara dengan nada tinggi sang adik menyuruh pria yang tak bertanggung jawab itu pergi. Hatiku berdegup melihat wajah sang pria. Dia ternyata adalah seorang pria yang selama ini aku cintai dan karenanya aku telah menyia-nyiakan pria sebaik suamiku.  Aku langsung teringat wajah suamiku dan mengutuk diriku sendiri.
Aku berjalan tersungkur mendekati sang ibu untuk izin pulang. Sungguh dalam hatiku “Ya Allah aku ingin bertemu dengan suamiku, ampuni aku.” Ternyata Allah membuatku sadar dengan mengirimkan wanita itu ke jalan hidupku. Aku bergegas pulang ke rumah dalam perjalanan aku hanya mengingat suamiku. Mengingatnya yang selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku, yang dengan sabar menungguku untuk bisa menerimanya. Suamiku tak pernah mengeluh saat aku tak memperdulikannya bahkan banyak mendurhakainya. Setiap saat dia menanyakan apakah aku sudah makan sementara aku tak pernah perduli apakah dia sudah makan atau belum, apa yang dimakannya, bahkan makanan kesukaannya pun aku tak tahu. Istri macam apa aku ini. Aku memang memenuhi kebutuhan fisiknya tapi apa aku pernah memenuhi kebahagiaan di hatinya. Selama bersamanya aku pun tak pernah menyunggingkan senyum di bibirku, tak pernah berbicara lembut terhadapnya bahkan aku menganggapnya orang asing yang mengusik ketenanganku.
Sampainya di rumah aku mendengarnya sedang berada di kamar mandi dan melihat laptop yang sering digunakannya untuk bekerja sedang menyala. Aku mendekati laptopnya melihat dekstop dengan gambar fotoku bersamanya saat menikah bahkan aku pun tak pernah melihat foto-foto itu. Aku membuka dokumennya yang berjudul “Bunga”. Aku mulai membaca kata demi kata yang dia ketik, tanpa sadar aku menitikkan airmataku, jantungku berdetak sangat cepat, hatiku berdesir lembut seperti ada rasa yang menyelinap masuk tanpa permisi, apa mungkin aku mulai mencintainya? Ternyata setiap hari walaupun dia sibuk bekerja dia selalu berusaha pulang agak sore agar bisa makan masakan yang aku buat walau terkadang masakan yang tidak dia sukai dan membuatnya alergi tetapi dia menerimanya, teringat beberapa kali aku menyediakannya buah jeruk di meja makan dan dia memakannya setelah itu di tangan dan kakinya menjadi bentol-bentol dan kemerahan , aku hanya bertanya “kenapa?”, tetapi dia menjawab “Tidak apa-apa hanya digigit nyamuk” padahal beberapa kali dia berkata seperti itu tapi kenapa aku tidak peka padahal aku seorang yang sudah lama berkutik dengan bidang kesehatan tapi masalah alergi saja aku tak tahu, saking aku tak memperdulikannya. Lalu terkadang dia suka tidak pulang karena takut kalau aku menjadi semakin risih melihatnya, dia hanya ingin membuatku nyaman di rumah. Dan yang paling membuatku sesak adalah membaca tulisannya “Setiap hari aku mengirimkannya bunga tanpa nama sang pengirim, aku tahu dia suka sekali dengan bunga, dan benar aku bisa melihat senyum dibibirnya meskipun senyum itu bukan ditujukan untukku setidaknya aku bisa membuat dia tersenyum.” Aku ingin sekali memeluknya dan bilang “Kau tidak usah menunggu lagi karena aku sudah menerimamu.”  Dia tidak bisa sedikitpun tak memikirkan aku, dimana aku, apa aku sudah makan, dia selalu mementingkan kepentinganku.
Aku menunggunya di kursi kamar kami dengan airmata yang terus menetes dipipiku. Aku berharap ia cepat keluar dan melihat wajahnya dan menatap matanya. Aku takut hidupku bersamanya akan berakhir dengan penyesalan yang berujung kematian seperti kisah-kisah orang lain. Aku gelisah menunggunya hingga pintu kamar mandi terbuka dan melihatnya berdiri dihadapanku, aku langsung berlari memeluknya, memeluknya sangat erat, aku tak mau melepaskannya, tak akan. Aku berlutut meminta maaf kepada suamiku dan dia membangunkanku lalu berkata “Tidak ada yang perlu dimaafkan, kamu nggak salah.” Aku memeluknya sekali lagi, menatap matanya yang damai lalu dia mengecup keningku. Kemudian dia mengajakku untuk sholat ashar berjama’ah. Itu pertama kalinya selama bersama kami sholat berjama’ah.
Aku sadar dia pria yang terbaik yang dipilihkan Allah untuk menjadi jodohku. Pria yang dengan sabar menungguku dan menjaga diri dan perasaanku yang senantiasa menuntunku ke jalan Allah Yang Esa. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi istri yang terbaik untuknya.

****Selesai****

Memang tidak selalu apa yang kita harapkan menjadi kenyataan
Namun dibalik kekecewaan itu pasti tersimpan sebuah kebahagiaan dari-Nya
Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya

Saat aku bilang “Aku tidak bisa hidup tanpanya.”
Sungguh ternyata aku masih bisa bernafas dan jantungku masih terus berdetak

Saat aku bilang “Aku tidak kuat lagi menahan perasaan ini.”
Sungguh ternyata aku masih bisa berdiri tegak dan berjalan menatap kehidupan

Saat aku bilang “Aku tidak dapat melupakannya.”
Sungguh ternyata aku benar-benar tak mengingatnya saat aku tersenyum dan tertawa

Saat aku bilang “aku terus menangis tanpa dia disisiku.”
Sungguh ternyata aku hanya menangis sesaat kemudian merentangkan tangan menyambut yang terbaik.

Jagalah, dia yang mencintaimu karena Allah
karena dia tak akan punya keberanian untuk menyakitimu
Dan Jika dia benar-benar menjadi beban dalam hidupmu
Maka lepaskanlah

“Cukuplah hanya Allah yang menjadi Pemeliharaku”
“Hanya dengan mengingat-Nya, kamu akan menjadi tenang”
“Apa yang menurut kita terbaik mungkin tidak bagi-Nya
Dan apa yang menurut kita buruk mungkin dialah yang terbaik menurut-Nya”

Ini bukan sekedar kalimat yang masuk ke hati dan kemudian hilang
Tapi pahamilah hidup kita sekarang

Jika kita merasa kalah, sungguh kita telah dilahirkan sebagai pemenang
Berjuta-juta sel sperma yang menuju ovum untuk dibuahi namun hanya satu yang menjadi juaranya
Dia adalah KITA

Jika kita merasa tidak beruntung,
Sungguh kita adalah orang yang lebih beruntung
Lihat anak-anak yang mengalami kecacatan, anak jalanan yang tak jelas hidupnya, anak balita yang berada di panti asuhan, orang sakit jiwa yang tak bisa merasakan hidup, orang yang sedang koma di rumah sakit dan lainnya.

Kita masih punya waktu untuk membuat setiap detik kehidupan kita menjadi berarti.^^

Senin, 26 Maret 2012

Move On

Move on, dua kata dalam bahasa inggris yang sedang booming-boomingnya saat ini.
Kalau ada seseorang yang sudah putus dengan pacarnya atau tidak bisa melupakannya, pastilah ada orang lain yang berkata,”Move on guys.”
Hem, suatu kata yang mudah sekali untuk dikatakan ya ?

Aku adalah salah seorang yang pernah berada diposisi keduanya, yang sulit move on dan yang berkata move on.

Aku selalu bertanya pada diri sendiri,
Mengapa aku selalu punya kata-kata yang bisa menyemangati temanku saat mereka bersedih ?
Bahkan teman lelakiku ada yang pernah bilang
“Gue salut sama lo. Lo yang sama nasibnya kaya gue bisa sekuat ini. kenapa gue nggak ?”
Itu keadaan dimana aku menjadi penasihatnya.

Beberapa hari yang lalu ada seorang sahabat yang meminta pendapatku tentang pacarnya yang mulai berubah terhadapnya,
Pacarnya suka marah-marah dan menyalahkannya atas sesuatu yang semua orang rasa sepele. Sahabatku ini tidak sanggup lagi menjalani hubungan bersamanya namun dia takut tak bisa menjalani hidupnya tanpa pacarnya ini, sampai-sampai ia menjelek-jelekkan dirinya sendiri dan membandingkannya dengan mantan sang pacar yang katanya lebih dari segalanya daripada sahabatku.

Wow, sepertinya pacarnya telah berubah menjadi jantung ditubuhnya, yang jika dia lepaskan maka dia akan mati.

Dan apa yang ku katakan ?

Kau tahu masih ada orang diluar sana yang tidak seberuntung dirimu. Tak bersyukurnya dirimu yang dengan gampang kau jelek-jelekkan dirimu sendiri, padahal kau tahu setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tak ada satu pun manusia di dunia yang lahir tanpa kelebihan dan tak mempunyai kekurangan. Dan hanya seorang “mr.X” bisa membuat mu seperti ini ?

Apa saat dia memutuskan untuk bersamamu, ada perjanjian kau harus menjadi seperti orang lain ? Menjadi seperti mantannya itu ? Jika iya, betapa bodohnya dirimu memilihnya untuk masuk dalam kehidupanmu.

Kau tahu seseorang yang memiliki “cinta” untukmu,
Dia tak pernah memandang, siapa dirimu ?
Bagaimana kepribadianmu ?
Apa warna kulitmu ?
Cantikkah kamu ?

Tetapi saat dia ditanya tentangmu dia akan menjawab dengan mulut dan hatinya
“Bagaimana pun dia, aku mencintainya apa adanya, bukan karena alasan.”

Dan aku bilang kalau masih ada diluar sana yang lebih baik darinya. “Move on sayang.”
Yakinilah bahwa yang terindah pasti tidak akan pudar.

Kalian sadar betapa mudahnya kata “Move on” ku ucapkan.

Tetapi bagaimana jika sekarang posisinya berbalik,
Sekarang teman-temanku kuliah selalu mendorongku untuk “move on”
Aku baru sadar jika “move on” itu sama saja dengan kata “ikhlas” yang mudah sekali diucapkan tapi sulit untuk direalisasikan.

Berkali-kali ku mencoba untuk bisa menerima seseorang yang baru hadir dalam hidupku tetapi disaat itu juga ku mengingatnya. Mengingat seseorang yang telah mengaduk-aduk perasaan ku menjadi tak berbentuk.

Aku bodoh
Ya, aku mengakuinya.

Bodoh karena aku tak bisa melupakannya.
Bodoh karena aku masih menjaga ukiran namanya dalam hati ini.
Bodoh karena aku masih tetap mencintainya.

Aku tak pernah bisa untuk membencinya, tak pernah bisa untuk tak memperhatikannya.
Bahkan aku ingin dia menjadi yang terakhir dalam hidupku.

Tahukah kalian aku merasa tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku harus melepaskannya,
Melepaskan dia yang telah menyakitiku tanpa ampun.
Membiarkan dia bahagia dengan kehidupannya sekarang yang lebih baik jika tanpa aku.
Membiarkannya mendapatkan seseorang yang sesuai kemauan bundanya.

Aku selalu sadar disini,
Dia tak pernah memikirkan aku
Bagaimana aku berusaha kuat untuk melupakannya, seseorang yang sedang aku cintai dengan sangat.
Bagaimana aku mengatur hatiku kembali untuk tak memperdulikannya

Kalian Tahu Aku SADAR.
Tapi apa yang ku perbuat, aku tetap diam disini tak bergerak sedikit pun.
Tak berpindah sedikitpun, untuk beranjak dari mimpi semu yang sulit menjadi nyata.

Aku ingin berteriak

“HEY,,  Kapan kau berhenti menangisi dirimu sendiri. Mereka telah lari, tapi lihat dirimu masih menatapi tembok yang tak pernah berbalik arah lagi untuk memandangimu.”

Biarlah waktu yang akan menjawab apakah aku bisa beranjak, bisa “move on” ke hati yang terbaik.

Satu pelajaran yang bisa ku ambil dari kata-kata ini.
Aku tak akan pernah bisa menyemangati orang lain sebelum orang itu berniat untuk menyemangati dirinya sendiri.
Dan mereka tak akan bisa membuatku bersemangat jika aku tak mau menyemangati diriku.
Aku tidak akan pernah “move on” sebelum diriku sadar dan menginginkannya.

Kamis, 22 Maret 2012

“Kita Berbeda”

Oleh Ria Adiana

Aisyah seorang gadis cantik dan menawan dalam balutan kerudungnya yang menenangkan. Dia seorang gadis yang beranjak dewasa dan sedang melanjutkan studinya di sebuah Universitas Islam di Jakarta Jurusan Pendidikan Agama Islam. Putri pertama KH Ahmad Hendrawan seorang pemuka agama yang sangat disegani banyak orang karena ilmunya. Aisyah tumbuh di keluarga yang penuh kasih sayang dan didikan agama Islam yang kuat dari Abi dan Umminya.

Semasa kecil Aisyah sangat baik dan ramah kepada teman-temannya baik laki-laki maupun perempuan dan di masa itulah ia mengenal seorang anak laki-laki kecil berambut agak ikal bernama Cristian Adi Nugroho. Dia selalu bertanya kepada Aisyah tentang sesuatu yang tidak ia ketahui.
Pada suatu sore Cristian mengajak Aisyah untuk bermain bersama anak-anak lainnya di taman.
“Ais ais kita main ke taman yuk.” Ajak Cristian polos.
“Tian, jangan panggil Ais dong. Aisyah ya panggilnya.” Pinta Aisyah lugu sambil beranjak menuju taman.
“Loh emangnya kenapa Ais ? Itu kan panggilan dari aku, lebih singkat lagi.” Jawab Tian seadanya.
“Aisyah itu diambil dari nama istri Rasulullah yang sholehah, Abi yang memberikannya padaku. Aku senang sekali kalau kamu memanggilku Aisyah seperti teman-teman yang lain.” Jawab Aisyah dengan senyum manisnya.
“Siapa itu Rasulullah ? Mengapa Abi kamu memberikan nama itu ?” Tanya Tian penasaran.

“Rasulullah adalah utusan Allah, manusia pilihan Allah yang diutus oleh-Nya untuk memberikan peringatan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Beliau adalah manusia terbaik. Abi memberikan nama itu supaya aku bisa seperti Siti Aisyah. Wanita sholeha yang dipilih Allah untuk mendampingi manusia terbaik, ‘Rasulullah’. Kata Abi, pria yang terbaik untuk wanita terbaik juga. Gitu Tian.” Jawab Aisyah bersemangat.

“Wah arti nama yang bagus. Yaudah kalo gitu aku manggil kamu Aisyah deh.” Kata Tian.
“Makasih ya Tian.” Balas Aisyah.
“Sama-sama Aisyah.” Tian tersenyum.

******

Masa SMA

Pertemanan Aisyah dan Cristian pun berlanjut hingga dewasa. Mereka berteman sewajarnya. Semasa sekolah mereka selalu berada pada kelas yang sama. Semua murid tahu bahwa Aisyah gadis yang pandai dan aktif dalam berorganisasi. Dia menjadi wakil sekertaris OSIS di SMA nya dan menjadi ketua Rohis. Aisyah tidak membataskan diri dalam bergaul, karena baginya selama masih dalam lingkaran yang diperbolehkan agama maka itu tidak menjadi masalah. Bergaul dengan laki-laki pun sebatas kepentingan organisasi dan teman belajar di sekolahnya. Selama ini semua siswa-siswi di SMA nya pun tahu bahwa ia tidak tertarik untuk pacaran bisa dibilang Aisyah tidak pernah pacaran. Meskipun banyak lelaki pintar, tampan dan bintangnya sekolah menyukainya. Tapi dia selalu menjawab “Jodoh tidak akan kemana kok. Maaf ya, Aisyah pikir pacaran tidak ada manfaatnya sama sekali.  Akan lebih baik memanfaatkan masa muda kita di jalan Allah. Toh, kalau Allah berkehendak kita berjodoh, semuanya pasti terjadi kok.” Itulah yang selalu ia jawab tentunya dengan senyumannya yang meyakinkan. Ia tak pernah memberikan statement suka atau tidak suka. Karena baginya cinta bisa diupayakan dan upaya itu akan ia lakukan kepada seseorang yang Allah pilihkan untuknya.

Sementara Cristian tumbuh menjadi lelaki yang tampan. Meskipun dia tidak unggul dalam pelajaran tetapi ia sangat unggul dalam olahraga. Cristian menjadi kapten basket dan futsal di sekolah. Bahkan ia dan timnya telah beberapa kali memenangkan pertandingan tingkat nasional. Jadi tak ada satupun warga sekolah yang tak mengenal sosoknya. Tian juga banyak disukai gadis-gadis dan kebanyakan mereka cantik-cantik. Sehingga tak heran bila sekarang Tian memiliki mantan pacar yang jumlahnya belasan . Kalau mendengar "belasan mantan pacar" sepertinya pikiran kita langsung menganggapnya adalah seorang playboy. Kali ini pikiran kita salah justru Cristian lebih sering diputusin daripada mutusin, tetapi dari semuanya itu dia selalu menjadi korban penembakan, artinya Tian tidak pernah nembak cewek selalu dia yang ditembak cewek. Heemm. . . . .

Fitri, pacarnya yang ke 17 hari ini resmi menyatakan putus kepada Cristian. Entah sebenarnya apa alasan Fitri. Yang jelas berita itu sudah menyebar ke seluruh pelosok sekolah dan selang beberapa jam saja Fitri langsung menggandeng seorang siswa yang sekelas dengannya. Mungkin semua kaum hawa iba melihat Tian tetapi semua itu ditanggapi biasa olehnya.

“Kris kok lo mau aja sih diputusin cewek berkali-kali ?” Tanya Putra (teman sekelasnya) bingung.
“Santai, bro. Emangnya ada yang salah kalo diputusin ?” Jawabnya santai.
“Harga diri cuy. Masa cowok diputusin cewek sih.” Singgung Daniel, temannya yang lain.
“Harga diri ? Emangnya kalo diputusin, harga diri kita sebagai cowok jatoh gitu ?” Tanyanya sambil tertawa.
“Yaiyalah. Cowok itu ditakdirin sebagai pemimpin, jadi yang berhak mutusin tuh cowok.” Jawab Daniel.

“Dengerin gue, dengerin gue. Pemikiran lo semua tuh salah. Setiap orang berhak kali mengambil keputusan yang terbaik buat dirinya, termasuk pilihan diputusin atau mutusin. Cowok emang ditakdirin menjadi pemimpin, tapi tentunya dalam hal yang positif lah. Bukan masalah kecil kayak gini. Lagian gue emang nunggu moment ini kok.” Tegas Cristian.

“Hah ? lo nunggu moment ini ? Lo gila ya Kris ?” Kata Putra kaget.
“Udah males sebenernya gue tuh. Tapi kasian kalo diputusin. Nah, kebetulan banget ada yang suka sama dia dan dianya juga respon. So, dia untung gue untung dong. Gak saling nyakitin.” Jawab Cristian santai.
“Ah Speak aja lo, Bro. Sebenerna mah nyeri  eta teh.” Kata Udin temennya Cristian yang berasal dari Cianjur.

Cristian dan teman-temannya yang lain sontak tertawa mendengar perkataan si Udin. Udin sebenarnya cukup tampan untuk ukuran laki-laki. Tetapi nama dan gaya ngomongnya yang unik itu membuat dia sering ditertawakan teman-temannya.

“Din, din, depannya doang lo so English tapi belakangnya sunda pisan euy.” Ledek Putra.
Suasana masih dalam canda dan tawa tetapi sejurus kemudian.
“Eh tapi tunggu deh. Kayaknya yang diomongin Udin ada benernya juga tuh. Jangan-jangan luarnya doang yang gak sakit tapi dalemnya itu loh, broo.” Ledek Daniel ke Cristian.
“Sial lo ngeledek gue. Sekarang gue tanya, lo pernah ngeliat gue nangis gara-gara diputusin cewek kayak si itu gak ?” Kata Cristian melirik Hendri.

Teman-temannya Cristian langsung tertawa melihat ke arah Hendri sementara Hendri sejurus kemudian baru tersadar dia telah diomongin teman-temannya.

“Rese lo Kris bawa-bawa gue.” Ucap Hendri.
“Lagian, makanya kalo pacaran jangan pake hati.” Kata Tian so bijak.
“Emangnya  lo pacaran gak pernah pake hati Kris ?” Tanya Daniel.
“Nggak pernah lah, makanya gue biasa-biasa aja.” Jawab Tian mantap.
“Masa sih lo gak pernah suka sama cewek, Bro ?” Tanya Putra.
“Ya pernah lah. Lebih dari rasa suka, malah bisa dibilang dia satu-satunya cewek yang bisa buat gue jatuh cinta. Tapi dia susah didapetinnya ,cuy.” Jawab Tian so melankolis.
“Sesusah apa sih buat lo ? Secara bintang lapangan kita, masa naklukin cewek aja gak bisa. Cemen.” Ledek Hendri.

“Susah banget. Naklukin dia itu lebih susah daripada ngerjain soal matematika 100 soal essay, lebih susah daripada ngerti omongannya Pak Juned tentang sejarah Indonesia, lebih susah daripada mencetak three point saat pertandingan, dan lebih susah daripada masukin bola ke gawang lawan yang pemain backnya jago.” Jawab Tian so puitis.

Mereka yang ada di sana tertawa mendengar puitisnya sang bintang lapangan. Karena Tian tidak pernah berbicara dengan kata-kata sepuitis itu.

******

Di kelas

“Hey Aisyah.” Sapa Cristian kepada Aisyah yang sedang menulis hasil diskusi pelajaran Biologi
“Hey Tian.” Balas Aisyah sambil terus mengerjakan tugas.
Hari ini Tian begitu lelah, terlihat sekali dalam raut wajahnya. Tetapi Aisyah melihatnya seperti sedang sedih.
“Kenapa tian ? Sedih ya diputusin Fitri ?” Tanya Aisyah hati-hati.
“Waduh cepet banget nyebarnya ya tuh berita.” Kata Tian kaget mendengar perkataan Aisyah.
“Aku gak sedih kok, ini Cuma lagi capek aja latihan basket mulu buat lomba.” Jawab Tian sekenanya.
“Oh begitu. Kirain kamu ngerasa sedih gara-gara putus.” Kata Aisyah.

Tian hanya tersenyum pasalnya ia selalu bercerita kepada Aisyah jika ia tidak pernah sedih saat diputusin seorang cewek. Aisyah juga heran tapi ya mungkin Cristian memang begitu orangnya. Itulah yang ada dibenak Aisyah padahal Cristian tidak pernah menggunakan hati saat menjalani hubungan bersama orang lain karena baginya tidak ada orang yang lebih baik yang bisa menggantikan sosok perempuan dihatinya.

“Tiaaaan.” Teriak salah satu teman Tian mengajak main futsal.
“Jangan panggil gue Tian.” Tegur Tian kepada temannya itu.
“Oh ya sori Kris. Mau gak tanding sore ini ?” Tanya sang teman.
“Oke, Bro. Siap gue.” Jawab Tian mantap.
“Sip. Jangan telat ya.” Pesan sang teman.
“Iya.” Jawab Tian singkat
Temannya yang mengajak tanding pun berlalu.
“Kenapa sih gak mau dipanggil Tian ? Padahal aku selalu panggil Tian ?” Tanya Aisyah penasaran.
“Kamu mah gak papa Aisyah, kan dari kecil udah panggil itu.” Jawab Tian.

Mungkin kedengarannya aneh sekali Cristian tidak mau dipanggil Tian oleh teman-temannya sementara Aisyah selalu manggil Tian dan tidak pernah dimarahi olehnya.

“Oh ya Aisyah, denger-denger ada yang ditembak lagi ya?” Sindir Tian.
“Kalo ditembak mati dong.” Jawab Aisyah asal
Cristian tersenyum
“Ya lebih tepatnya ada yang nyatain cinta kan ke Aisyah. Juara Olimpiade Fisika lagi. Keren kan.” Kata Tian asal
Aisyah hanya tersenyum mendengar kata-kata asal yang keluar dari mulutnya Tian.
“Kenapa gak diterima Aisyah ?” Tanya Tian menyelidiki.

Pasalnya Dua hari yang lalu Dimnino Saputra, juara pertama olimpiade Fisika Internasional menyatakan perasaannya kepada Aisyah. Dia laki-laki yang baik, sholeh, pintar dan tampan pula. Cristian pikir dia adalah sosok lelaki yang selama ini Aisyah cari. Akan tetapi jawabannya tetap sama seperti jawaban kepada cowok-cowok sebelumnya. Hal ini membuat Cristian penasaran.

Aisyah hanya tersenyum dan berkata, “Sepertinya pertanyaan itu udah Tian sampaikan lebih dari tiga kali deh.”
“Hehe, iya gitu ? Lupa.” Ucap Tian singkat karena malu.

******

Seberapa sering pun Cristian menanyakan itu, Aisyah tidak pernah menjawab. Itu membuat Tian semakin penasaran dan memutuskan untuk bertanya kepada temannya yang dianggap mengerti.

“Bim, gue boleh nanya ?” Tanya Tian kepada Bimo
“Nanya apa Kris ?” Jawab Bimo serius.
“Di Islam gak boleh pacaran ya ?” Tanya Tian penasaran.
“Kenapa lo tumben-tumbenan nanya kayak gitu ?” Jawab Bimo asal
“Ya pengen tau aja. Jelasin dong ke gue.” Pinta Tian penasaran

“Oh oke kalo gitu. Jadi gini di dalam Al Qur’an QS Al-Isra’ ayat 32 Allah berfirman : ”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” Kata Bimo membacakan arti dari suatu ayat dalam Al-Quran.

“Tapi gak ada kata pacarannya, Bim.” Kata Tian heran.
“Emang gak ada kata pacarannya, tapi pacaran itu salah satu hal yang bisa mendekati zina. Lo bisa lihat sendiri gimana anak muda zaman sekarang pacaran, dari hal yang paling kecil yaitu tatap-tatapan sampai hal terburuk, ya lo tau sendiri kan gak perlu gue jelasin detailnya.”

Cristian mengangguk.

“Semua itu dilarang di Islam Kris. Banyak kerugian yang akan kita dapetin kalau ngelanggar itu. Kalo gak di dunia ya di akhirat sana.” Tambah Bimo.
“Tapi gimana nanti kita menikah sementara pacaran gak dibolehin. Bukannya pacaran adalah masa penjajakan dua insan buat saling mengenal ya ?” Tanya Tian melanjutkan.
“Nah ini penafsiran yang salah. Islam punya cara tersendiri untuk mengenalkan dua orang insan kok Kris.” Jawab Bimo.
“Gimana caranya tuh ?” Tanya Tian makin penasaran.

“Seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap untuk menikah, mereka akan bilang kepada orang tuanya atau orang yang ia percayai yang bisa mencarikan seseorang yang tepat. Kemudian jika sudah ada pilihan maka mereka akan bertukar biodata, setelah terjadi kesepakatan maka kedua belah pihak dipertemukan. Dalam pertemuan tersebut terjadilah pembicaran dan perkenalan antar kedua belah pihak termasuk keluarga, jika kedua belah pihak merasa cocok maka pernikahan pun ditetapkan.” Jelas Bimo.

“Bisa sesimple itu. Apa mereka bisa saling mencintai dalam waktu yang sedemikian singkat ? Lalu apa mereka yakin orang yang akan menikah dengannya adalah jodohnya ?” Cristian makin tak mengerti.

“Disini takdir Allah yang menentukan. Nggak selamanya pertemuan itu menghasilkan keputusan untuk menikah kadang juga tidak terjadi pernikahan. Sementara soal cinta, cinta itu bisa diupayakan Kris selama kita berusaha dan berserah diri kepada-Nya. Insya Allah cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya.” Jelas Bimo penuh makna.

“Tapi apa masih ada orang seperti itu di zaman ini?” lanjut Tian.

“Masih ada kok, yaitu mereka yang mencintai Allah lebih dari apapun dan percaya bahwa yang terbaik adalah jalan-Nya, maka mereka berserah diri kepada-Nya mengenai apapun termasuk jodoh. Sebab pria yang baik adalah untuk wanita yang baik, begitu pula sebaliknya.” Jelas Bimo

“Gue ngerti Bim. Thanks ya udah jelasin.” Kata Tian berterima kasih.
*Aisyah pernah bilang seperti itu juga, Bim. Pria yang baik untuk wanita yang baik, dan sebaliknya. (Kata Tian dalam hati.)

******

Saat Kelulusan SMA

Siswa-siswi kelas tiga SMA telah menempuh Ujian Nasional dan hari ini mereka dinyatakan lulus semuanya. Semua siswa-siswi mengurus kepentingannya masing-masing. Ada yang akan melanjutkan kuliah, kerja dan ada pula yang memutuskan untuk menikah muda. Begitu pun Aisyah dan Cristian mereka sangat sibuk menguruskan berkas-berkas untuk mendaftar ulang di Universitas pilihannya. Aisyah ternyata telah diterima menjadi mahasiswi Fakultas Pendidikan Agama Islam di sebuah Universitas Islam di wilayah Jakarta Selatan, sementara Cristian telah menjadi mahasiswa di Universitas Kristen di wilayah Jakarta Timur.

Setelah lulus dari SMA dan melanjutkan studi di Universitas, mereka menjadi jarang bertemu. Meskipun rumah mereka bersebelahan akan tetapi sekarang mereka punya hidup masing-masing yang harus mereka jalani.

******

Empat tahun kemudian

Aisyah sudah tumbuh dewasa. Sekarang ia sudah semester terakhir dan tinggal menunggu sidang dan jika lulus, ia pun akan di wisuda.

“Aisyah skripsinya udah selesai ndo ? Terus wisudanya kapan ?” Tanya Abinya.
“Belum Abi. Kira-kira empat bulanan lagi Abi, masih lama kok.” Jawab Aisyah.
“Ndo, sudah bolehkah Abi mencarikan calon suami untukmu?”

Aisyah langsung tertegun mendengar perkataan Abinya. Sepertinya mulai sekarang dia harus bisa meningkatkan lagi rasa ikhlasnya.

“Apa tidak terlalu cepat Abi? Aisyah kan belum bekerja dan membahagiakan Abi dan Ummi?” Jawab Aisyah.

“Kamu kan bisa bekerja setelah menikah nanti, Ndo. Lagian Abi dan Ummi sudah tak mau apa-apa lagi. Abi dan Ummi ingin melihat kamu menikah. Iyakan Ummi?” Jelas Abinya.
“Iya Ndo, yang Abimu katakan benar.” Kata Umminya mengangguk.

Aisyah menghirup nafas yang panjang mencoba menenangkan hatinya. Ia tak menyangka semua akan terjadi secepat ini.
 *Bismillahirrahmaanirrahiim (Sebutnya dalam hati.)

“Abi atur aja ya. Aisyah menurut saja. Abi pasti tahu seseorang yang terbaik untuk Aisyah. Semoga Allah memberikan petunjuk.” Kata Aisyah dengan santunnya.
“Aamiin.” Kata Abi dan Umminya serentak.

******
Keesokan Hari

“Huh kenapa sih kakak disuruh cepet-cepet nikah.” Keluh Farhan, 10 tahun, adik semata wayang Aisyah sambil menyusuri jalan menuju rumahnya setelah pulang sekolah. Tiba-tiba ia menendang batu kecil yang berada ditengah jalan. Adik Aisyah memang agak berbeda dengannya, dia agak nakal mungkin karena dia adalah seorang laki-laki akan tetapi ia sangat menyayangi kakaknya.

“Aw.” Teriak seorang cowok yang berada di teras depan rumahnya.
“Waduh, kena siapa tuh ?” Kata Farhan langsung melihat wajah si korban.
“Siapa sih yang nendang-nendang batu?” Kata sang korban berjalan keluar.
“Loh kak Kris toh. Maaf ya kak, aku gak sengaja.” Kata Farhan meminta maaf kepada Cristian.
“Aduh Farhan lain kali jangan sembarangan nendang batu ya.” Kata Tian.
“Iya kak maaf, aku lagi kesel.” Ucap Farhan sekali lagi.
“Loh kesal kenapa emang? Sini masuk dulu yuk sekalian cerita, siapa tahu bisa ilang keselnya.” Kata Tian memberi solusi.

Akhirnya Farhan masuk ke dalam rumah Tian dan menceritakan kekesalannya.

“Kamu kesal kenapa emang de?” Tanya Tian.
“Itu kak, Abi mau kak Aisyah cepet nikah selesai wisuda.” Curhat Farhan dengan wajah cemberutnya.
Ekspresi wajah Tian langsung berubah, dia kaget mendengar itu semua. Dadanya terasa sesak sekali untuk bernafas. Akan tetapi ya itulah kenyataan yang harus ia hadapi.
“Kak Kris, Kak, kok bengong ?” Kata Farhan memotong lamunan Cristian.
“Eh, iya maaf de. Terus kak Aisyah jawab apa?” Tanya Tian penasaran.
“Kak Aisyah tuh penurut banget kak. Dia bilang supaya Abi mengaturnya.” Jawab Farhan.
“Memangnya kapan kira-kira kak Aisyah akan menikah? Calonnya udah ada de?” Tanya Tian makin penasaran.
“Kira-kira 4 bulan kak setelah kak Aisyah wisuda. Belum ada kak, Abi sedang mencarinya.” Jawab Farhan.
“Terus kenapa kamu kesel de?” Tanya Tian.
“Nanti kak Aisyah bakal pergi dibawa suaminya dan aku gak diperhatiin lagi sama kak Aisyah, kak.” Jawab Farhan masih kesal.

Sontak Tian langsung tertawa mendengar perkataan dari Farhan.

“Kamu lucu de. Kak Aisyah orangnya gak begitu Farhan, walaupun dia udah menikah pasti dia masih memperhatikan kamu.” Kata Tian menenangkan.
“Beneran kak ?” Tanya Farhan tak percaya.
“Serius. Percaya sama kakak.” Jawab Tian mantap.

Farhan lebih tenang mendengar hal itu. Dia sadar kalau kakaknya tak seperti yang dia fikirkan belakangan ini.

“Kak Kris kok kurusan ya ? ” Tanya Farhan melihat perubahan pada fisik Tian
“Iya nih kurusan. Pusing banget mikirin kuliah. Haha” Kata Tian tenang.
“Oh begitu. Kirain sakit kak ?” Kata Farhan
“Nggak kok. Kakak sehat-sehat aja.” Jawab Tian meyakinkan.
“Kalau gitu makasih ya kak udah ngeyakinin Farhan. Farhan balik dulu ya?” Kata  Farhan berpamitan kepada Tian.
“Sip, sama-sama de.” Balas Tian.

******

Keesokan harinya

“Pagi  Lang.” Sapa Tian ke pemilik sebuah cafe kecil tempatnya mengisi waktu luang jika jam kuliah belum dimulai. Cafe itu sangat minimalis akan tetapi popularitasnya dikalangan mahasiswa kampus Tian sudah tak lagi dipertanyakan. Tempat yang strategis dekat kampus, menu makanan minuman yang lezat dan harga yang sesuai sekali dengan kantong-kantong mahasiswa. Dan yang paling unik Cafe itu menempel simbol yang artinya dilarang pacaran di dalam cafe dan juga dilarang merokok. Cocok sekali ya buat para jomblo. hehehe

“Pagi Kris.” Jawab Gilang, sang pemilik cafe dengan senyuman.
“Ngapain lo pagi-pagi udah ngelamun.” Tanya Tian
“Bukan ngelamun tapi lagi mikirin sesuatu Kris.” Jawab Gilang
“Mikirin apaan emangnya?” Tanya Cristian.
“Gimana gue bisa temuin seorang kyai untuk mengisi ceramah di acara maulid nabi di masjid deket rumah gue.” Kata Gilang.
“Kan bokap lo kyai Lang, kenapa gak beliau aja ?” Tanya Tian

“Abi gue udah biasa ceramah di masjid. Nah sebagai sesepuh Abi gue pinginnya kedatangan kyai dari luar supaya masyarakatnya ada ilmu baru lagi dan suasana baru. Intinya biar masyarakatnya gak bosen Kris. Abi gue diminta tolong untuk mencarikan kyai tersebut.” Jawab Gilang mejelaskan.
 “Lah kan bokap lo kyai pasti banyak kenalannya dong.” Kata Tian.
“Iya sih bener. Tapi gak tau kenapa semua kenalan Abi gue pada gak bisa, jadinya gue dimintain tolong Abi buat nyariin kyai itu.” Jawab Gilang.
* Apa ini kesempatan ya? (Kata Tian dalam hati)
“Samping rumah gue ada kyai. Lo coba kesana aja. Ya, cuman gue sih gak tau ceramahnya enak atau nggak.” Kata Tian memberi solusi.
“Serius. Bisa minta alamatnya ?” Tanya Gilang
“Udah lo tenang aja. Kapan mau kesana ? Nanti lo berangkat bareng gue ke rumah Kyai itu.” Jawab Tian memberi kemudahan.
“Thanks Kris mau bantuin gue cari solusi. Nanti gue kabarin lagi kapan gue ke sana sama Abi gue.” Ucap Gilang.
“Iya sama-sama, Lang.”

******

Siang hari dalam hari yang sama

Hari ini teriknya matahari tak menghalangi Aisyah untuk menyusuri jalan menuju rumahnya selesai ia kuliah. Dari jalan besar meuju rumahnya tak begitu jauh hingga ia memutuskan untuk berjalan kaki. Dari kejauhan Aisyah melihat Cristian keluar dari rumahnya bersama Abi yang mengantarnya sampai ke pagar rumahnya.

“Ngapain ya Tian ke rumah ?” Tanya Aisyah kepada dirinya sendiri.
* Jangan-jangan. (Sebuah pemikiran yang mustahil baginya merasuki hatinya.)
“Ah gak mungkin.” Jawab Aisyah atas pemikiran tersebut.

Sesampainya di rumah

“Assalamualaikum.” Aisyah mengucap salam.
“Waalaikumsam.” Jawab Abinya yang masih duduk di teras depan rumah sambil membaca buku tentang fiqih.
Aisyah masuk dan mencium tangan sang Ayah.
“Abi, tadi Aisyah lihat Tian dateng kesini. mau apa ya ?” Tanya Aisyah.
“Ada urusan sesuatu Ndo.” Jawab Abinya tidak menjelaskan secara detail perihal kedatangan Tian.

******

Suatu pagi di hari yang cerah

“Assalamualaikum.” Kata Gilang dan abinya mengucapkan salam di depan rumah Aisyah yang juga ditemani oleh Tian.
“Waalaikumsalam.” Jawab Abinya Aisyah
“Kyai, ini teman saya dan Abinya, Kyai Hasan yang saya bilang kemarin ingin bertemu Pak Kyai.” Kata Tian kepada KH. Ahmad Hendrawan, Abinya Aisyah.
“Oh iya, silahkan masuk.” Kata Abinya Aisyah.
“Saya permisi pulang dulu, Pak Kyai.” Ucap Tian
“Loh Nak Kris tidak ikut masuk ?” Tanya Abinya Aisyah
“Maaf Pak Kyai, ada keperluan yang harus saya kerjakan.” Jawab Tian
“Oh ya sudah. Hati-hati Nak.” Kata Abinya Aisyah.
“Iya Pak Kyai. Saya permisi dulu.” Kata Tian mengakhiri pembicaraan
“Abi, Gilang pamit anterin Kris keluar ya.” Kata Gilang.
“Iya Le.” Jawab Abinya Gilang singkat.
“Makasih ya Kris udah bantuin gue.” Kata Gilang smbil berjalan mengantarkan Tian sampai gerbang rumah Aisyah.
“Selow aja Lang. Gue seneng bisa bantu.” Jawab Tian
“Ya udah lo hati-hati ya Kris. Sekali lagi thanks ya.” Pesan Gilang kepada Tian.
“Sip.” Jawab Tian yang kemudian berlalu ke gerbang rumahnya.

Setelah itu Gilang masuk ke rumah Aisyah dan memulai percakapan bersama Abinya Aisyah dan Abinya. Setelah bercakap-cakap beberapa menit, terjadilah kesepakatan antar Kyai ahmad dan kyai hasan mengenai peringatan hari besar islam yang akan berlangsung dilingkungan tempat tinggal kyai hasan.

“Nak Gilang sekarang sibuk apa?” Tanya Kyai Ahmad kepada Gilang
“Sedang menjalankan bisnis rumah makan kecil-kecilan saja Pak Kyai.” Jawab Gilang
“Hmm, kuliahnya bagaimana Nak ?” Tanya sang kyai melanjutkan
“Alhamdulillah sedang melanjutkan S2 disalah satu Universitas Islam di Jakarta Pak Kyai.”

Percakapan pun berlangsung terus bahkan diluar konteks kerja. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang Kyai Ahmad lontarkan kepada Gilang. Setelah selesai bercakap-cakap akhirnya Gilang dan Abinya kembali ke rumahnya.

******

Tiga bulan kemudian setelah kedatangan Kyai Hasan dan Gilang. Abinya Aisyah terlihat membicarakan sesuatu kepada Aisyah.
“Ndo, bisa Abi dan Ummi bicara sebentar?” Kata Abinya denagn halus.
“Iya Abi ada apa?” Jawab Aisyah yang sebenarnya sudah mengerti apa yang ingin Abinya katakan kepadanya.

“Melanjutkan pembicaraan tempo hari, Abi sudah menemukan calon yang Abi rasa pantas untukmu Ndo. Abi sudah melihat kesehariannya dan perilakunya setiap hari. Dia pria yang sopan, sholeh dan pekerja keras. Dia bisa memposisikan dirinya saat berhadapan dengan segala kalangan.” Kata Abinya menjelaskan.
Aisyah menghela napasnya perlahan sepertinya ia akan melewati saat-saat terberat dalam hidupnya.

“Apa kira-kira dia tidak berpura-pura Abi?” Tanya Aisyah
“Tidak Ndo. Abi melihatnya dari jauh. Dia tidak mengetahui bahwa Abi memantaunya.” Jawab Abinya.
“Ini foto dan biodatanya, keputusan ada di kamu Ndo. Minta petunjuk sama Allah ya Ndo.” Kata Abinya sambil menyodorkan Amplop berisi Foto dan Biodata sang calon pendamping hidupnya.
“Iya Abi, Aisyah akan meminta petunjuk sama Allah. Aisyah kembali ke kamar ya Abi.” Kata Aisyah tersenyum sambil berlalu ke kamarnya.

Gadis itu pintar sekali menyembunyikan perasaannya. Bahkan tak ada satu pun orang yang tahu bahwa ia menyimpan suatu perasaan untuk seseorang kecuali Allah, Dialah Yang Maha Mengetahui yang tersembunyi. Aisyah merasa hanya Allah-lah yang bisa membuatnya lebih tenang jika gejolak perasaan itu muncul. Gadis itu begitu tegar, yang dia percaya bahwa Allah akan selalu memberikan jalan terbaik untuk hidupnya. Semua yang terjadi bukan tanpa alasan, semuanya pasti telah tertulis disana.

Aisyah menitikkan airmatanya, Dia menangis karena saat ini ia tak bisa mengatur hatinya yang terpengaruhi setan. Dia merasa perasaannya harus disampaikan kepada orang itu, tetapi sekali lagi dia istighfar bahwa cintanya kepada Sang Khaliq lebih besar daripada apapun. Aisyah mengerti bahwa mereka tak akan bisa bersama. Hatinya selalu berbisik “Kita berbeda” Ya selama ini dari dahulu Aisyah telah menyembunyikan perasaannya kepada Cristian Adi Nugroho,seorang Nasrani. Saat kecil ia tak pernah merasa berbeda dengan Tian, anak kecil seumurannya yang sama lugunya dengan Aisyah. Tetapi waktu berjalan, Aisyah melihat tembok yang dahulunya tak terlhat, kini tembok itu terbentang tinggi dan kokoh, lebih kokoh dari tembok apapun di dunia, yang berdiri tegak sampai hari ini. Tembok itu mengurungkan sebuah kisah yang tak pernah dimulai dan juga tak ada akhirnya.

Aisyah memutuskan untuk tidur, ia ingin bangun pagi supaya bisa melakukan sholat tahajud. Tepat jam dua pagi, ia terbangun dan melakukan sholat tahajud. Ia begitu khusyuk dan terlihat sangat tenang sambil memunajatkan do’a. Do’a yang mungkin semua wanita inginkan. Aisyah meminta jodoh yang terbaik, yang sholeh dan bisa mengayomi dia di jalan Allah, yang bisa saling mencintai karena Allah, dan bisa mengikhlaskannya pergi saat ia akan menghadap Allah.

Setelah merasa tenang kemudian perlahan ia membuka amplop berisi foto dan biodata seseorang yang dicarikan Abinya.
Pertama Aisyah melihat biodatanya disana tertulis
Nama    : Muhammad Gilang Ramadhan
TTL       : Solo, 8 November 1987
“Berbeda tiga tahun dengan ku.” Ucapnya dengan pelan.
Tiba-tiba ia membaca namanya sekali lagi dalam hati seolah mengingat-ingat sesuatu.
* Muhammad Gilang Ramadhan

Lalu Aisyah perlahan-lahan melihat fotonya, hatinya berdegup sangat kencang.
Aisyah melihat seorang laki-laki tampan dengan wajah yang begitu menenangkan. Raut wajah yang tak menampakkan kegelisahan. Pria itu mengenakan kemeja coklat yang dua hari lalu ia melihatnya.
“Kak Gilang.” Lirih Aisyah

Gilang ternyata adalah kakak senior Aisyah yang sedang menempuh program S2. Dia sangat aktif dalam kegiatan keagamaan di kampus. Sering ia menjadi pembicara saat kegiatan mentoring. Dia memang pria yang sholeh dan penyabar, semua yang dikatakan Abinya adalah benar. Banyak sekali kaum hawa yang mengaguminya bahkan mengejarnya untuk bisa menjadikan ia suami mereka tetapi Aisyah dengan mudah menjadi calon pendampingnya. Apa ini memang jalan yang Allah takdirkan?

Setelah mengetahui calon pendampingnya, Aisyah setiap hari sholat istikharah memohon petunjuk Allah supaya bisa mengambil keputusan dengan tepat.

******

Seminggu kemudian

Keluarga KH. Ahmad hendrawan telah berkumpul di ruang keluarga
“Abi, Aisyah ingin berbicara tentang calon yang Abi pilihkan untuk Aisyah.” Kata Aisyah, sepertinya ia sudah mantap untuk memberikan keputusan.
“Sudah ada keputusannya, Ndo?” Tanya Abinya.
“Sudah Abi.” Jawab Aisyah.
“Jadi bagaimana, Ndo ?” Tanya Abinya melanjutkan.
“Aisyah. . . . . . . .Aisyah Insya Allah bersedia untuk dipertemukan dengannya Abi.” Jawab Aisyah.
“Alhamdulillahirrobil’alamiiin.” Kata Abi dan Umminya serentak.
“Semoga ini awal jalan yang baik dari Allah ya Ndo.” Kata Umminya bahagia.
“Kakak yakin gak terpaksa ?” Celetuk Farhan polos.
“Nda kok Farhan sayang, Kakak udah mutusinnya.” Jawab Aisyah sambil mngelus rambut adiknya itu.
“Abi juga baru dapat kabar tadi ba’da Maghrib kalau Nak gilang juga setuju untuk dipertemukan dengan kamu, Ndo.” Kata Abinya menginformasikan.
“Alhamdulillah Abi.” Kata Aisyah tersenyum.

Aisyah berusaha terus tetap tersenyum, melihat Abi dan Umminya bahagia adalah hal yang paling membahagiakan untuknya. Setiap wanita pasti berfikir akan menikah dengan seseorang yang dicintainya akan tetapi tidak semua yang kita harapkan bisa untuk kita dapatkan. Sebatang pohon butuh proses yang lama dan menguras keringat untuk bisa menjadikannya patung yang bernilai seni yang tinggi. Begitu juga cinta, Aisyah yakin bahwa cinta butuh proses supaya bisa menjadikannya sempurna tentunya bila diupayakan dengan ikhlas.

“Kak, malam ini tidur di kamar Farhan ya?” Pinta Farhan
“Iya sayang malam ini kakak tidur di kamar kamu.” Jawab Aisyah menyenangkan hati adik semata wayangnya itu.
“Adikmu jangan terlalu dimanjakan, Ndo” Kata umminya menasehati.
“Nggak apa-apa Ummi, kan nggak sering-sering.” Jawab Aisyah tersenyum.
“Ayoo kaaakk.” Ajak Farhan menarik tangan Aisyah.
Aisyah pun menuruti rengekan adiknya itu.

******

Diruang tamu keluarga KH Ahmad Hendrawan

Tiga hari setelah Aisyah menyetujuinya, maka diadakanlah pertemuan dua keluarga. Di saat itulah mereka berdua bisa saling berbicara dan menanyakan hal sebagai penguat hatinya untuk menerima pribadi yang akan menemani selama hidup berumah tangga. Gilang menanyakan 3 pertanyaan kepada Aisyah.

“Apa yang Aisyah mengerti tentang pesan Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail dalam memilih istri.”

“Nabi Ibrahim berpesan kepada putranya Ismail agar mengganti Ambang pintu, yang artinya menyuruh Ismail agar menceraikan istrinya, dikarenakan istrinya tersebut selalu mengeluh, bahkan tidak menghormati Nabi Ismail dengan menceritakan keburukan dan kekurangannya tanpa tersisa, saat Nabi Ibrahim berkunjung. Seorang istri harus selalu menghormati suami, dosa besar bila menceritakan keburukan atau kekurangan suami kepada orang lain, kecuali bila ia mendapat perlakuan kasar dari suami maka dibolehkan menceritakan kepada orang yang terpercaya untuk meminta perlindungan.” Jawab Aisyah.

Gilang terlihat tenang mendengarkan jawaban Aisyah.
“Lalu Apa pandangan kamu tentang seorang suami.”

“Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Dia adalah tiang dalam rumah. Jika tiang itu rapuh maka robohlah rumah tersebut, tetapi jika ia kokoh dalam balutan agama maka rumah akan terus berdiri kekar. Dia harus mempunyai sikap yang bijaksana dan menjadi panutan bagi istri dan anak-anaknya.” Jawab Aisyah

Gilang masih terlihat tenang mendengarkan jawaban dari Aisyah.

“Satu pertanyaan lagi. Lebih baik mencintai atau dicintai?” Tanya Gilang
Aisyah sempat diam. Dia berpikir keras untuk menjawabnya. Tetapi kemudian dengan tenang ia menjawab pertanyaan Gilang.

“Yang lebih baik adalah keduanya. Cinta akan sempurna bila kedua belah pihak bisa saling mencintai dan merasakan keindahan hidup bersama tanpa harus ada yang terpaksa dan tersakiti diantara keduanya.” Jawab Aisyah singkat

“Saya rasa cukup jawaban dari Aisyah kyai.” Kata Gilang kepada Kyai Ahmad

Kemudian Aisyah memberikan satu pertanyaan kepada Gilang.

“Apa menurutmu tiga hadiah terindah dari suami kepada istri?” Tanya Aisyah
Aisyah memberikan hanya satu pertanyaan karena ia sudah tahu kepribadian Gilang seperti apa. Ia percaya bahwa gilang adalah pribadi yang dicarinya. Dia hanya ingin jawaban dari pertanyaannya ini untuk meyakinkan hatinya.

“Tiga hadiah terindah dari suami kepada istri adalah cinta, kesetiaan dan tanggung jawab. Semua istri pasti menginginkan cinta dari suaminya, cinta yang tak pernah pudar walaupun kulit telah berubah menjadi keriput. Lalu kesetiaan, Kesetiaan adalah penyempurna cinta agar cinta itu bisa bertahan dalam menjalani biduk pernikahan hingga seterusnya sampai akhirat nanti cinta itu akan terus bersemi, dan yang ketiga adalah tanggung jawab, pria yang bertanggung jawab dalam perkataannya dan merealisasikan dalam perbuatan adalah pria yang diharapkan oleh seorang istri.” Jawabnya mantap.

Kedua belah pihak sudah diizinkan untuk bisa saling bertanya satu sama lain. Dan sudah waktunya mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan atau tidak pertemuan ini untuk jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan.

“Bagaimana Le apakah setuju menjadikan Aisyah sebagai istrimu?” Tanya kyai hasan kepada anaknya.
“Insya Allah saya setuju Abi.” Jawab Gilang mantap.

“Kamu bagaimana Ndo?” Tanya sang Ummi.

Aisyah diam dan membuat orang tuanya agak panik tetapi beberapa saat kemudian ia menarik nafasnya sedalam mungkin dan mengucapkan basmalah dalam hatinya.
 *bismillahirrahmaanirrahiim.

“Insya Allah Aisyah juga bersedia Ummi.” Jawab Aisyah.
“Alhamdulillah.” Jawab kedua keluarga serentak.
Tanggal pernikahan pun ditetapkan. Seminggu setelah Aisyah Wisuda, pernikahan dilangsungkan. Berbagai persiapan pun dilakukan mulai dari undangan sampai baju pengantin sudah dipesankan.

******

Seminggu menjelang pernikahan

Undangan pernikahan mereka akan disebar ke kerabat dan para sahabat dekat kedua belah pihak dan hari ini pun Aisyah akan memberikan undangan kepada sahabatnya yang tinggal di Jakarta Pusat. Dia pun meminta izin kepada sang bunda untuk pergi.

“Ummi Aisyah mau mengantarkan undangan ke Fitri ya.” Kata Aisyah
“Loh, sama siapa Ndo?” Tanya Umminya khawatir.
“Sendiri  Ummi.” Jawab Aisyah
“Nanti saja dianterin Abi, Ndo.” Kata Umminya
“Aisyah saja Ummi, kalau nunggu Abi pasti kemalaman. Mumpung Aisyah tidak ada kerjaan apa-apa Ummi.” Kata Aisyah mantap
“Ya sudah tapi hati-hati ya Ndo. Seminggu lagi kan kamu akan menikah.” Pesan Umminya.
“Iya Ummi. Aisyah berangkat dulu ya. Assalamualaikum.” Pamit Aisyah
“Waalaikumsalam.” Jawab Umminya.

Aisyah menuju rumah Fitri sahabatnya dari kecil, Fitri telah menikah dua tahun lalu dan mempunyai seorang anak perempuan yang saat ini sudah bisa berjalan. Sesampainya di pertigaan jalan menuju rumah Fitri, Aisyah melihat Fitri, suami dan anaknya sedang selesai makan bakso di pertigaan jalan itu. Aisyah turun dari angkot dan hendak menyebrang. Fitri yang menyadari Aisyah sahabatnya hendak menghampirinya langsung refleks berteriak, “Aisyaaaaaaaaahhhh.” Tak tersadar bahwa genggaman anak perempuannya terlepas, anaknya itu jalan menuju jalan besar, melihat kejadian itu Aisyah pun langsung menyelamatkan anak tersebut dari mobil kijang yang melaju cukup kencang. Aisyah berhasil menyelamatkannya akan tetapi sayang kepalanya terbentur spion mobil saat memeluk sang anak tadi. Jarak Aisyah ke mobil terlalu dekat sehingga kejadian itu pun tak dapat dihindari.

Aisyah langsung dilarikan ke Ruang IGD Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang tak jauh dari tempat kejadian. Orang tuanya langsung menuju rumah sakit, disana hanya ada keluarga Fitri. Sementara Gilang dan keluarga sedang berada di Solo untuk menghadiri pemakaman neneknya. Gilang sudah diberi tahu akan kejadian ini lalu segera berangkat ke Jakarta untuk menemui Aisyah.

Beberapa jam kemudian Dokter keluar ruangan Bedah, kulit kepala Aisyah ada yang robek sehingga harus dijait. Orang tuanya langsung menghampiri sang dokter menanyakan keadaan putrinya.
“Gimana keadaan putri saya, Dok?” Tanya Umminya.
“Keadaannya sudah membaik, sekarang putri Bapak belum sadarkan diri. Bapak tunggu saja, jika ada apa-apa bisa panggil saya.” Jawab sang Dokter yang kemudian berlalu bersama suster.

Orang tuanya dan fitri langsung menjenguk Aisyah di kamar. Mereka begitu sedih melihat keadaan Aisyah yang tergolek lemah dengan perban di kepalanya. Beberapa menit kemudian Aisyah tersadar.
Aisyah perlahan-lahan membuka matanya. Tetapi semuanya gelap. Tak ada cahaya apapun yang dapat membantunya melihat orang-orang yang sekarang berada mengelilinginya.

“Ummiiiiii, kok gelap. Ummi dimana? Kenapa Aisyah tidak bisa melihat Ummi dan Abi.” Lirih Aisyah panik memegang tangan Umminya yang mendekatinya.
“Ummi disini sayang. Abi cepat tanyakan Dokter Aisyah kenapa?” Pinta Umminya panik.
Dokter segera datang memeriksa mata Aisyah.
“Bagaimana Dok, anak saya tidak apa-apa kan?” Tanya Abinya yang mencoba menenangkan diri.
“Dengan sangat menyesal saya harus memberitahukan bahwa sepertinya benturan keras yang mengenai kepala putri bapak telah berdampak pada saraf optikus, yaitu saraf penglihatannya. Putri bapak mengalami kebutaan.” Jawab sang Dokter.
“Dokter, dokter bohong kan. Anak saya masih bisa lihat kan dok.” Tanya Abinya yang kaget mendengar kenyataan yang Dokter katakan.
“Lebih baik Bapak sekarang ke ruangan saya.” Jawab Dokter.

Aisyah hanya bisa menangis. Dia tak percaya semua ini menimpanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang, sungguh ia sangat terpukul hingga ia tidak mau makan. Sekarang rencana tinggallah rencana. Pernikahan yang sudah di depan mata sepertinya harus kandas. Mana ada pria yang mau dengan wanita buta sepertinya sekarang? Pikirnya dalam hati. Umminya pun sedih melihat keadaan anaknya tetapi sang Ummi mencoba menguatkan hatinya dan selalu menasehati Aisyah agar tetap beristighfar kepada Allah. Jangan sampai anaknya itu menjadi putus asa dengan keadaannya sekarang.

******

Keesokan harinya

Keluarga Gilang datang dari Solo. Abinya Aisyah telah menunggunya di luar. Takut, takut kalau Gilang berubah pikiran dan berbicara di depan Aisyah. Itu hanya akan menambah derita dihatinya. Sebisa mungkin Abinya tidak mau melihat anaknya semakin menderita. Gilang dan orang tuanya kaget melihat keadaan Aisyah. Gilang langsung masuk ke dalam ruangan melihat keadaan calon istrinya tersebut. Didalam ada Aisyah, Ummi dan Farhan.

“Aisyah.” Lirih Gilang
Aisyah terkejut mendengar suaranya. Dia hanya bisa menunduk.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Gilang.
“Alhamdulillah Aisyah masih diberikan kehidupan sama Allah, Mas.” Jawab Aisyah, airmatanya sudah berlinang di pelupuk matanya. Dia sekuat tenaga menahan agar airmata itu tak jatuh. Dia tak mau terlihat lemah di depan Gilang.
“Alhamdulillah kalau begitu. Cepat sembuh ya, agar kita bisa melangsungkan pernikahan kita enam hari lagi.” Kata Gilang mantap.

Semua yang berada diruangan itu tercengang, Aisyah dan orang tuanya tercengang mendengarkan perkataan Gilang barusan. Sementara orang tua Gilang tidak kaget mendengarkan anaknya berbicara seperti itu. Teringat apa yang dikatakan Gilang saat hendak menuju ke rumah sakit.
“Abi, Ummi, apapun keadaan Aisyah nanti. Gilang akan tetap menikahinya. Tolong jangan halangi Gilang ya Abi, Ummi.” Kata Gilang mantap
“Semua keputusan Abi dan Ummi serahkan kepadamu Le.” Jawab Abinya bijak.
“Mas serius? Aisyah tidak bisa melihat, bagaimana Aisyah bisa memenuhi kebutuhan Mas. Mas bisa mendapatkan yang lebih baik.” Lirihnya menitikkan airmata.
“Mas sudah mendapatkan yang terbaik, untuk apa mencari lagi.” Jawabnya.

Jawaban Gilang seolah menegarkan Aisyah. Gilang benar-benar pria yang baik, hatinya sungguh mulia. Dia bisa menerima kekurangan Aisyah yang terlihat jelas olehnya tetapi itu tak mengoyak keteguhan hatinya untuk meminang Aisyah.

“Farhan, kamu lagi melihat apa ?” Tanya Umminya tiba-tiba kepada sang anak yang sedang melihat-lihat sesuatu.
“Itu Ummi, kayaknya diluar ada seseorang yang melihat terus ke ruangan ini Ummi.” Jawab Farhan sambil menunjuk ke arah luar.
Setelah dicek oleh Abinya ternyata tak ada siapa-siapa di luar.
“Kamu salah liat kali Nak.” Kata Abinya.
“Nggak kok Abi. Tadi jelas banget, orangnya laki-laki Abi.” Jawab Farhan meyakinkan.
Tetapi kenyataannya tak ada siapa-siapa diluar, beberapa saat kemudian Dokter memanggil Kyai Ahmad keruangannya.

Setelah menemui Dokter, wajah Kyai Ahmad tampak gembira.
“Kenapa Bi? Dokter bilang apa?” Tanya Istrinya.
“Abi punya berita baik. Alhamdulillah ada seseorang yang bersedia mendonorkan retina matanya untuk Aisyah.” Kata Abinya Aisyah terharu setelah mendengarkan perkataan sang dokter.
“Apa ? Abi serius ?” Tanya Umminya.
“Serius Ummi. Allah memang sangat sayang kepada kita.” Jawab Abi
“Alhamdulillah.” jawab semua orang yang ada di ruangan itu serentak.
“Siapa yang bersedia mendonorkan retina matanya untuk Aisyah Abi?” Tanya Aisyah
“Dia merahasiakan identitasnya Ndo.” Jawab Abinya.
“Tapi bagaimana dia bisa melihat nanti Abi?” Tanya Aisyah, dia malah khawatir kepada sang pendonor.
“Kamu jangan khawatir, Semuanya akan baik-baik saja.” Jawab Abinya meyakinkan. Sepertinya ada sesuatu hal yang disembunyikan oleh Abinya sementara Aisyah tak menyadari itu.
* Ya Allah siapakah orang yang berhati mulia itu? Siapapun dia, semoga pahala terlimpah curahkan kepadanya Ya Rabb. (Doa Aisyah dalam hatinya)

******

Operasi pun dilakukan. Setelah beberapa jam berlangsung. Operasi tersebut berjalan lancar. Aisyah pun bisa kembali melihat orang-orang yang menyayanginya, melihat indahnya dunia yang Allah ciptakan. Dia mendapatkan pelajaran yang berharga dalam hidupnya atas kejadian ini. Dia bisa merasakan betapa menderitanya orang-orang yang tak bisa melihat keindahan dunia yang Allah ciptakan. * Dunia gelap yang selalu mereka jalani, tapi lihat, mereka masih bisa bersyukur kenapa terkadang aku masih mengeluh. Mengeluh jalan hidup yang kadang tak kuharapkan, tetapi sungguh tak ada yang paling menyayangiku kecuali Allah. Dia sudah memberikanku keluarga yang sangat berharga dan jalan hidup yang penuh misteri.

Aisyah sangat bahagia, tetapi tersirat dalam hatinya rasa penasaran yang kuat tentang identitas sang pendonor. Dia takut, bagaimana bisa ia bisa melihat dan bahagia sementara orang yang mendonorkan itu menderita tak bisa melihat.

Setelah dua hari, Suster mengatakan bahwa Aisyah sudah diizinkan pulang oleh Dokter. Semuanya sangat bersyukur karena Aisyah mempunyai waktu untuk mempersiapkan pernikahannya.

******

Malam Hari

“Kak, farhan boleh masuk gak?” Tanya Farhan dibalik pintu.
“Masuk aja sayang.” Jawab Aisyah.
“Ada apa de?” Tanya Aisyah kepada Farhan
“Kakak ini ada titipan surat dari ka Kris.” Kata Tian sambil menyodorkan surat dengan amplop berwarna coklat muda.

Aisyah kaget melihat surat yang diberikan oleh adiknya itu. Perlahan ia meraih surat yang berada dalam genggaman tangan adiknya.
“Gimana surat ini bisa ada di kamu dek?” Tanya Aisyah penasaran
“Aku bertemu dengannya di rumah sakit tempat kakak di rawat.” Jawab adiknya.
Sekarang hati Aisyah benar-benar ingin segera membuka surat yang diberikan oleh Cristian Adi Nugroho.
“Ya udah makasih ya dek. Ini udah malam lebih baik kamu sekarang tidur ya.” Pesan Aisyah kepada adiknya.
“Iya kak.” Jawab Farhan menurut.
Aisyah memperhatikan surat itu dengan wajah yang layu. Ia bingung untuk membukanya atau tidak. Tetapi ia penasaran dan ingin mengetahui apa yang ingin Tian sampaikan kepadanya. Perlahan tapi pasti ia mulai membuka amplop itu dan mengambil sebuah kertas didalamnya. Hatinya berdetak sangat hebat, entah mengapa ia benar-benar takut untuk membaca surat yang ditujukan untuknya.

Aisyah Putri Hendrawan

Selembar kertas tak berharga ini, hadir bukan untuk menggoyahkanmu
Selembar kertas ini hanya untaian kata yang tak mampu terucapkan

Aisyah,,,  
Aku selalu bertanya
Mengapa kita berbeda ?
Yang aku tahu hanya ada dua macam manusia di dunia
baik atau jahat
Lalu bagaimanakah dengan kita ?
 
Sejak kau memintaku untuk memanggilmu Aisyah
Mungkin sejak itulah ku mulai mencintaimu 

Karena aku pun tak tahu pasti kapan rasa itu muncul
Yang ku tahu semakin hari rasa itu semakin menjalar ke seluruh tubuhku

Kau selalu bertanya mengapa hanya kau yang boleh memanggilku Tian
Karena hanya itulah hal spesial yang bisa ku miliki darimu
Kau selalu bertanya mengapa ku tak pernah bersedih saat putus cinta
Karena tak ada yang bisa menggantikan posisimu dihatiku
 
Seandainya ku punya kekuatan dan keberanian untuk menghapus perbedaan itu
Maka akan kulakukan
Namun semua tidak mungkin
Kita tetap berbeda
 
Cinta bukanlah hal sekedar aku mencintaimu
Tapi cintakah kamu kepadaku?
Cinta bukanlah hal sekedar kita saling mencintai
Tapi mengertikah mereka akan cinta ini ?
 
Setiap hari aku merasa menjadi pecundang
Aku hidup, aku punya cinta
tapi tak ada sedikitpun nyaliku untuk membuktikannya
Aku hanya diam tak bergerak sedikitpun
Tak ada yang bisa kulakukan Aisyah
Untuk bicara aku mencintaimu pun aku tak mampu
 
Aisyah,,,
Waktuku tlah habis
Aku mungkin akan hilang tapi tidak dengan cintaku
Terlalu sakit bila ku tetap hidup
Semakin hari, tubuhku tak kuat untuk menahan sakitnya
Aku ingin kau mendengarkan aku
Sekali saja dalam hidupku
Tetapi itu tetap tak terjadi
 
Saat kau membaca surat ini
Mungkin aku sudah tidak ada lagi dihidupmu bahkan di dunia ini
Aku pergi Aisyah
Tiada yang perlu aku khawatirkan
Gilang, pria yang terbaik yang pantas mendampingimu
Jangan ragukan dirimu untuk berusaha mencintainya
Sungguh tak ada penyesalan yang akan kau terima bila bersamanya
Pria yang baik untuk wanita yang baik pula begitupun sebaliknya
Lihatlah, Tuhan menjawab semuanya.
 
Aku bahagia, sangat bahagia
Setidaknya aku bisa menjadi bagian dari dirimu yang hilang
Aku memang telah tiada tapi aku dan cintaku tetap hidup dalam dirimu
Sekarang aku mengerti
Selalu ada celah untuk cinta itu tetap hidup sekecil apapun celah itu
Ia akan tetap hidup.
 
Cristian Adi Nugroho

Dalam dan menyesakkan. Aisyah tak dapat menahan airmatanya untuk keluar. Seorang yang dia cintai selama ini ternyata juga mencintainya. Perbedaan keyakinan antara mereka memang tak dapat diselesaikan. Aisyah masih memegang kertas itu dalam dekapannya yang hangat. Sedikit penyesalan mungkin hinggap dalam hatinya. Penyesalan karena Tian tak pernah tahu bahwa ia juga mencintainya. Tetapi ia sadar, ia akan lebih sangat menyesal bila menyia-nyiakan pria sebaik Gilang. Inilah misteri Allah. Tiada yang tahu tentang hidup kita, hari ini besok dan seterusnya, hanya Allah-lah Yang Maha Tahu. Aisyah masih mendekap surat itu, airmatanya masih berlinang membasahi pipinya yang lembut. Aisyah hanya meminta waktu untuk mengenangnya sejenak.
Aisyah berjalan menyusuri gemerlapnya lampu ibukota yang masih ramai kendaraan. Aisyah menuju Rumah sakit untuk mencari kebenaran apa yang sebenarnya telah terjadi, yang ada dalam benaknya saat ini adalah Tian.
Setelah di rumah sakit, terjadilah percakapan dengan Dokter yang merawatnya selama berada di rumah sakit. Entah apa yang sedang dibicarakannya dengan sang Dokter. Percakapan itu cukup lama hingga pintu ruangan kemudian terbuka, Aisyah terlihat sekali habis menangis dengan wajahnya yang sayu.
"Terima Kasih Dokter telah membantu saya." Ucap Aisyah

Itulah kata-kata yang terdengar setelah percakapan panjang yang terjadi berakhir.

******
Pagi Harinya

Suasana rumah Aisyah sudah ramai akan kedatangan saudara-saudaranya untuk menghadiri pernikahan dan membantu acara resepsi pernikahan Aisyah dan Gilang. Terlihat pagi ini Aisyah sudah rapi dengan baju dan kerudung biru tuanya. Ia meminta izin kepada Umminya untuk pergi keluar.

"Ummi, Aisyah mau keluar dulu ya." Kata Aisyah meminta izin
"Mau kemana Ndo ?" Tanya sang Ummi
"Ada keperluan yang harus Aisyah selesaikan Ummi." Jawab Aisyah
"Apa ada masalah Ndo?" Tanya Umminya khawatir
"Tidak ada apa-apa Ummi." Jawab Aisyah meyakinkan
"Tapi memangnya kamu sudah baikan?" Tanya Umminya sekali lagi untuk meyakinkan
"Sudah kok Ummi. Aisyah pergi dulu ya." Jawab Aisyah
"Iya hati-hati Ndo." Pesan Umminya
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."

Aisyah tiba di sebuah pemakaman umum. Dia melewati kuburan-kuburan, dia berjalan cukup jauh dari tempatnya masuk ke pemakaman. Lalu Aisyah berhenti di sebuah kuburan tepat berada di kompleks pemakaman umat Nasrani, dikuburan itu tertulis Cristian Adi Nugroho. Ternyata Aisyah pergi ke makam Tian. Aisyah ke sana untuk mengucapkan kata-kata terakhir untuknya, mengucapkan kata-kata yang tersimpan lama dihatinya.

Kenyataan yang harus ia hadapi bahwa Tian-lah yang telah mendonorkan matanya untuk Aisyah. Ia meninggal beberapa saat setelah operasi dilangsungkan. Tian menderita penyakit gagal ginjal. Setiap hari ia harus cuci darah. Dokter menyarankan agar melakukan pendonoran ginjal akan tetapi tak satu pun keluarganya yang memiliki ginjal yang hampir menyamainya.

“Tian, terima kasih untuk mata yang kau berikan untukku gunakan. Entah kau mendengarnya atau tidak. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untukku bisa melihat kembali. Akan kujaga mata dan diri ini sekuat tenagaku. Terima kasih untuk ketulusan hatimu.” Lirih Aisyah. Airmatanya mengisi seluruh ruang di pelupuk matanya.

“Terima kasih untuk cinta yang kau berikan untukku. Cinta yang terhalang oleh perbedaan yang tiada berujung. Yang ku tahu, cintamu tidak biasa. Cintamu tak menimbulkan keegoisan tetapi keikhlasan yang tidak setiap orang memilikinya.” Lanjut Aisyah
“Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku pun memiliki rasa yang sama. Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi tak ada kekuatan untukku bisa melawan. Aku hanyalah wanita biasa.”

“Cinta, aku tak mengerti tentangnya. Aku menyadari kehadirannya saat mengenalmu tetapi biarlah aku hanya mengenangmu sebagai hadiah yang indah dalam perjalanan hidupku ini. Aku akan menikah Tian. Aku memang tak mengenal dia sedekat ku mengenalmu, namun aku telah berjanji pada hatiku untuk mencintainya. Terima kasih untuk segalanya, Cristian Adi Nugroho.” Lirih Aisyah

Aisyah pergi meninggalkan pusara Tian yang masih basah. Tian mungkin telah tiada tetapi cintanya tetap hidup dalam diri Aisyah.
Gilang tak mengetahui apapun tentang kisah ini. Aisyah menyimpannya dalam lubuk hatinya yang terdalam yang tiada satu pun orang yang dapat membuka pintu rahasia itu termasuk Gilang. Biarlah itu hanya menjadi untaian kisah yang membuatnya menjadi semakin bersyukur.

Inilah perjalanan hidup. Aisyah telah memantapkan hatinya untuk terus melangsungkan pernikahan yang abadi bersama Gilang. Seseorang yang telah berhasil memasukkan kunci ke dalam pintu hatinya, yang hanya beberapa putaran kunci saja, pintu itu akan terbuka. Dan seseorang yang telah Allah tuliskan namanya untuk menjadi jodohnya dalam hidup.

Selesai

Sedikit kalimat dariku yaaa ^^

Tuhan memang satu
Tetapi iman kita berbeda.
Perbedaan lain mungkin bisa dipahami : usia, suku, status sosial, karakter pribadi, bahkan harta
Tetapi ketahuilah perbedaan seperti itu tak dapat dimaklumkan
Punyakah kamu keberanian untuk melawan-Nya?

“Dan tak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia (Allah)” Al Ikhlas:4

Ketahuilah apa yang kau sesalkan hari ini belum tentu selamanya terlihat buruk untukmu
Jalan Allah adalah yang terbaik. Tidak ada satu pun hal terjadi di hidup tanpa alasan.
Biarlah itu akan menjadikan kamu manusia yang lebih berakal dan memiliki kesabaran yang tak terbatas.

Tentang cinta
Percaya atau tidak, kemanapun arahmu melangkah
Cinta yang memang tercipta dan tertulis untukmu kelak akan datang tanpa diminta
Akan terus bersemi meski sekuat apapun kau menolaknya

Cinta,
Aku selalu berusaha menyadarkan diri
Bahwa yang terindah tak akan pudar
Bahwa yang terbaik tak akan terganti
Bahwa yang abadi tak akan hilang
Dan bahwa yang memang ditakdirkan untukku tak akan pergi


Minggu, 12 Februari 2012

Welcome true love :)

oleh : Ria Adiana

Bus Trans Jakarta melaju cepat menerobos lampu merah dan kemacetan yang terjadi. Udara dalam dan luar bus yang dingin karena hujan terus membasahi bumi jakarta sore ini tak surut memberhentikan orang-orang yang lalu lalang untuk pulang ke rumah. Sore ini memang jam-jamnya pulang kantor, jadi tak heran jika kemacetan muncul di berbagai pusat jalan. Bus mendekati Halte Busway Pondok Labu yang tepat berada di dalam terminal, di sini banyak orang yang turun dan melewati koridor bus yang ramai tersebut.

BUUUKKKKK
“Aw.” teriak Chika, seorang gadis berambut panjang yang dikuncir kuda, berwajah bulat, berkulit putih dan berpenampilan sangat simple, tidak menunjukkan kefeminiman sedikitpun, sedikit lusuh karena mungkin efek dari aktivitasnya seharian.
 “Sori sori mba.” jawab seorang pria yang terlihat terburu-buru itu.
“Hati-hati dong mas kalau jalan.” jawab Chika kesal.

Belum sempat Chika menoleh ke arahnya untuk melihat wajah sang pria, dia sudah berlalu dan menghilang melewati kerumunan orang dan keramaian di terminal.
 “Huh dasar.” gumamnya.

Beberapa detik kemudian

“Loh heh, itu bukannya dompet orang itu ya.” Dengan sigap Chika langsung berlari mengejar pria tersebut.
“Mas..mas...dompetnya jatuh.” teriaknya melewati angkot-angkot dan bus-bus yang berderet serta penumpang-penumpang yang melihatnya terheran-heran.

Chika berlari mengejar pria itu cukup jauh akan tetapi dia tetap tidak bisa mendapatkannya.
“Yah, ga kekejar. Yaudahlah mungkin nanti juga ketemu.” Kata Chika sambil terengah-engah.

******
Chika duduk dilantai dua rumahnya, Ia menghadap keluar melihat langit dan pemandangan kota Jakarta yang sangat padat dan ramai meskipun sudah larut malam. Dia sering menghabiskan waktu setiap malam untuk sekedar melihat bintang, padahal sulit sekali untuk bisa mendapatkan bintang berkelip di langit Jakarta.

“Buka...nggak...buka...nggak...buka...nggak.” kata Chika yang sudah dari setengah jam yang lalu masih bingung untuk membuka dompet itu atau tidak. Tetapi karena saking lamanya ia menjadi kesal.
“Ah ribet banget sih, lebih baik buka ajalah ya. Mungkin dengan buka dompetnya gue bisa tahu siapa pemiliknya terus bisa gue balikin deh dompetnya” ucap Chika mantap.

Perlahan Chika membuka dompet itu, tetapi mengecewakan, di dalam dompetnya hanya ada selembar kertas yang sudah lusuh.

“Dasar orang yang aneh, kok gak ada kartu identitasnya sama sekali sih. Masa isi dompetnya cuma kertas doang ?” gerutu Chika lalu memegang kertas tersebut dan mulai membaca isi kertas itu.

Seberkas senyum
Hampiri sepi
Menutup pilu dan lara
Tabir mimpi menyeruak kembali
Singgahi hati
Hempaskan gundah

Cukup hanya satu kisah
Kau hadir dalam mimpi
Dengan senyum khas yang menggoda
Menyirami layunya bunga hatiku

Pergi saja aku
Dapatkan senyum mu setiap hari
Meleburkan angan sambut impian
Bersamamu
Telah sampai aku pada sang pujaan hati
 
“for you ‘the woman whom i haven’t finded’ - FM”

“Hemmmm, orang yang aneh. Dia bisa buat puisi sedalam ini buat orang yang belum pernah dia temuin.” Ucap Chika keheranan.
******
Seperti biasanya Kamis pagi ini, Chika ada perkuliahan pagi. Ruang kuliah Chika cukup luas dengan kursi panjang yang hanya ada satu sekat ditengahnya.

“Hai Chikaaaaaaaa.” sapa Rere, sahabat Chika dari kecil itu, sembari mencubit pipi Chika.
“Aaaaw, ih bisa gak sih loe gak cubit pipi gue mulu setiap hari ?” teriak Chika.
“Gak bisa.” Tegas Rere cengengesan.
 “Sssssssttttttttt ada dosen.” teriak salah satu mahasiswa.

Semua mahasiswa hening menunggu kedatangan sang dosen sambil membereskan tempat duduknya masing-masing.

“Selamat pagi semua.”Sapa Pak Hartono, dosen terdisiplin di kampus itu.
“Pagi Pak.” jawab mahasiswa serentak.
“Hari ini kita ada mahasiswa pindahan dari Australia. Dia akan menjadi mahasiswa di kampus ini sampai ia lulus. Bapak harap kalian bisa bekerja sama dengannya dalam belajar ya. Silahkan masuk, Nak.” Kata Pak Hartono mempersilahkan.

Mahasiswa baru itu pun memasuki ruangan, semua mata para hawa tertuju padanya dan tertegun melihatnya kecuali Chika yang menatapnya dengan pandangan biasa, tak ada raut kagum di wajah gadis itu. Ya, pria itu tampan, tinggi, berkulit putih, berhidung mancung, cool, dan memiliki tatapan yang mempesona. Tak heran bila kaum hawa di ruangan itu menatapnya kagum.

“Silahkan perkenalkan dirimu.” tegas Pak Hartono.
“Pagi semua, nama gue Fiko Marcelino. Gue pindahan dari Australi, sebenarnya gue asli Indo tapi gue kuliah di sana dan sekarang gue pindah ke kampus ini.”
“Pantesan, katanya dari luar negeri tapi mukanya muka lokal.” bisik Chika ke Rere.
“Hahahaha iya ya dari tadi juga gue merhatiin, tapi lumayan juga Chik.” celoteh Rere.
“Chika. Jangan bicara sendiri kamu.” tegur pak hartono kepada gadis itu.
“Loh pak, saya gak bicara sendiri kok, saya bicara sama Rere.” balas Chika tanpa dosa sambil menunjuk ke arah Rere.

Alhasil seluruh mahasiswa di ruangan itu tertawa mendengar jawaban dari Chika termasuk Fiko, walaupun ia hanya tersenyum tipis.

“Emangnya ada yang lucu ya ?” tanya Chika kepada Rere.
“Dasar loe Chik...Chik ada ada aja sih.” celetuk Vino gemas yang duduk di sebelah Rere.
“Sudah...sudah diam semuanya.” Teriak Pak Hartono.
“Sekarang kamu duduk di sebelahnya Chika ya, karena hanya tempat itu yang kosong.” perintahnya kepada Fiko.
“Baik pak.” Jawab Fiko sambil mengangguk.
******

Beberapa hari semenjak kedatangan Fiko di kampus, para kaum hawa seantero kampus telah mengetahui ada mahasiswa baru yang dengar-dengar katanya “tampan”. So, hampir seluruh mahasiswi di kampus itu mencoba berkenalan dengannya dan mencoba mendekatinya. Hanya saja Fiko adalah pria yang acuh tak acuh dengan kepopulerannya yang secepat kilat tersebut. Dia tak memperdulikan perhatian banyak gadis itu. 

“Chika, loe tahu gak ?” tanya Rere kepada Chika.
“Gak tahu.” potong Chika asal.
“Ih Chika gue serius.” kata Rere sebal.
“Gue juga serius gak tahu.” Jawab Chika tambah asal.
“Tadi si Sheila nembak Fiko.” Kata Rere dengan nada tinggi.
“Oh.” respon Chika datar.
“Ih kok loe nyebelin banget sih jawabnya” Rere kecewa mendengar respon Chika.
“Emangnya gue harus bilang apa ? Wow! Gitu ? Re, ngapain gue heran, lo kan tahu sendiri si Sheila emang begitu orangnya. Gak bisa lihat cowok kece dikit aja langsung tembak ?” Kata Chika menjelaskan.
“Iya sih Chik, apalagi kan Fiko emang ganteng banget pantesan aja Sheila jadi tergoda.” ucap Rere menambahkan
“Hahahaha, emang dia ganteng ya ?” ledek Chika
“Lo normal gak sih Chik ? Ya gantenglah. Tapi...ganteng belum tentu baik sih. Itu kata-kata yang lo suka bilang ke gue kan.” Lirik Rere kepada Chika yang hanya tersenyum tipis.
******

Siang itu masih dalam hari yang sama, karena cuaca cukup panas Chika memutuskan untuk melewati taman belakang kampus untuk menuju ke Halte busway yang terdekat, tetapi tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang wanita di taman itu dan ternyata Ririn, teman sejurusan dengannya sedang menangis di bawah pohon yang rindang.

“Rin, lo kenapa ?” Tanya Chika
“Gak apa apa kok Chik.” Jawab Ririn tersedu-sedu.
“Kalau gak ada apa-apa kok mata lo basah, merah, dan sembab pula.”
“Hem, tapi kalau lo gak mau cerita juga gak apa-apa. Gue duluan ya.” Ucap Chika pamit.
Belum juga Chika melangkahkan kakinya, Ririn berkata lirih, “Gue diputusin Chik.”
“Alasannya apa?” Ucap Chika tenang.
“Dia bosan sama gue. Katanya ada orang yang lebih baik dari dia buat gue. Dia udah gak sayang lagi sama gue Chik. Padahal gue sama dia baik-baik aja, gue gak pernah sedikit pun bikin dia sakit hati gara-gara gue. Gue selalu berusaha untuk menjaga perasaan dia.” Lirih Ririn terbata-bata sambil menangis.
“Usap air mata lo ! Lo gak pantes tangisin dia, paling juga besok-besok dia udah punya pacar yang baru.” Jawab Chika enteng.

Perkataan Chika malah membuat Ririn semakin menangis. Memang aneh gadis yang satu ini, bukannya menghibur tetapi dia malah semakin membuat Ririn terluka.

“Sori Rin, bukannya gue mau nyakitin perasaan lo tapi cowok tuh emang ribet tahu gak. Bilang aja kalau udah bosen dan nemuin yang baru, pake bilang ada yang terbaik buat lo, terus selama ini apa? Gue hanya pengen lihat lo kuat dan lihat kenyataan yang di depan supaya lo gak kaget. Kasih batas waktu buat lo nangis, setelah itu jangan pernah nangis lagi buat dia. Oke” Ucap Chika menasehati.
Ririn hanya terdiam untuk beberapa saat dan sepertinya ia sudah bisa mengendalikan perasaannya.
“Thanks Chik. Gue harus banyak belajar dari lo. Lo bener-bener cewek yang kuat ya.” Jawab Ririn
“Ya, sama-sama” Kata Chika tersenyum tipis.
*lo gak tau kenapa gue bisa sekuat ini Rin. (ucap Chika dalam hati)

Mereka pun berlalu pulang ke rumahnya masing-masing. Ternyata gadis itu punya cara tersendiri untuk menyemangati kawannya. Tetapi Chika dan Ririn tak menyadari sepasang bola mata yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka. Ya, ternyata Fiko berada di balik pohon besar di dekat taman tersebut dan mendengar semuanya.

“Apa dia, cewek yang lo bilang cengeng dan manja ? Apa dia, cewek yang membuat lo bosen ?  Tapi kenapa gue ngerasa dia punya sesuatu yang berharga yang gak dimiliki cewek lain.” Kata Fiko penuh arti.
******
Keesokan hari, panasnya kota Jakarta siang ini tak surutkan semangat para mahasiswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Ibu Ratna, dosen fisika memberikan tugas fisika kepada para mahasiswa secara berkelompok dua orang, dikarenakan Chika duduk bersebelahan dengan Fiko maka mereka menjadi satu kelompok untuk menyelesaikan tugas Fisika yang harus dikumpulkan besok.

Di toilet wanita kampus

“Ah Re, gue masa harus sekelompok sama si Fiko sih, males banget deh.” keluh Chika.
“Males ? loh malah bagus kan lo jadi bisa kenal sama dia lebih dalam. hahaha” ledek Rere.
“Ngeledek lagi lo. Kita tukeran kelompok ya Re, gue sama Vino aja ya. Please” Pinta Chika penuh harap.
“Sekarang kok jadi lo yang ribet si Chik. Udah sih jalanin aja. hahaha” tambah Rere.
“Iya ya kenapa jadi gue yang ribet. Ya udah lah yang penting gue dapet nilai.” Kata Chika pasrah.
“Nah gitu dong. ” Rere tertawa puas melihat sahabatnya itu.

Saat Rere dan Chika keluar dari toilet, ternyata ada Fiko yang sedang menunggu Chika di kursi panjang tak jauh dari toilet tersebut. Rere pun berlalu bersama Vino dan Chika terpaksa harus menghampiri Fiko. Fiko yang melihat kedatangan Chika, segera berdiri.

“Udah selesai ?” Tanya Fiko kepada Chika.
“Udah. Emang lo nunggu gue ?” Chika balik bertanya.
“Ya iyalah. Deadline tugas tuh besok masa gue mau ngerjain sendiri.” Jawab Fiko cuek.
“Tenang aja kali gue juga gak akan kabur kok.” Balas Chika kesal.
Mereka berjalan menuju parkiran, masih dalam suasana agak tegang.
“Kita mau ngerjain dimana ?” Tanya Fiko.
“Terserah lo aja deh.”
“Oh yaudah, kita ngerjain di Trotoar jalan mau ?” celetuk Fiko.
“Hah ? Gila lo ya.” Reflek Chika kaget.
“Loh tadi katanya terserah.” Kata Fiko.
“Ya gak gitu juga kali.” Ucap Chika.
“Makanya jangan jawab terserah. Gue benci kata terserah.”

Mereka masih dalam suasana yang menegangkan. Chika masih menggerutu dalam hatinya atas semua perkataan Fiko tersebut. Dia kesal kenapa sebuah kata aja dibuat ribet oleh Fiko. Tetapi memang tak semua hal bisa dijawab dengan kata terserah, adakalanya setiap orang butuh kepastian akan suatu hal. Tetapi orang sesantai Chika  tak pernah memaknai kata terserah dengan sedemikian ribet seperti itu.

“Nih pake helmnya” perintah Fiko.

Chika pun memakai helm tersebut, masih dengan wajah cemberutnya. Kemudian menaikki motor 2R ber-background merah yang sangat sesuai dengan penampilan seorang Fiko Marcelino.

“Pegangan ya” Kata Fiko sambil meraih tangan Chika dan menaruhnya di pinggangnya.

Tanpa sadar banyak mata para hawa melihat kedekatan Chika dan Fiko hingga membuat mereka iri tetapi mereka pun berlalu ke suatu tempat entah kemana untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sekarang entah perasaan apa yang ada di dalam hati Chika, dia hanya terdiam melihat sikap Fiko. Seolah-olah ia pernah merasakan keadaan yang sama seperti keadaan yang baru ia alami tadi.

Sampailah mereka di sebuah danau tak jauh dari penatnya hiruk pikuk kehidupan kota Jakarta yang ramai dan padat. Chika terheran-heran melihat keindahan alam yang ada di depannya saat ini. Padang rumput yang luas mengelilingi danau hijau yang jernih, bukit-bukit menjulang menambah keindahan sekitarnya. Udara pun sangat sejuk terasa dihirupnya.

“Wow, indah banget ya Ko.” Ucap Chika dengan senyumannya yang sangat lebar sambil menghirup sejuknya udara sedalam-dalamnya.
“Iya emang indah” Jawab Fiko seadanya. “Lo suka ?” Fiko meliriknya bertanya.
“Suka banget Ko. Gue kangen banget sama suasana yang seperti ini, kayaknya udah setahun gue gak pernah ngerasain kesejukan sedamai ini.” Jawab Chika bersemangat.

Chika tak menyadari dan tak memperdulikan percakapan  antara dia dan Fiko di kampus. Seolah-olah mereka tidak pernah terlibat dalam percakapan yang menegangkan tadi.

“Setahun yang lalu ? emang lo baru di Jakarta ?” Tanya Fiko menyelidiki.
“Gue emang asli Jakarta tetapi gue dan keluarga merantau ke Bandung dan baru setahun gue pindah lagi ke sini.” Jawab Chika menjelaskan.
“Kok lo bisa tahu tempat seindah ini di dekat Jakarta sih, kan lo juga orang baru di sini ?” Tanya Chika penasaran.
“Seminggu setelah pindah, gue cari-cari tempat kayak gini. Ya kalau gak ada di Jakarta minimal di sekitar Jakarta lah. Akhirnya ketemu juga kan.” Jawab Fiko tersenyum melirik ke arah Chika.

Di sana Chika tersadar bahwa Fiko memiliki senyum yang sangat manis.

“Oh ya tugas kita belum dikerjakan nih. Yuuuk ngerjain.” Ajak Fiko memecah keheningan.
Chika hanya mengangguk dan mereka mulai mengerjakan tugas Fisika di sana. Selama beberapa jam mereka mengerjakan, sesekali mereka beradu pendapat dan kadang tiba-tiba tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa ini adalah awal baik kedekatan mereka. J
*****

Keesokan harinya semua mahasiswa Jurusan Fisika yang mendapatkan tugas kelompok dari Ibu Ratna dosen Fisika kampus tersebut mengumpulkan tugas di Ruang Dosen. Tepat 08.00 Ibu Ratna memasuki ruang kuliah kemudian memeriksa satu per satu tugas yang dikerjakan para mahasiswa.

“Fiko dan Chika kalian tidak mengerjakan tugas yang saya perintahkan ?” Tanya Bu  Ratna.
“Sudah, Bu.” Jawab Chika.
“Kalian berdua maju ke depan !” Perintahnya.

Chika dan Fiko heran mendengar perkataan Bu Ratna namun tetap  menuruti perintah Bu Ratna untuk maju ke depan menghampirinya.

“Lihat ! saya kan menyuruh kalian mengerjakan soal nomer 10 sampai dengan 30. Semua mahasiswa yang lain mengerjakannya tetapi mengapa kalian mengerjakan soal nomer 1 sampai dengan 20 ? Kalian tidak mendengarkan yang saya katakan ya ?” Tanya Bu Ratna dengan nada tinggi.

Kemudian Fiko dan Chika pun melihat tugas yang dikerjakan oleh teman-teman yang lain ternyata benar mereka melakukan kesalahan. Mereka salah mengerjakan tugas yang diberikan oleh Ibu Ratna.

“Maaf Ibu, Kami mengakui kekeliruan yang kami lakukan. Kami siap mendapatkan konsekuensinya Bu.” Kata Fiko tegas.
“Iya Bu.” Tambah Chika.
“Baiklah karena kalian dengan lapang mengakui kesalahan kalian maka Saya memberikan keringanan waktu sampai siang 14.00, kumpulkan di meja saya ya.” Perintah Bu Ratna.
“Baik, Bu.” Jawab Fiko dan Chika serentak.
“Tunggu sebentar. Saya dengar kamu mempunyai suara yang bagus ya Fiko ? Bagaimana jika kamu menyanyikan sebuah lagu untuk kita semua yang ada di ruangan ini ?” Tanyanya.
“Tapi, Bu.” Elak Fiko.
“Tidak ada tapi-tapian. Saya pernah melihat sertifikat lomba menyanyi kamu di meja Pak Hartono. Kamu ingin mendapatkan nilai dari tugas yang tadi bukan ? Atau kamu mau tugas yang akan kamu kerjakan hanya sia-sia.” Ucap Bu Ratna.
* kena lo Fiko dikerjain Bu Ratna. (Kata Chika dalam hati merasa puas.)
“Tidak, Bu. Baiklah.” Jawab Fiko pasrah.

Ibu Ratna memang dosen yang sangat tegas tetapi dia adalah salah satu dosen pembimbing Paduan Suara di kampus dan sangat menyukai dunia tarik suara sehingga tak heran bila dia tidak bisa menahan diri bila ia mengetahui ada bakat menyanyi yang dimiliki oleh salah satu mahasiswanya, apalagi Fiko tidak tertarik untuk mengikuti UKM di kampusnya sehingga Beliau tidak memiliki cara lain untuk membuat Fiko menyanyi selain dalam perkuliahan.

“Berarti saya boleh duduk ya , Bu ?” Tanya Chika penuh harap.
“Siapa bilang kamu boleh duduk ? Kamu tetap di sini dan kamu jadi model yang menemani Fiko bernyanyi.” Jawab Bu Ratna.
“Cieeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.” Teriak semua mahasiswa di ruangan itu serentak.
“Gue kena lo juga harus kena.” Bisik Fiko di telinga Chika.

Chika hanya bisa menggerutu dalam hati atas semua kejadian ini.

“Baik. Mulailah sekarang Fiko !” Perintah Bu Ratna.
Suasana seketika menjadi hening menunggu suara emasnya Fiko mengalun. Semua mata tertuju pada mereka berdua.

I think of you, in everything that i do
(Chika langsung menatap Fiko seakan tak percaya. Lagu yang dinyanyikan Fiko adalah lagu kesukaannya - Christian Bautista “Since I Found You”)
To be with you whatever it takes I’ll do
Cause you my life you are all my heart desires
 Fiko memegang kedua tangan Chika dan mereka saling berhadapan. Fiko menatap kedua bola mata Chika sangat dalam. Entah karena menghayati lagu tersebut atau karena hal lain. Yang jelas Chika tak dapat mengelak perlakuan Fiko dan membalas tatapannya.
You have lightened my life forever I am alive
Since I found you my world seems so brand you
You show me the love I never knew
Your present is what my whole life trough
Since I found you my life begin so new
Now who needs a dream when there is you
For all of my dream came true
Since I found you
............................................................................
My heart forever true
In love with you.
Fiko berlutut dihadapan Chika bersamaan dengan berakhirnya lagu tersebut.

Prok Prok Prok Prok
Semua orang di ruangan tersebut serentak berdiri dan bertepuk tangan memberikan appreciation untuk Fiko yang menyanyikan lagu Cristian Bautista  dengan sangat bagus ditambah dengan ekspresi yang diluapkannya kepada Chika menambah  suasana yang begitu romantis.

“Amazing Fikooo.” Ucap Bu Ratna dengan senyumannya yang lebar.
“Terima Kasih Bu.” Jawab Fiko datar dengan senyum tipisnya.
“Ekhm...Ekhm itu tangannya gak dilepas-lepas ya. Hahahaha.” sindir Rere lantang.

Mereka tak menyadari sedari tadi tangan mereka berdua belum dilepas. Mereka pun kaget dan menjadi salah tingkah.

“cieeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.” teriak teman-teman yang lainnya. Mereka semua tertawa melihat kejadian tersebut.
******

Di lorong kampus
“Ciee, Chika sama Fiko.” Ledek Rere.
“Ih, apa sih lo Re.” Jawab Chika kesal.
“Lo suka ya Chik sama Fiko. Kelihatan banget loh tadi ekspresi lo.” Tambah Rere meledeki Chika.
“Apaan sih. Tadi gue cuma akting gak lebih. Lagian mana mungkin gue suka sama cowok belagu kayak dia.” Elak Chika.
“Masa sih ? Perasaan gue, Fiko gak belagu deh. Udah deh jangan bohong sama gue.” Ucap Rere.
“Please stop, Re ! Gue lagi males ngebahas makhluk yang namanya cowok.” Terlihat jelas suasana hati Chika menjadi buruk. Maka sebagai sahabat yang sangat mengerti perasaan Chika, Rere langsung men-stop ledekannya itu.
“Gue mau ngelanjutin tugas Fisikanya Bu Ratna, Re. Gue duluan ya.” Kata Chika berpamitan.
“Iya. Hati-hati ya Chika sayang.” Jawab Rere tersenyum.
“Iya lo juga ya. haha” Balas Chika dengan senyuman.
******

Chika dan Fiko berada di perpustakaan kampus untuk mengerjakan tugas Fisika yang harus dikumpulkan hari ini juga.

Di Perpustakaan

“Fiko, gue........” Belum sempat Chika meneruskan ucapannya Fiko langsung memotongnya.
“Gue tadi cuma akting jadi lo jangan ke-geer-an.” Kata Fiko datar.

Entah perasaan apa yang sekarang ada di dalam hati gadis manis itu. Mengapa dia merasakan sakit atas perkataan yang Fiko ucapkan ? Dia hanya bisa terdiam mendengarnya dan sebenarnya tak tahu lagi apa yang harus dia ucapkan kepada seorang Fiko Marcelino.

“Ye, siapa lagi yang geer. Gak akan ya cowok belagu kayak lo bikin gue geer.” Ucap Chika lantang.

Fiko hanya terdiam dan terus mengerjakan tugas dengan tenang, tidak mengindahkan Chika yang mulai kesal dengan dirinya.
******
Pada hari yang sama, setelah Chika mengumpulkan tugas di meja Bu Ratna, Ia pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya karena dia sudah sangat penat dengan kuliahnya hari ini. Tetapi dia di hadang oleh Sheila and the genk dengan maksud dan tujuan yang tak lain pasti tentang Fiko Marcelino.

“Lo mau apa ?” Tanya Chika santai.
“Pake nanya lagi. Lo ada hubungan apa hah sama Fiko ?” Tanya Sheila dengan nada tinggi.
“Hubungan ? Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia.” Elak Chika santai.
“Alah gak usah ngelak deh lo. Gue kemaren lihat lo sama Fiko naik motor pake pegang pinggang Fiko segala lagi. Terus tadi gue lihat lo pegang-pegangan tangan sama dia di depan ruang kuliah. Masih mau ngelak lo ?” Kata Sheila masih dengan nada tinggi.
“Terus mau lo apa ?” Kata Chika masih santai menanggapi sikap cemburuan Sheila yang sebenarnya tidak pantas karena memang Fiko bukan siapa-siapanya.
“Gue pengen lo jauhin dia. Fiko tuh milik gue, jadi gak ada cewek manapun yang boleh deket sama dia kecuali gue. Ngerti lo ?” Kata Sheila mengancam.
“Milik lo ? Emang Fiko barang ya yang bisa lo milikin ? Lagian, Gue denger-denger kan katanya lo ditolak sama dia. Bukan begitu ?” Kata Chika melawan.
“Kurang ajar lo ya.” Sheila naik darah mendengar ucapan Chika dan melayangkan tangannya ke pipi Chika.Tetapi belum sampai tangan Sheila mendarat di pipi Chika, Chika langsung menangkisnya.
“Sori gue gak ada waktu meladeni lelucon kayak gini.” Ucap Chika dingin dan langsung pergi dari kumpulan Sheila dan kawan-kawannya yang masih naik darah atas perkataan Chika tersebut.
******

Di Kamar Chika

BUUKKKKKKK

Chika membaringkan tubuhnya di kasur dengan sprei ber-background bola-bola warna-warni dengan warna dasar coklat muda. Kamar tidur yang rapi dengan buku-buku yang ditata dan letak barang-barang yang sesuai memberikan efek kamarnya menjadi luas. Tembok cat berwarna kuning soft membuat kamar itu menjadi cerah. Chika masih menaruh tas dan sepatunya di tempat yang sembarang, entah mengapa hari ini dia kelihatan begitu lelah. Banyak hal yang dia tidak mengerti terutama dengan sikap seseorang yang terkadang baik lalu menjadi sangat angkuh serta perasaannya dan dia tidak bisa mengelak bahwa sekarang ada sosok seorang Fiko Marcelino yang terkadang membuat ia mencari-cari orang seperti apa sebenarnya Fiko itu ? Karena sangat lelahnya maka dia pun terlelap.

“Sayang.” Sapa pria berkacamata, bertubuh tinggi, berkulit putih, dengan senyuman yang ditambah oleh dua lesung pipit di kedua sisi pipinya menambah sweet senyum yang ia suguhkan.
“Kakak.” Jawab Chika tersenyum, yang sedari tadi menunggu kedatangan pria tersebut di kursi panjang tepat berada di tengah taman kota yang hijau penuh dengan pepohonan yang mendukung sejuknya udara sore hari.
“Udah lama nunggunya ?” Tanya sang pria.

Chika hanya mengangguk pelan. Seakan mendapatkan kepastian atas penantiannya di taman sendiri dan sekarang ada seseorang yang sangat ia cintai di sampingnya.

“Ada sesuatu penting yang harus kakak sampaikan ke kamu.” Ucapnya.
“Sesuatu yang penting ? Apa itu kak ?” Balas Chika bersemangat.

Sang pria terdiam dan menarik nafas sangat panjang seakan menandakan ada sesuatu buruk yang akan terjadi.

“Sepertinya kita harus mengakhiri hubungan kita de. Kakak mau kita putus.” Katanya pelan.

Seperti ada kilat yang menyambar silih berganti di sampingnya membuatnya lemas. Hingga ia tidak bisa lari kemana pun. Sesak. Sesuatu menghimpitnya dan tanpa tersadar air mata telah membasahi kedua pipi Chika. Tak ada yang dapat ia sampaikan. Chika terpukul, semua seperti mimpi yang tak dapat ia mengerti. Pria itu pun kemudian bangkit dari duduknya dan meninggalkan Chika tapi ia meraih tangan sang pria dan berusaha menahannya untuk tetap tinggal.

“Jangan tinggalin aku kak.” Kata Chika mencoba untuk mempertahankannya tetap di sampingnya tetapi perlahan-lahan genggaman tangan mereka terlepas.
 “Maafin Kakak de.” Balas sang pria singkat. Sang pria pun pergi dan menghilang.
“Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkk” Teriak Chika yang langsung terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah, keringat keluar dari pori-pori kulitnya dan membasahi tubuhnya. Air matanya pun keluar. Ternyata semua itu hanya mimpi tetapi sakit dari mimpi sangat dalam hingga membuat air matanya jatuh di kenyataan.
“Kak Riza.” Lirihnya terengah-engah menyebut nama sang pria.
“Astaghfirullahaladziim.” Kata Chika sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Beberapa saat kemudian handphone Chika berdering “The Way You Look at Me” nya Cristian memecah keheningan dan mengalun menandakan ada sms yang masuk.

Jelek, main sepeda nyok. (Sms dari Vino)
Sore ini Pipin ? (Balas Chika)
Nggak, tahun depan. Ya iyalah oon sekarang :P (Ledek Vino)
Huh :@ Bilang “manis” dulu dong Pin. Hahaha (Balas Chika asal)
Iya manis. :P  (Balas Vino)
Pipin, si Rere ikut gak ? (Tanya Chika)
Dia mau ke salon katanya. Gue tunggu di taman 15 menit lagi yak (Tegas Vino)
Oh gitu. Oke Siip. (Balas Chika mengakhiri.)

Chika untuk sementara waktu bisa mengalihkan perhatiannya atas mimpi buruk yang baru saja dia alami. Vino, yang juga sahabat baik Chika dari kecil memang selalu ada untuknya. Bukan hanya disaat senang tetapi dia juga selalu hadir saat sedih.
******

Di taman perumahan

Vino dengan setelan jaket merah dan celana pendeknya, ia terlihat sangat supel tetapi tak mengurangi ketampanannya sedikit pun. Vino atau Pipin (panggilan kecil Vino dari Chika) sedang melihat-lihat jarum panjang di arlojinya, waktu sudah menunjukkan 17.15 yang artinya Chika telah terlambat lima belas menit dari waktu yang telah mereka janjikan.

Kringggg.....Kringgggg

Chika, masih dengan gaya rambut andalannya yang dikuncir kuda dengan setelan cardigan coklat tua dan muda yang bermotif garis-garis dan celana pendek selutut berwarna hitam datang dengan wajah yang cengengesan.

“Ketawa lagi. Telat 15 menit lo.” Kata Vino kesal.
“Maaf Pin. Gue tadi disuruh nyokap dulu ke warung.” Elak Chika beralasan.
“Alasan mulu lo Chik. Ya udah gue maafin tapi lo harus beliin gue es krim ya.”
“Huh harus disogok dulu lo mah Pin. Sebel gue.” Ucap Chika sebal.
“Ya udah lo mau gak ? Kalau gak mau, gue marah ni.” Jawab Vino mengancam.
“Iya oke-oke. Tapi lo harus balap gue duluuuuuu. hahahaha” Ledek Chika sambil mengayuh sepedanya meninggalkan Vino dengan sangat cepat. Vino yang tak menyangka Chika akan meninggalkannya, dengan cekatan mengayuh sepedanya mengejar Chika.

Chika dan Vino terus mengayuh sepedanya menjauhi perumahan tempat tinggalnya. Bersepeda sore-sore adalah hal yang mereka sukai sejak kecil. Chika, Vino dan Rere selalu bersama-sama dari kecil hingga mereka kuliah pun berada dalam satu Universitas. Tetapi dikarenakan mereka sudah besar dan banyak kegiatan berbeda-beda yang mereka laksanakan maka untuk bersepeda bersama setiap sore menjadi jarang mereka lakukan.

Tiba-tiba di jalan yang menurun, kecepatan sepeda Chika meningkat dan terlihat oleh Vino Chika tidak bisa mengendalikan sepedanya itu.

“Chika rem Chik.” Teriak Vino.
“Remnya blong Pin. Gimana ini ?” Teriak Chika panik.

Chika panik karena tidak bisa mengendalikan sepedanya, tepat di pertigaan jalan Chika menabrak trotoar jalan dan ia terpental ke tanah sebelah trotoar. Untunglah ia jatuh di tanah yang banyak ditumbuhi rerumputan sehingga tidak terlalu sakit. Sementara sepedanya tergeletak di jalan dan tiba-tiba ada sebuah mobil kijang biru yang melaju sangat cepat daannnnnn..........

Krekkkkkkkk

“Sepeda gue.” Teriak Chika.
“Chik lo gak apa-apa ?” Tanya Vino khawatir dan melihat keadaan Chika.
“Nggak, gue gak apa-apa kok. Tapi itu lihat sepeda gue rusak Pin.” Jawab Chika sedih.

Vino melihat-lihat sepeda Chika, yang rusak (dilindas mobil) hanyalah ban belakang sepedanya, bagian sepeda yang lain hanya tergores akibat gesekan dengan aspal.

“Masih bisa dibetulkan kok Chik. Di dekat sini ada bengkel mending kita ke sana sekarang.” Usul Vino.

Chika pun mengikuti usulan Vino. Mereka boncengan naik sepeda sambil mengangkat sepeda Chika yang rusak menuju bengkel. Tetapi saat hampir sampai, tiba-tiba rantai sepeda Vino putus dan terpaksa mereka harus berjalan menuju bengkel.

Di Bengkel
“Bang tolong benerin ya.” Pinta Vino kepada Abang tukang bengkel.

Beberapa saat kemudian azan magrib berkumandang. Untunglah bengkel tersebut tepat berada di samping masjid sehingga Chika dan Vino memutuskan untuk melaksanakan sholat terlebih dahulu. Setelah solat Vino langsung kembali ke bengkel dan menunggu Chika di sana.

“Pin lo kok. . . . .” Belum sempat Chika melanjutkan perkataanya dia kaget akan kehadiran seseorang di hadapannya.
“FIKO.” Ucap Chika pelan.
“Hai.” Sapa Fiko datar.
“Kok lo bisa di sini ?” Tanya Chika.
“Tadi gue selesai solat ketemu sama Vino.” Jawab Fiko singkat.
“Chik, kata abangnya masih lama kalau ditungguin. Mendingan lo balik sama Fiko aja ya ?” Ucap Vino menawarkan.
“Terus nanti lo sama siapa ?” Tanya Chika.
“Gue mah gampang. Lo tenang aja, nanti kalau udah selesai sepedanya gue bawa ke rumah gue dulu. Besok baru gue anter ke rumah lo sekalian berangkat ke kampus.” Jawab Vino menjelaskan.
“Tapi kan Pin, gue pergi sama lo berarti harus pulang sama lo kan ?” Chika mengelak dengan alasan yang dia buat-buat sendiri. Sebenarnya ia hanya tak ingin berlama-lama dekat dengan makhluk bernama Fiko Marcelino yang sedikit demi sedikit telah mengganggu pikirannya.
“Ya tapi kan kalau lo bareng sama gue pasti kemalaman. Udah deh jangan alasan terus, biasanya juga nggak apa-apa kan ?” Kata Vino meyakinkan.
“Ya bukannya gitu. Tapi kan . . . . . .” Belum sempat diteruskan, Vino memotong perkataan Chika.
“Udah gak ada tapi-tapian. Fiko juga mau kok nganterin lo. Iya kan Ko ?” Tanya Vino sambil melirik ke arah Fiko.

Fiko mengangguk menandakan bahwa ia menyetujuinya.

Akhirnya Chika pun mau mengikuti perkataan Vino dan mengizinkan Fiko untuk mengantarkan ia pulang ke rumahnya.

“Pin, hati-hati ya. Sms gue kalau udah di rumah, Oke.” Pesan Chika kepada Vino.
“Iya Chika.” Jawab Vino singkat.
******

Fiko pun akhirnya mengantarkan Chika pulang ke rumahnya. Di perjalanan motor Fiko berhenti di SPBU yang tak jauh dari bengkel tersebut. Setelah mengisi bahan bakar motornya, ia pun menghampiri Chika dan belum juga Chika menaiki motor Fiko, ada suara yang timbul dari perut Chika.

Kruueeekkkkk........Krueekkkkkkkkk

“Lo lapar ?” Tanya Fiko singkat.
“Hehe. Iya” Jawab Chika dengan wajah malunya yang lucu.

Seperti memahami keadaan gadis itu, Fiko pun kemudian memberhentikan motornya di sebuah Cafe seafood.

“Lo gak alergi seafood kan ?” Tanya Fiko cuek.
“Nggak kok.” Jawab Chika sesingkat mungkin, entah mengapa dia tidak ingin salah berbicara di depan Fiko dan tidak tahu harus menghadapi Fiko dengan sikap seperti apa.

Chika pun mengikuti langkah Fiko memasuki cafe tersebut, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua. Fiko mengajak Chika untuk duduk di kursi nomer 9. Kemudian waitress di cafe itu pun memberikan daftar menu kepada Fiko.

“Lo mau makan apa ?” Tanya Fiko.
“Ter.” Baru saja Chika akan mengucap kata “terserah” tetapi dia teringat perkataan Fiko tempo hari yang menyebutkan bahwa dia benci dengan kata terserah.
“Maksud gue, gue disamain aja sama lo.” Jawab Chika meralat.
“Cumi goreng mentega aja ya ?” Tanya Fiko.
“Iya.” Jawab Chika singkat sambil tersenyum. Cumi adalah makanan kesukaannya jadi tak heran bila ia senang mendengar tawaran Fiko tersebut.

Mereka menunggu menu masakan yang dipesan cukup lama tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani untuk memulai percakapan.

Beberapa menit kemudian waitress datang

“Lo tahu gak Fiko. Cumi itu makanan kesukaan gue, jadi gue senang banget pas lo nawarin ini.” Kata Chika cengar-cengir sambil memakan makanan tersebut.

Fiko hanya tersenyum mendengar ucapan Chika yang sambil makan itu. Seperti telah mengetahui apa yang disukai gadis itu sehingga bisa membuatnya begitu bahagia. Meja nomer sembilan yang tepat di daerah luar cafe yang langsung berhubungan dengan udara luar malam, serta ditambah cahaya sang bulan yang tepat menyinari wajah Chika membuat wajah gadis itu begitu lembut dan anggun. Fiko bisa melihat kecantikan wajah Chika yang tak ber-make up dan apa adanya tanpa dibuat-buat.

* Lo emang cantik. (Kata Fiko dalam hati)

Karena dia makan sambil berbicara dan terlalu bersemangat memakan cuminya. Tiba-tiba ia tersedak, batuk-batuk  dan kemudian panik. Fiko pun dengan segera memberikan air kepada Chika.

“Ini diminum.” Kata Fiko sambil menyodorkan minuman ke mulut Chika.
“Makanya kalau lagi makan jangan banyak omong. Kebiasaan lo.” Kata Fiko menasehati.

Chika yang sedang minum langsung terhenti kaget mendengar ucapan Fiko. Apa maksud dengan kata kebiasaan ? Chika memang memiliki kebiasaan bicara saat makan, tetapi darimanakah Fiko bisa mengetahuinya ? Bukankah ia baru mengenalnya sebulan ini. Siapakah Fiko sebenarnya ? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul begitu saja di otak Chika.

“Kenapa lo bisa bilang ‘kebiasaan’ ? Lo tahu darimana gue punya kebiasaan itu ?” Tanya Chika dengan tatapan yang sangat tajam kepada Fiko.

Fiko kaget mendengar pertanyaan Chika tersebut. Fiko hanya bisa memandang wajah Chika yang sedang menatapnya tajam. Dia memutar otaknya untuk memberikan alasan yang tepat tanpa harus membuat Chika mengetahui tentang dirinya.

“Maksud gue,  gue tahu banyak banget orang yang punya kebiasaan bicara saat makan dan gue yakin lo salah satunya, buktinya tadi kan ?.” Jawab Fiko tenang.

Chika masih menatap Fiko dengan tajam tetapi beberapa saat kemudian ia tersenyum.

“Oh gitu. Gue pikir lo udah kenal gue.” Ucap Chika.

Fiko tersenyum mendengar ucapan Chika. Di lubuk hatinya yang terdalam ia sungguh sangat lega mendengar ucapan Chika. Tetapi itulah Fiko, dia paling bisa menyembunyikan apa yang ada dihatinya bahkan mimik wajah dan matanya pun tak menunjukkan hal yang patut dicurigai sama sekali.

Di depan rumah Chika

“Fiko makasih ya udah nganterin pulang plus traktir gue makan.” Ucap Chika.
“Oke sama-sama.” Jawab Fiko singkat masih dengan gayanya yang cool.
“Ya udah gue masuk dulu ya.” Kata Chika berpamitan.

Saat Chika hendak menuju pintu rumahnya,

“Chika.” panggil Fiko sembari meraih tangan Chika.

Chika pun kaget dan tertegun lalu melihat tangannya yang digenggam oleh Fiko dan kemudian menatap mata Fiko yang sedang melihatnya penuh arti. Tetapi suasana itu pun tak berlangsung lama, mereka langsung tersadar dan membuat Chika tersipu.

“Sori.” kata Fiko melepaskan genggaman tangannya.
“Kenapa Ko ?” Tanya Chika mencoba sesantai mungkin untuk menutupi kegugupan yang dia rasakan sekarang.
“Itu helm gue belum lo balikin.” Jawab Fiko.

Ternyata Chika belum mengembalikan helm Fiko yang dipinjamkannya kepada Chika dan berada tepat di kepala Chika. Rasanya ini membuatnya lebih malu dibandingkan saat Fiko menggenggam tangannya untuk beberapa saat.

“Oh iya sori Ko.” Ucap Chika sambil melepaskan helm dari kepalanya kemudian berlalu dan menghilang di balik pintu.

Chika terlihat sangat malu dan menjadi salah tingkah tetapi Fiko hanya tersenyum geli melihat kejadian itu entah mengapa ia begitu senang melihat gadis itu menjadi salah tingkah.
******

Angin berdesir membelai lembut di pipi, udara sejuk menghampiri masuk dan mengisi kejernihan hati. Suara ramai kendaraan dan klakson menggema menghiasi sorak sorai kegaduhan yang memecah sepi. Musim sepertinya telah berganti, entah bersahabat atau tidak dengan kota padat ini yang pasti suasana Jakarta seperti inilah yang selalu ditunggu-tunggu oleh Chika. Gadis cantik itu sedang termenung menatap langit yang gelap bercahayakan lampu gedung-gedung yang tinggi menjadikan langit seolah sangat sempit, dia ditemani dengan boneka piglet yang super big, boneka pemberian seseorang yang pernah ia cintai dengan sangat. Boneka itu adalah sebagian dari sisa puing-puing kenangan yang masih ia simpan meski sang pelaku cinta telah pergi untuk waktu yang tak ia ketahui dan cinta sepertinya telah lambat laun sirna ditelan api perubahan.
Sudah beberapa malam ini, Chika tak pernah absent berada di teras atas rumahnya. Apa yang dipikirkan oleh gadis itu ?

“Pigy, aku masih nggak percaya sama makhluk yang namanya cowok. Pokoknya gak ada yang boleh nyakitin perasaan aku lagi termasuk si monster Fiko.” Curhat Chika pada bonekanya itu.
“Lho, kok jadi nyambung ke Fiko lagi sih ? Nggak, Gue gak boleh mikirin dia, gue gak suka dia dan gak akan suka sama dia.” Tegas Chika ke dirinya sendiri.
******
Disisi kehidupan yang lainnya.

Tok Tok Tok

Terdengar suara ketukan pintu di salah satu kamar kosan khusus laki-laki yang cukup luas dengan halaman yang tepat berada di depan kamar tersebut.

“Siapa ya ?” Tanya sang penghuni kosan, Fiko.

Tak ada jawaban apapun dibalik pintu, tetapi suara ketukan tetap terdengar misterius. Akhirnya Fiko pun beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu dan mengetahui siapa gerangan yang telah mengganggu pagi harinya.

“Hai Sel.” Sapa sang pria tampan berkacamata dengan senyum di wajahnya.

Fiko kaget melihat sosok lelaki tampan yang berada dihadapannya sekarang, ia pun tak dapat mengontrol suasana apa yang harus terlihat di wajahnya akan kedatangan sang pria. Ia hanya bisa berkata pelan, “Riza.”
******

Di Lorong Kampus

Chika, Rere dan Vino menelusuri lorong kampus. Bahagia sekali rasanya bisa melihat mereka kumpul bertiga dan bercanda ria. Terlihat tawa mereka yang sangat merekah.

“Lo lihat kan muka lucunya Chika waktu nemenin Fiko nyanyi.” Ledek Rere.
“Tuh kan lo mah gue lagi yang jadi bahan ledekannya.” Teriak Chika yang tak terima dijadikan bahan ledekan.
“Kan dua hari lalu ada yang dianterin pulang gitu sama Fiko.” Sindir Vino.
“Oh gara-gara insiden sepeda ya ?” Kata Rere menambahi. Vino tertawa melirik Chika.
“Pipiiiiiiiinn gak usah nyindir deh.” Jawab Chika sebal

HAHAHAHAHAHAAHAHA

Akhirnya mereka bertiga tertawa bersama-sama. Kedekatan mereka sungguh hangat dan mereka bisa saling mengerti suasana hati masing-masing.

“Tapi lo jujur deh Chik. Lo beneran udah mulai sayang ya sama dia.” Tanya Rere mulai serius menyelidiki.

Chika hanya diam dan menatap kedua sahabatnya yang sedang menunggu jawabannya. Gadis itu tak tahu apa yang harus ia jawab. Ia bingung apa yang sebenarnya ia rasakan sekarang.

“Gue gak akan ngebiarin lagi seorang cowok manapun nyakitin gue, Re.” Lirih Chika.
“Lo bisa megang prinsip, tapi lo harus inget kalo cinta gak bisa kompromi dengan prinsip atau apapun itu.” Ucap Rere bijak.

Chika hanya bisa diam dan terenyuh mendengar perkataan Rere. Hatinya membenarkan itu tapi dia tidak mau lemah dengan hatinya.

“Gue duluan ya.” Ucap Chika. Rasanya ia ingin menyendiri.

Rere dan Vino hanya mengangguk pelan.

“Lo bisa lihat Pin ?” Tanya Rere penuh arti.
“Iya gue lihat di matanya.” Jawab Vino mantap.
“Gue harap dia bisa berfikir dengan jernih dan mendapatkan kebahagiaan lain karena dia gak bisa menyalahkan semua cowok hanya karena kesalahan satu cowok aja.” Ucap Rere.
“Gue juga harap dia balik lagi kayak Chika yang dulu. Kangen gue.” Kata Vino menambahi.

Mereka berdua tersenyum melihat Chika yang sedang berjalan dan kemudian menghilang terhalang pepohonan.
******

Chika duduk di taman sendiri karena jam masuk kuliah masih setengah jam lagi maka ia punya waktu untuk sendiri. Tetapi niatnya untuk sendiri digagalkan oleh kehadiran seseorang yang menghampirinya.

“Hai Chik.” Sapa Fiko mengelus kepala Chika.

Chika kaget dan tertegun melihat kehadiran Fiko. Bukan karena melihat wajahnya tapi kehadirannya dengan sikap dan hal-hal yang Chika sukai. Fiko mengelus kepalanya, Itu salah satu hal yang dia sukai. Hal ini makin membuat Chika heran dan tak mengerti.

“Lo ngapain ke sini ?” Tanya Chika jutek.
“Tuh kan jutek lagi, lagian kan ini tempat umum Chik.” Jawab Fiko seadanya.
“Biasanya juga kan lo yang jutek ke gue.” Jawab Chika cemberut.
“Oh jadi ceritanya balas dendam nih.” Lirik Fiko tersenyum kepadanya.
“Nggak gitu. Nanti ada yang marah lo berdua sama gue.” Kata Chika mengingat kejadian dengan Sheila tempo hari.
“Emang siapa ?” Tanya Fiko heran.
“Ada deh pokoknya.” Jawab Chika tak memberi tahu Fiko.
“Jadi lo cemburu ?” Tanya Fiko memancing.
“Nggak, siapa yang cemburu. Jangan geer lo.” Elak Chika.
“Chika. . . Chika” Ucap Fiko tertawa sambil menggelengkan kepalanya dan melihat lurus ke depan.

Chika memandang wajah Fiko yang lembut, Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ingat terakhir kali jantungnya berdetak lebih cepat saat berbicara dengan seseorang adalah setahun yang lalu. Apakah ini pertanda bahwa dia telah merasakan perasaan itu kembali ?

“Gak mungkin.” Lirih Chika pelan.
Fiko yang tak jelas mendengar kata-kata yang Chika ucapkan reflek menatap ke arah Chika dan berkata, “Kenapa ?”
“Nggak apa-apa kok.” Jawab Chika sekenanya.
“Oh ya, Gue mau kasih ini sama lo.” Kata Fiko sambil mengeluarkan gantungan kunci piglet dari tasnya.
“Piglet.” Teriak Chika gembira saat melihat pemberian Fiko.
“Kok lo tau sih gue suka banget sama piglet ?” Tanya Chika heran.

Fiko hanya tersenyum dalam diamnya. Belum juga Fiko menjawab pertanyaan Chika. Chika malah membuat pertanyaan baru.

“Lo Fiko beneran ?” Tanya Chika masih tak percaya.
“Ya iyalah ini gue.” Jawab Fiko bingung menatap Chika.
“Gue gak mimpi kan ?” Tanya Chika.

Fiko pun mencubit pipi Chika.

“Aw, sakit Ko.” Teriak Chika kesakitan.
“Berarti lo gak mimpi.” Ucap Fiko sambil tertawa.
“Aaaaaaaaaa, Fiko. tapi gak usah cubit pipi gue juga kali. Kan sakit.” Ucap Chika.

Fiko yang merasa lucu dengan tingkah laku Chika, lalu ia menggenggam tangan Chika dan menatap matanya. Chika pun tak dapat mengelak tatapan mempesona dari seorang Fiko Marcelino. Entah sekarang strategi apa yang dilakukan Fiko untuk membuat gadis itu mencintainya. Yang Jelas chika pasti semakin bingung dengan perubahan sikap Fiko kepadanya.

“Kalau lo bingung kenapa gue kayak gini. Lo tanya sama hati lo, pasti lo temuin jawabannya.” Kata Fiko lembut.

Chika masih terdiam, dia benar-benar bingung kata-kata apa yang harus keluar dari mulutnya. Seseorang yang berada dihadapannya sekarang telah memberikan banyak  kejutan yang mengoyak pertahanannya.

“Daripada lo bingung dan makin terpesona lihat muka gue mending kita ke ruangan aja yuk.” Ajak Fiko geer memecah keheningan antara mereka.

Chika yang mendengar perkataan Fiko tersebut sangat geli dan kemudian tertawa.

“Ayo, tapi makasih ya buat pigletnya.” Ucap Chika berterima kasih. 
“Sip.” Jawab Fiko mengakhiri dengan senyumannya yang menawan.
******

“Gue bilang lo jangan deketin Fiko lagi kenapa lo masih deketin dia hah ?” Teriak Sheila sambil mendorong Chika ke tembok. Dia bersama genknya memaksa Chika untuk ke halaman belakang kampus.

Chika merasakan sakit di punggung dan bahunya akibat dorongan Sheila kemudian Sheila melihat gantungan piglet yang baru saja diberikan Fiko kepadanya.

“Ini apa hah ? Dari Fiko ? Ini punya gue, seharusnya Fiko ngasih ini ke gue.” Kata Sheila masih dengan nada tingginya sambil memegang gantungan piglet tersebut.

Chika tak bicara satu patah kata pun, bukan karena ia takut dengan Sheila tetapi Chika malas meladeni seseorang yang sedang dibutakan oleh sesuatu yang ia anggap cinta.

“Kenapa lo diam ?” Teriak Sheila lantang.
“Gue kan udah bilang. Gue malas meladeni orang kayak lo.” Jawab Chika meringis menahan rasa sakitnya.

Sheila makin naik darah mendengar perkataan yang diucapkan Chika, untuk kedua kalinya ia melayangkan telapak tangannya ke pipi Chika. Jelas Chika tidak bisa menahan tangannya Sheila, ia sendiri sedang menahan sakit di punggungnya. Tetapi lagi-lagi dengan tangan seseorang tamparan itu tak menyentuh pipi Chika sedikit pun.

“Fiko.” Kata Sheila kaget.

Fiko terlihat kesal dengan tatapannya yang sangat tajam menahan tangan Sheila.

“Jadi elo ? balikin pigletnya.” Kata Fiko mengambil paksa gantungan itu.
“Kenapa lo nglakuin ini ke Chika ?” Tambah Fiko dengan nada tinggi.
“Gue sayang sama lo Ko. Lo milik gue, gak ada satu pun cewek yang boleh deket sama lo.” Lirih Sheila emosi.
“Tapi gak usah ya lo nyakitin Chika. Gue kan udah jawab pernyataan cinta lo. Apa kurang jelas ?” Kata Fiko emosi.
“Kenapa sih lo belain Chika terus hah ?” Tanya Sheila emosi.

Fiko berdiam sejenak dan kemusian menarik nafas panjang.

“Karena gue merasa sakit dengan sebab hal yang menyakiti dia. Gue merasa terganggu dengan sebab hal yang mengganggu dia. Kalau lo berani nyakitin dia lagi, lo harus nyakitin gue dulu. Sekarang lo ngerti kan kenapa gue belain dia.” Tegas Fiko.

Semua orang yang ada di sana termasuk Chika merasa kaget dan tak menyangka seorang Fiko yang angkuh bisa mengatakan hal seindah itu. Ya, indah untuk Chika tapi tak indah untuk Sheila dan teman-temannya. Kemudian Fiko membawa Chika pergi dari kerumunan Sheila dan teman-temannya yang hanya tertunduk diam. Fiko mengerti bahwa yang dibutuhkan Chika sekarang adalah istirahat maka ia mengantarkan Chika pulang ke rumahnya. Tak ada satu pun kata yang Fiko ucapkan selama di perjalanan pulang begitu pun dengan Chika, ia masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja ia alami.
******

Langit malam telah berlalu, mentari pagi menyapa dengan sinarnya yang hangat. Pagi ini tercium wangi harum masakan yang menggoda dari dapur rumah Chika. Ya, gadis manis itu sedang membuat kue yang sangat lezat.

“Wah anak mama rajin ya, pagi-pagi udah bikin kue.” Sapa sang mama yang mengagetkan kesibukan Chika di dapur.
“Eh mama.” Kata Chika malu-malu.
“Kok bikin kuenya dua. Buat siapa aja sayang ?” Tanya mama penasaran.
“Yang satu buat kita, yang satunya lagi buat Fiko ma.” Jawab Chika malu-malu.
“Oh Fiko yang kemarin nganterin kamu pulang ya ?” Tanya mama lagi.
“Iya ma.” Jawab Chika singkat sambil menghias kue yang ia buat untuk Fiko.
“Memangnya dia ulang tahun ?” Tanya mama menyelidiki.
“Nggak ma, ini sebagai tanda ucapan terima kasih Chika karena kemarin Fiko udah belain Chika.” Jawab Chika menjelaskan.
“Oh begitu. Akhirnya anak mama udah semangat lagi buat kuenya.” Kata mama bahagia, pasalnya terakhir kali Chika bersemangat membuat kue adalah setahun yang lalu sebelum kejadian menyakitkan itu terjadi dan semenjak itu ia tak pernah mau membuat kue karena akan mengingatkannya dengan sosok seseorang.

Kue yang dibuat Chika telah selesai. Chika langsung menghubungi Vino.

Pin lg sibuk g ? anterin gue ke kosannya Fiko y skrg.
Emang mau ngpain ? tp jngn mcem2 lo y.
Nggak kok pin, cm mau ngnterin kue

Lo bkin kue ? mau dong.

Iya, yaudah k rmh aja abis itu anterin y ?
Iya oke sip. :)
******


Pagi hari di kosan Fiko

“Jadi lo ke Jakarta untuk nyari Chika.” Tanya Fiko memulai pembicaraan.
“Iya, gue mau memperbaiki semuanya. Gue rasa cukup serius belajarnya, ternyata gue butuh dia banget.” Sesal Riza.
“Serius belajar ? Maksudnya ? Gue gak ngerti.” Tanya Fiko kebingungan.
“Gue bohong sama lo, sama Chika terutama. Gue gak bosen sama dia, dia gak manja. Semua alasan yang gue bilang ke dia waktu putus itu semua akal-akalan gue aja supaya dia benci sama gue dan bisa ngerelain gue pergi. Lo inget waktu kita dapat beasiswa ke Ausi ? Gue rasa hidup gue harus maju, bukan dengan harta orang tua gue dan gue mutusin untuk serius belajar. Makanya gue ngelepas Chika, gue gak mau buat dia nunggu terlalu lama. Tapi ternyata semakin gue bohong dan jauh dari dia dalam kebenciannya ke gue, Itu buat gue sakit dan sadar kalau gue butuh dia. Gue gak lengkap tanpa dia, Cel. Selama setahun ini gue masih sangat mencintai dia, Cel.” Kata Riza menjelaskan semuanya.

Semua penjelasan Riza seolah membuatnya semakin terpojok. Dia merasa bersalah akan cintanya. Kenyataan yang selama ini ia lihat ternyata sebuah kebohongan yang justru memberanikannya melangkah. Kini seolah tebing yang menjaga disekelilingnya selama ini berbalik arah dan memusuhinya. Riza yang telah membuatnya mengubah persepsinya terhadap wanita. Riza yang memperkenalkan ia tentang cinta. Riza pula yang membuat ia merasakan jatuh cinta dan karena Riza jugalah, ia berani melangkahkan kakinya untuk seseorang yang  ia cintai. Sekarang, apa karena dia juga, Fiko harus merelakan cintanya pergi dan melupakan semua perjuangan cintanya selama ini ? Fiko sungguh seperti berada di banyaknya jalan pintu langit tetapi tak satu pun pintu terbuka untuknya, tak ada yang bisa ia lakukan  kecuali bergerak mundur dan berdiam dalam sepi berharap akan ada pintu terbaik yang terbuka untuknya.

“Oh ya Cel, mulai besok gue kuliah di kampus lo.” Tambah Riza memotong lamunan Fiko. Fiko hanya tersenyum tipis, dia sadar mulai besok pasti banyak perubahan yang akan terjadi.

TOK TOK TOK

Suara ketukan pintu memecah keheningan antara mereka berdua. Kemudian Riza dengan rela membukakan pintunya.

“Biar gue aja Cel yang buka.” Kata Riza.

Riza melangkahkan kakinya mendekati pintu tersebut. Setelah pintu terbuka semua orang yang berhadap-hadapan di depan pintu tersebut tercengang (Riza, Chika dan Vino). Chika kaget dan refleks menjatuhkan kue yang telah ia buat dengan tangannya sendiri. Ia tak menyangka seseorang yang telah menorehkan luka yang sangat dalam kepadanya, yang membuatnya tak lagi mempercayai cinta dan kebahagian, sekarang ia telah berdiri dihadapanya. Entah perasaan apa yang ada dalam hatinya sekarang, ia kesal, kecewa, sedih semuanya terasa dalam hatinya. Tiba-tiba hatinya pun menjadi sesak dan sakit menjadikan ia sulit bernapas. Sementara Riza, dia merasa senang melihat seseorang yang masih ia cintai, seseorang yang memang niat dicarinya dan sekarang dia tak perlu susah-susah mencarinya karena sang cinta telah berada dihadapannya.

“Kok lo ada disini, Za.” Kata Vino kaget.

Fiko beranjak dari duduknya sepertinya ia mendengar sesuatu yang tak beres di depan pintu kosannya.

“Siapa yang datang, Za ?” Tanya Fiko yang kemudian kaget melihat sosok gadis yang sama-sama dicintai olehnya dan Riza. Gadis itu menatapnya sedih dan tajam.
 
“Chika.” Kata Fiko pelan.
 
“Pembohong.” Lirih Chika kepada Fiko yang kemudian berlari ke luar kosan. Vino pun mengejar Chika, ia takut kalau nanti Chika pulang sendirian padahal hatinya sungguh sedang runyam. Riza yang hanya mengetahui bahwa Chika sedih karenanya maka ia pun turut mengejar Chika hendak menjelaskan yang sebenarnya.

Vino cepat-cepat mengambil motornya yang sedang di parkir sementara Chika menunggu Vino dengan gelisah. Riza kemudian meraih tangan Chika.

“Maafin kakak, De.” Lirih Riza kepada Chika.
“Lepasin kak.” Ucap Chika memaksa Riza melepaskan tangannya, ia tak sadar bahwa air matanya telah keluar.

Sebagai sahabat Chika, Vino pun tak ingin melihat Chika semakin terluka berdekatan dengan Riza. Ia tahu bahwa semua ini tak mudah bagi Chika. Chika masih tak percaya Riza akan kembali dengan cara seperti ini. Maka itu, Vino turun dari motornya dan kemudian menghalangi Riza untuk berbicara dengan Chika.

“Sori Za. Jangan lo ganggu dia dulu.” Ucap Vino yang kemudian membawa Chika pulang.

Disisi lain

Fiko tidak mengejar Chika, ia tahu bahwa gadis itu butuh waktu untuk berfikir jernih. Ia melihat kardus yang berisi kue yang sengaja dibuat Chika untuknya, kue itu sudah berantakan tetapi tulisan diatas kue masih bisa terbaca “Thanks ya Fiko udah belain aku ^_*”. Sesak rasanya dada Fiko melihat tulisan itu, sepertinya ia telah berhasil membuat gadis itu menjadi dirinya seperti dulu. Tetapi Fiko telah menghancurkan semuanya.

* Maafin aku, kamu harus kembali ke seseorang yang tepat Chik. (Lirih Fiko dalam hati.)

“Lo belain dia karena apa ?” Tanya Riza menyelidiki karena melihat tulisan di atas kue.
“Ada cewek yang suka sama gue, dan dia nyakitin Chika karena Chika dilihat sama dia deket sama gue.” Jawab Fiko sekenanya berharap Riza gak akan curiga.
“Jadi lo udah kenal sama dia ? Kenapa gak bilang sama gue ?” Tanya Riza lagi.
“Dia sejurusan sama gue, sekelas pula. Gue pikir itu bukan Chika lo.” Jawab Fiko seadanya.
******

Di rumah Chika

“Chikanya ada tante ?” Tanya Rere.
“Ada di kamarnya Re, dari tadi gak mau makan.” Lirih sang Mama
“Ya udah makanannya biar Rere dan Vino yang anter ke Chika ya tante.” Usul Rere.

Mama Chika mengangguk pelan menyetujui usulan Rere.

Seperti biasa teras lantai dua rumahnya menjadi tempat yang tenang untuknya menyendiri. Mata Chika terlihat sembab, entah alasan apa yang membuatnya menangis. Chika sedang mengingat-ingat sesuatu.

“De, kamu harus ketemu deh sama sahabat Kakak namanya Marcel. Dia ganteng lho. Kakak suka cerita tentang kamu ke dia.” Ucap Riza.
“Emangnya ganteng banget kak ? Boleh deh.” Jawab Chika tertawa.
“Hem, jangan macem-macem ya.” Kata Riza cemburu.
“Lagian kakak pake mancing-mancing aku segala. Huuu gak mempan weee” Kata Chika meledek Riza.

* Marcel. Fiko Marcelino. Apa jangan-jangan dia ? (Ucap Chika dalam hati.)

Kemudian Chika mengingat-ingat kembali hal-hal yang dia lewatkan bersama Fiko. Fiko yang mengajaknya ke danau, Fiko yang menyanyikan lagu kesukaannya, Fiko yang mengajaknya duduk di meja no.9 dan memesan makanan kesukaannya tanpa harus menanyakan kepadanya, Fiko tahu tentang kebisaan buruknya waktu makan, dan Fiko juga memberikan benda yang ia sukai. Semua hal yang Fiko lakukan adalah hal yang Chika sukai.

“Apa dia tahu semua itu dari kakak ?” Kata Chika pelan.

Tok Tok Tok

“Chika, ini Rere. Buka pintunya ya.” Kata Rere di balik pintu.
Chika kemudian membukakan pintu kamarnya untuk Rere dan Vino, sahabat kecilnya yang hangat.
“Ya ampun Chika, pasti abis nangis.” Tanya Rere melihat mata Chika yang sembab.
“Nggak kok.” Jawab Chika berbohong.
“Masih bisa bohong lagi lo, jelas-jelas mata lo sembab.” Kata Vino.
“Gue udah denger semuanya dari si Pipin.” Tegas Rere.
“Gue juga gak tahu kenapa bisa nangis kayak gini, Re.” Lirih Chika.
“Lo masih bingung ya ? Riza atau Fiko yang buat lo nangis.” Ucap Rere.
“Maksud lo ?” Kata Chika tak mengerti.
“Maksud gue, Karena kehadiran Riza yang tiba-tiba, seseorang yang pernah menorehkan luka yang sangat dalam di hati lo atau karena Fiko yang diam-diam dan tanpa sadar telah masuk ke dalam hati lo, seseorang yang ternyata dia adalah sahabat Riza ?” Tegas Rere menjelaskan.

Ya, yang dikatakan Rere benar. Chika masih tak mengerti apa yang sebenarnya membuat ia menangis. Sikap siapa yang sebenarnya benar-benar membuat ia terluka, masa lalu atau kenyataan yang ada dihadapannya sekarang. Siapa yang benar-benar dipikirkannya saat ini.

“Kalau lo masih gak bisa jawab pertanyaan gue. Gue cuma pengen lo inget satu hal, apapun yang terjadi lo harus ikutin kata hati lo, karena itulah jawaban yang paling jujur.” Kata Rere bijak.
******

Di kampus

Fiko yang biasa duduk di sebelah Chika, mulai hari ini ia memutuskan untuk pindah ke belakang menjauh dari Chika. Chika hanya terdiam menatap Fiko yang menuju ke arah belakang.
Seperti biasanya hari ini Pak Hartono yang akan mengajar.

“Pagi semua.” Sapa Pak Hartono.
“Pag pak.” Jawab mahasiswa serentak.
“Hari ini lagi-lagi kampus kita kedatangan mahasiswa pindahan dari Ausi. Silahkan masuk.” Kata Pak Hartono mempersilakan.

Lagi-lagi mata para hawa yang berada di ruangan itu tertegun melihat kedatangan seseorang, kecuali Chika, Rere dan Vino yang kaget melihat sosok Riza memasuki ruangan. Riza memang dua tahun lebih tua dibandingkan mereka tetapi ia berada satu angkatan dengan mereka tetapi bukan karena ia tak naik kelas.

“Perkenalkan dirimu.” Kata Pak Hartono.
“Nama gue Riza Aprilio. Kalian bisa panggil gue Riza.” Kata Riza memperkenalkan dirinya.
“Baiklah sekarang kamu duduk di samping . . .” Kata Pak Hartono terbata sambil melihat kursi yang kosong.
“Chika.” Tambah Pak Hartono.

Belum sempat Riza duduk di sampingnya, Chika meminta Vino untuk tukeran tempat dengannya. Jadi, Riza duduk di samping Vino bukan Chika. Riza kecewa dengan sikap Chika tapi dia memahami semua itu karena kesalahan yang dia buat sendiri.

* Jadi karena dia, kamu ngejauh. (Kata Chika dalam hatinya.)

“Bapak mau mengumumkan sesuatu. Sabtu malam nanti kampus kita akan mengadakan malam ulang tahun kampus yang ke 50. Bapak harap kalian semua dapat berpartisipasi dalam acara tersebut.” Kata Pak Hartono.
“Baik, Pak.” Jawab mahasiswa serentak.
“Oh ya, Fiko ada pesan dari Ibu Ratna, selesai mata kuliah ini kamu disuruh menghadapnya.” Pesan Pak Hartono.
“Baik, Pak.” Jawab Fiko.
******

“Chika.” Teriak Riza meraih tangan Chika.

Chika hanya menatap Riza dengan tajam tak ada senyum sedikit pun diwajahnya. Dia hanya menunggu kalimat apa yang akan diucapkan oleh Riza.

“Maaf. Kakak bisa jelasin semua yang sebenarnya ke kamu. Tapi tolong maafin kakak.” Lirih Riza.
“Mau jelasin apa ?” Tanya Chika masih dengan tatapannya yang tajam menandakan begitu perihnya luka itu hingga tak tahu cara apalagi untuk menghadapinya.
“Sebenarnya, semua alasan yang kakak bilang ke kamu waktu dulu, itu kakak buat-buat sendiri. Semuanya bohong. Karena suatu hal kakak harus ninggalin kamu, tapi kamu harus tahu kalau sampai saat ini kakak masih sangat mencintai kamu.” Kata Riza menjelaskan.
“Alasan yang dibuat-buat ?” Mendengar perkataan Riza, Chika menggelengkan kepalanya, dia benar-benar kecewa.
“Dimana hati kakak waktu aku menangis, waktu aku mohon kakak untuk tetap tinggal. Dimana ? Aku benar-benar kecewa kak.” Kata Chika dengan nada agak tinggi. Ia tak dapat menahan perasaanya maka ia pun pergi meninggalkan Riza yang sedang menatapnya sedih.
******

Di kantin 

Riza duduk sendirian dengan ditemani segelas cappucino di meja kantin. Dia sedang bingung memikirkan cara bagaimana agar Chika dapat memaafkan kesalahannya.

“Woy, ngelamun aja.” Sapa Fiko mengagetkan Riza.
“Lo bikin kaget aja.” Ucap Riza.
“Lagi elo ngapain sendirian di kantin pake ngelamun pula.” Celetuk Fiko.
“Chika belum mau maafin gue, Cel.” Lirih Riza

Bagi Fiko aneh rasanya mendengar nama itu dari mulut Riza padahal dulu ia sering mendengarnya dari Riza. Mood-nya langsung turun padahal ia yakin akan ada perubahan yang akan terjadi semenjak kedatangan Riza.

“Emangnya tadi lo bicara sama dia?” Tanya Fiko.

Riza kemudian menceritakan hal yang baru saja terjadi saat bersama dengan Chika. Tetapi kemudian Fiko hanyut sendiri dalam lamunannya.

“Mau berjanji satu hal sama ayah, Nak ?” Ucap sang ayah
“Apapun itu yah, Fiko mau berjanji.” Jawab Fiko yang masih remaja.
“Apapun yang terjadi jangan pernah bertengkar dengan Den Riza, masalah apapun itu kamu harus mengalah termasuk soal perempuan. Kamu harus ingat Fiko, Ayah dari supir hingga bisa menjadi sukses seperti ini tak lain berkat dukungan dan bantuan Ayahnya Den Riza. ” Tegas sang ayah.
“Iya ayah, Fiko janji.” Kata Fiko mantap.
“Cel...cel...Marcel.” Teriak Riza menghentikan lamunan Fiko.
“Eh iya tadi apa ?” Jawab Fiko sekenanya.
“Apa...apa... lo gak dengerin gue ya ? Mikirin apa sih lo ?” Tanya Riza kesal.
“Sori, sori Za. Gue kepikiran tugas dari Bu Ratna.” Elak Fiko.
“Emang tugas apaan ?” Tanya Riza penasaran.
“Ada deh pokoknya, gue duluan ya buru-buru nih.” Kata Fiko tergesa-gesa.
******

Hari ini jam mata kuliah sungguh tidak mengasyikkan bagi mahasiswa karena setelah selesai jam 10 akan dilanjutkan lagi jam 2. Jadi mau tak mau bagi mahasiswa yang malas pulang ke rumah mereka terpaksa menunggu di kampus berjam-jam dan Chika adalah salah satunya. Rasanya sekarang setiap sudut tempat di kampus terpasang ranjau yang setiap saat bisa meledak bagi Chika. Dia menjadi gelisah kalau-kalau bertemu lagi dengan makhluk itu, untunglah jadwal tidak mengasyikkan itu hanya terjadi satu kali dalam seminggu jadi dia tak perlu susah-susah untuk melarikan diri. Akhirnya Chika memutuskan untuk pergi ke ruang kesenian di kampusnya. Ruangan itu sangat luas meskipun banyak alat-alat musik namun masih telihat lega. Di ruang itu ternyata ada Yogi Putra Indrawan, kakak senior Chika yang pandai sekali bermain piano. Anak-anak seni pun selalu menyempatkan diri melihat ia bermain piano setiap sore.

“Hai kak.” Sapa Chika.
“Hai.” Jawab Yogi.
“Boleh aku masuk ke ruangan ini.” Tanya Chika
“Silahkan, gak ada yang larang kok.” Jawab Yogi seadanya.

Setelah beberapa saat Chika duduk di ruang kesenian, Yogi mulai memainkan piano. Dentingan piano mengalun lembut memecah sepi dan menghibur hati yang sedih. Chika senang sekali bisa mendengar permainan piano Yogi. Tetapi bayangan itu muncul kembali, sosok Fiko merasuk ke pikirannya. Lagi-lagi dia, apa Chika benar-benar telah jatuh cinta ? Setelah cukup lama Chika memikirkannya sekarang sosok itu muncul dan telah berdiri dihadapannya, entah darimana datangnya ia Chika tak menyadari itu. Yang tersadar sekarang Yogi telah selesai memainkan pianonya dan menghilang yang ada hanya dirinya dan Fiko.

“Mau apa kamu ?” tanya Chika angkuh.
“Ada yang mau aku bicarakan.” Jawab Fiko seadanya.
“Yaudah ngomong aja.” Ucap Chika.
“Kamu boleh marah sama aku, tapi please maafin Riza.”
“Apa urusannya sama kamu ?” Tanya Chika angkuh.
“Chik, Riza gak benar-benar berniat untuk nyakitin kamu. Dia milih beasiswa ke Ausi karena mau membuktikan kalau ia bisa sukses tanpa harta orang tuanya dan itu butuh waktu yang lama. Jadi dia memutuskan untuk melepas kamu padahal dia masih sangat mencintai kamu.” Kata Fiko berusaha meyakinkan Chika.

Sepertinya panggilan gue elo mereka telah berubah menjadi aku kamu. Mungkin itu lebih lembut terdengarnya atau mungkin ada sesuatu berbeda yang mereka rasakan hingga mendorong mereka mengucapkan panggilan itu. Kini seolah yang dijelaskan Fiko sekarang gak ada artinya lagi untuk Chika. Hatinya tak membutuhkan itu karena semuanya tak mengubah apapun yang telah terjadi.

“Terus apa penjelasan kamu akan mengubah semuanya ?” Ucap Chika
“Aku tahu semua ini gak akan mengubah apapun termasuk luka di hati kamu. Tapi gak ada manusia yang luput dari kesalahan. Satu yang aku yakin, kamu akan menjadi lebih tenang jika kamu mengikhlaskan semuanya.” Kata Fiko meyakinkan.
“Oke. Tapi aku ada satu pertanyaan.” Kata Chika
“Apa ?” Jawab Fiko singkat.
“Apa maksud kamu mendekati aku dengan semua hal yang aku sukai ?” Tanya Chika menyelidiki.

Fiko kaget mendengar pertanyaan Chika. Apa yang harus dia jawab, Chika tak akan mengerti.

“Aku hanya ingin mengingatkan kamu dengan Riza. Aku selalu dengar kalau Riza suka melakukan hal yang kamu sukai. Mungkin dengan cara itu kamu akan ingat tentang dia. Aku ingin lihat sahabat aku bahagia Chik. Dan aku berharap kalian bisa kayak dulu lagi.” Jawab Fiko.

Chika sedih, ini bukan jawaban yang ingin dia dengar. ‘Kenapa seolah-olah mereka berdua mempermainkan perasaanku’ (Ucap Chika dalam hati)

“Sesuatu hal telah terjadi Fiko dan kamu gak akan ngerti.” Lirih Chika yang kemudian pergi.
“Maafkan aku karena membuat sesuatu itu terjadi tapi aku gak punya kemampuan untuk meneruskannya Chika.” Sesal Fiko.
******

Beberapa hari kemudian

Suatu malam sebelum acara ulang tahun kampus berlangsung. Chika masih tetap berada di teras atas rumahnya menatap langit adalah kesukaanya. Tiba-tiba sebuah tangga bersandar di penyangga tepi lantai atas tersebut. Chika kaget, ia takut maling yang melakukan hal tersebut. Chika langsung melihat ke arah bawah tangga.

“Kakak.” Teriak Chika.
“Hai Jelek.” Sapa Riza yang telah sampai di teras rumah Chika.
“Kok kayak maling sih Kak. Bikin takut aja, kalau ketahuan tetangga gimana ? bisa diteriakin tau.” Kata Chika panik.
“Kenyataannya nggak kan.” Ucap Riza sambil tertawa.
“Huh. Udah izin sama mama belum ?” Tanya Chika.
“Udah kok. Tahun lalu tapi.” Ledek Riza.
“Tuh kan.” Kata Chika kesal.
“Tenang aja Chika.” Kata Riza menenangkannya.
“Kirain.”
“De.” Panggil Riza.
“Iya.” Jawab Chika.
“Terima kasih banyak ya udah mau maafin Kakak.”
“Sebenarnya aku udah lama maafin Kakak, tapi masih belum terima aja diperlakukan seperti ini. Terus aku ingat kata seseorang kalau aku bisa mengikhlaskan semuanya aku pasti bisa lebih tenang, dan itu benar-benar terjadi.”

Riza tersenyum mendengar perkataan Chika. Tak ada yang tahu arti dibalik senyumannya itu.

“Kamu masih suka lihat bintang ?” Tanya Riza.
“Masih Kak. Ya walaupun jarang banget bintangnya muncul. Kakak ? Di Australia ada bintang gak ?”Tanya Chika asal.
“Masih aja anehnya gak ilang. Ya pasti ada lah Chika.” Jawab Riza.
“Hehehe” Tawa Chika dengan wajah lugunya.
“Kakak masih suka melihat bintang. Terkadang kalau lihat bintang kakak suka ingat sama kamu.” Kata Riza lembut.

Chika hanya tersenyum mendengar perkataan Riza. Seseorang yang di sampingnya sekarang hanya ia anggap sebagai kakaknya, tidak lebih dari itu.

“Entah kenapa selama dua minggu sebelum kepulangan kakak ke Indonesia. Bintang-bintang di langit tempat tinggal kakak berhenti berkelip, dan ternyata kakak tahu jawabannya setelah di sini.” Kata Riza bercerita.
“Kenapa, Kak ?” Tanya Chika penasaran.
“Hemmm, udah kamu gak perlu tahu. Nanti otak kamu gak sampai lagi.” Ledek Riza.
“Kakakkkk, ngeledek terus.” Gerutu Chika.

Seperti itulah mereka saat bersama. Malam itu mereka tertawa bersama melihat bintang-bintang di langit. Kedekatan mereka tak mempengaruhi perasaan Chika sedikit pun. Dia merasa lebih baik jika seperti ini.
******

Di kosan Fiko pada malam yang sama 

“Darimana Za ?” Tanya Fiko.
“Dari rumah Chika.” Jawab Riza singkat
“Oohh.” Respon Fiko datar.

Fiko senang melihat Riza dan Chika bisa bersama seperti dulu lagi. Namun dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa di lubuk hatinya dia merasakan sakit yang teramat dalam.

“Kenapa ? Lo cemburu ?” Tanya Riza memancing.

Fiko refleks kaget mendengar pertanyaan Riza. Mengapa Riza bisa bertanya seperti itu apa dia tahu perasaan Fiko yang sebenarnya.

“Cemburu ? Lo ngomong apa sih. Ya gak mungkin lah.” Elak Fiko.
“Udah gak usah bohong sama gue. Lo cinta kan sama dia ?” Tanya Riza.
“Ngaco lo. Yang cinta sama dia kan cuma lo.” Elak Riza.
“Apa perlu gue pakai kekerasan supaya lo ngaku.” Kata Riza menatap Fiko tajam.

Fiko semakin tak mengerti jalan pikirannya Riza. Darimana ia bisa tahu ? Sekarang apa yang harus dia jawab.

“Udahlah jujur aja sama gue. Gue udah tahu semuanya. Tulisan di atas kue itu, percakapan lo dan Chika di ruang kesenian dan cara kalian bertatapan. Itu udah nunjukkin banget kalau kalian saling mencintai.” Lirih Riza.

Fiko menarik nafasnya dalam-dalam, mungkin sudah waktunya ia beritahu semuanya.

“Iya. Gue cinta sama dia. Sangat mencintainya.” Kata Fiko tak dapat mengelak lagi.
“Tapi kenapa harus Chika Marceel.” Kata Riza dengan nada lebih tinggi.
“Salah gue kalau ternyata lo udah ngubah persepsi gue tentang wanita ? Salah gue kalau setiap waktu luang gue dihabiskan untuk mendengarkan cerita lo tentang Chika, Chika, dan Chika ? Dia masuk begitu aja ke dalam mimpi gue, merasuki seluruh ruang di hati gue dan gue mulai menikmati setiap cerita lo tentang dia.” Ucap Fiko juga dengan nada lebih tinggi.

Riza terdiam, dia menghempaskan tubuhnya ke kursi. Kenyataan yang harus ia hadapi bahwa sahabatnya sendiri mencintai seseorang yang dia cintai justru karena cerita dia selama ini.

“Terus lo nunggu apa lagi. Kenapa lo gak kejar dia ?.” Lirih Riza.
“Karena gue gak punya kemampuan untuk merebut cinta lo, Za. Jangan biarin gue nyakitin lo.” Ucap Fiko.

Mereka berdua berdiam, hening dalam gelap malam. Hingga mereka terlelap.
******

Pagi hari  di rumah Chika 

“Chikaaaaaaaaaaaa.” Teriak Rere yang mengagetkan tidur santai Chika.
“Ih ni anak kebiasaan ngagetin gue mulu.” Keluh Chika.
“Lo kok masih santai-santai aja sih. Nanti malam kan acara ulang tahun kampus.” Ucap Rere.
“Emangnya perlu siapin apaan ?” Tanya Chika tak mengerti.
“Huh, ya bajulah, make up, high heel, tas juga. Lo udah nyiapin semuanya belum ?” Tanya Rere ribet.
“Gak perlulah. Gue pakai pakaian yang biasa aja deh.” Kata Chika santai.
“Gak boleh pokoknya lo harus tampil cantik malam ini.” Kata Rere mengharuskan.
“Gue males Rere bawel.” Elak Chika.
“Kalau lo males, biar gue yang make up-in lo. Nih gue udah bawa kotak make up gue, dress gue juga. Jadi lo tinggal terima beres.” Kata Rere sambil mengeluarkan barang-barangnya dari tas.

Dasar memang sahabat Chika yang satu ini sangat semangat sekali jika ada peringatan ulang tahun seperti ini karena dia bisa tampil cantik dan kali ini ia mau menjadikan Chika tampil cantik sepertinya.

Malam ulang tahun kampus telah tiba

Chika, Rere dan Vino berangkat ke kampus bersama. Malam ini Vino membawa mobilnya sehingga bisa berangkat bersama-sama. Sementara suasana di kampus malam ini sungguh meriah, dengan desain panggung yang simple tapi terlihat mewah dan lapangan kampus yang di dekor dengan sangat apik dengan berunsur warna merah. Ditengah atas bangunan pusat kampus terpasang sejaring besar balon berbentuk hati berwarna merah. Di jalan utama menuju panggung juga terpasang gapura dengan lampu-lampu dan daun-daun menjalar memperlihatkan seperti adanya pesta kebun. Setiap mahasiswa datang dan melalui red carpet, benar-benar acara ulang tahun kampus yang meriah.

Mobil Vino melaju memasuki parkiran kampus. Vino, Chika dan Rere berjalan bersama melewati red carpet. Semua mata menatap Chika kagum. Chika yang setiap harinya selalu terlihat sederhana dan tanpa make up, malam ini ia terlihat sangat cantik dengan dress warna pink dan cardigan putih, rambutnya yang di gerai dan di jepit ke belakang dengan pita di pinggir rambutnya, high heel yang sesuai dengan pakaiannya dan make up yang natural membuatnya terlihat begitu anggun.

“Tuh kan, Re. Gue aneh ya, kok pada ngeliat gue kayak gitu.” Kata Chika tak percaya diri
“Mereka tuh kagum lihat lo, karena lo cantik banget malam ini. Iya kan Pin ?” Tanya Rere meminta pendapat Vino
“Iya lo cantik banget, gue aja sampe pangling.” Jawab Vino
“Lo jujur kan.” Kata Chika masih khawatir.
“Beneran. Siapa dulu yang dandanin, Rere.” Kata Rere membanggakan diri.
“Iya. Makasih ya Rere cantik.” Puji Chika.
“Sama-sama Chika”  Jawab Rere dengan senyumannya yang khas.

Saat mereka sedang asyik mengobrol di kursi yang disediakan, tiba-tiba. . .
 
“Halo semua.” Sapa seorang pemuda tampan dengan setelan kemejanya yang pas dengan warna kulitnya yang putih.
“Kakak.” Ucap Chika, “Hai, Za.” Ucap Rere dan Vino.
“Cantik banget kamu malam ini.” Puji Riza.
“Makasih Kakak.” Jawab Chika seadanya tapi tetap dengan senyuman.

Acara ulang tahun pun dimulai. Sambutan-sambutan dari Rektor kampus sampai dengan ketua pelaksana mengisi acara hingga peniupan lilin di atas kue ulang tahun menutup acara formal pesta tersebut. Selama acara formal berlangsung, mata Chika tak hentinya berkeliaran mencari sosok seseorang. Acara formal pun selesai dan dilanjutkan dengan acara bebas yang dimeriahkan dengan musik dan seni lainnya.

“Tepuk tangan semuanya.” Kata pembawa acara pria.
“Wah permainan piano Yogi benar-benar hebat ya, Bim.” Kata pembawa acara wanita.
“Iya benar banget Dina. Tapi itu baru sebagian aja, yang bakal tampil selanjutnya nih. Gak kalah keren.” Kata pembawa acara pria.
“Yang bener Bim ? Memang siapa yang akan tampil ?” Tanya pembawa acara wanita.
“Mau tahu kan ? Yaudah mendingan kita panggilin aja sekarang.” Kata pembawa acara pria.
“FIKO MARCELINO.” Teriak pembawa acara bersama-sama.

Semua para mahasiswa bertepuk tangan dengan kehadiran Fiko di panggung. Chika tertegun melihatnya yang begitu mempesona.

Fiko diiringi dengan sebuah gitar yang dimainkan oleh temannya. Namun ia tidak bernyanyi tetapi membacakan sebuah puisi, seperti yang dilakukan Dian Sastrowardoyo yang berperan sebagai Cinta di film AADC.

Seberkas senyum
Hampiri sepi
Menutup pilu dan lara
Tabir mimpi menyeruak kembali
Singgahi hati
Hempaskan gundah

Cukup hanya satu kisah
Kau hadir dalam mimpi
Dengan senyum khas yang menggoda
Menyirami layunya bunga hatiku

Pergi saja aku
Dapatkan senyum mu setiap hari
Meleburkan angan sambut impian
Bersamamu
Telah sampai aku pada sang pujaan hati

Chika merasa tak asing dengan bait-bait puisi yang di bawakan oleh Fiko. Dia sepertinya pernah membaca puisi itu, tapi dimana ? Chika masih mengingat-ingat sementara setiap orang di sana telah memberikan appreciation-nya. Tiba-tiba ia ingat dompet yang ia temukan dan selalu ia simpan di dalam tasnya. Lalu ia mengeluarkannya dari tasnya dan ternyata sama persis dengan yang Fiko bawakan.

“Jadi FM itu..............”
* Aku ngerti sekarang Fiko (Ucap Chika dalam hati.)
Chika tersenyum lebar saat mengerti semua hal itu.

Malam pesta ulang tahun kampus belum terlalu larut. Kini acara dansa pun di mulai, setiap pasangan menuju area yang disediakan. Chika sendiri masih terlihat duduk dengan tenang, Riza pun tak ada tanda-tanda akan mengajaknya.

“Chika.” Sapa Fiko yang membuat Chika menoleh.
“Iya.” Jawab Chika seadanya.
“Ada yang ingin aku sampaikan, boleh ikut aku sebentar.” Kata Fiko.
“Oh gitu. Yaudah kalau gitu.” Jawab Chika mengiyakan.

Fiko dan Chika menuju taman kampus yang masih ramai dengan diterangi lampu-lampu hiasan ulang tahun. Sementara Riza masih asyik dalam duduknya. Ia hanya tersenyum melihat kejadian itu.

“hemmm, langitnya indah ya, Chik.” Kata Fiko basa-basi.
“Iya.” Jawab Chika singkat.
* Aduh mulai darimana. (Kata Fiko dalam hati.)
“Fiko, puisi yang kamu bawakan tadi bagus.” Ucap Chika memuji.
“Terima kasih.” Kata Fiko tersenyum.
“Fiko, kamu dan Riza baik-baik aja ?” Tanya Chika khawatir.

Pertanyaan Chika mengingatkan ia dengan perkataan Riza saat hendak pergi ke kampus malam ini.

“Lo harus menangkan cinta lo Cel. Jangan lo biarkan cinta lo kalah.” Kata Riza mantap.
“Tapi.” Ucap Fiko.
“Lo justru akan nyakitin gue kalau lo kecewain Chika Cel.” Kata Riza memotong yang kemudian berlalu pergi.

“Kita baik-baik aja kok Chik, kamu tenang aja.” Kata Fiko meyakinkan
“Oh bagus kalau begitu. Oh iya, Ini dompet kamu kan ?” Tanya Chika sambil mengeluarkan dompet dari tasnya.
“Loh kok bisa ada di kamu ?” Tanya Fiko penasaran.
 
Fiko membuka dompetnya dan melihat kertas puisi miliknya.
 
“Aku sudah mengerti semuanya Fiko.” Kata Chika melirik Fiko.
“Maafkan aku Chika untuk semua hal yang tidak mengenakkan di hati kamu.” Ucap Fiko penuh arti.
“Iya, sudah kok.” Kata Chika singkat.
“Ini untuk kamu.” Fiko memberikan bunga mawar untuk Chika yang sedari tadi disembunyikan  dibelakangnya.
“Wah, Terima kasih ya.” Kata Chika dengan senyuman merekahnya.
“Itu bunga pertama yang aku berikan untuk wanita pertama dan terakhir dihati aku.” Kata Fiko.
“Fiko.....” Kata Chika terharu membuat matanya berbinar-binar.

Kemudian Fiko memperagakan kata “I LOVE YOU” dengan isyarat tangannya dan bantuan tangan Chika yang diraihnya setelah itu dia mengulang kata-kata itu lagi dengan lembut.

“I love you.”

Belum sempat Chika menjawab pernyataan cinta Fiko, ketakutannya muncul bagaimana jika ia akan disakiti lagi untuk kedua kalinya jika ia menerima cinta Fiko. Sementara Fiko tetap menunggu dengan setia jawaban dari Chika. Tiba-tiba Chika ingat kata-kata yang Rere ucapkan kepadanya.

“. . . . . . Gue cuma pengen lo inget satu hal, apapun yang terjadi lo harus ikutin kata hati lo, karena itulah jawaban yang paling jujur.” Kata Rere bijak.

Kemudian Chika merasa mantap dan berkata,

“I love you too Fiko.” Jawab Chika tersenyum.

Kembang api raksasa mengudara menghiasi langit malam kampus. Ya pesta ulang tahun kampus diakhiri dengan peluncuran kembang api raksasa yang dapat dilihat dari seluruh sisi kampus  dan daerah sekitar kampus termasuk Chika dan Fiko yang malam ini resmi menjadi sepasang kekasih.

THE END
Hihihihihihi
Sori ya kalo gak bagus-bagus amat :P
Baca yang bawah juga oke ^o^ 


Cinta dan kebahagiaan adalah hal yang diinginkan semua orang jauh dilubuk hatinya yang terdalam. Setiap ada cinta disanalah terdapat kebahagiaan meskipun tak semua kebahagiaan terdapat cinta.

Suatu hubungan harus mempunyai tiga pilar utama sebagai penopang, Kesetiaan, Kejujuran dan Komunikasi. Dimana pun sang cinta berada, apapun yang dia lakukan selama ketiga pilar itu tetap terjaga kelak ia akan kembali dengan cintanya yang utuh, dengan senyumannya yang merekah dan merentangkan tangannya untuk memelukmu selamanya.

Cinta bukan ilusi yang semua halnya palsu tetapi Cinta adalah keajaiban yang setiap halnya terjadi tanpa terduga, hal yang tak dimasuk akal pun dapat terjadi kalau cinta telah menggebu. Cinta, tak setiap jalan mudah, di setiap sudut terdapat halangan tetapi semakin besar halangan semakin besar pula sang cinta berkobar.

Cintaku adalah kamu, kamu yang baik. Yang teguh akan keyakinannya, yang menghargai setiap pengorbanan, yang menghormati setiap perjuangan, yang melupakan perbedaan, yang mengingat setiap kenangan, yang belajar dari masa lalu, yang menguatkan sesamanya, yang malu menyakiti perasaan orang lain, yang memaafkan kesalahan, yang tidak memperdulikan status, yang menjaga perasaan orang yang menyayanginya,  yang mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri, dan yang menamakan dirinya sebagai pria sejati. ^o^