Aku seorang wanita, aku mengabdikan diriku untuk merawat orang lain, aku mengerti keadaan mereka yang membutuhkan pertolongan dan memposisikan diriku sebagai mereka. Aku bekerja pada salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Mereka yang ku rawat memanggilku Suster Nisa. Aku membantu pasienku memenuhi kebutuhannya yang terganggu dari buang air besar, kecil, membantu persalinan sampai merawat pasien yang menderita virus mematikan HIV/AIDS.
Aku merasa hidupku berarti saat bersama mereka, namun saat aku berada pada hidupku yang nyata aku merasakan kesepian. Usiaku yang sudah menginjak dewasa membuat orang tuaku selalu menanyakan kapan aku akan menikah. Aku bingung, aku sendiri tak tahu mengapa sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, melupakan seseorang yang mungkin sudah melupakanku. Dia, pria yang baik yang pernah ku temui walau akhirnya dia menyakiti perasaanku. Aku rapuh, aku tak tahu mengapa belum ada seorang pun yang bisa membuatku jatuh cinta, meskipun aku tahu banyak yang menginginkan aku menjadi kekasihnya, dan tak jarang kebanyakan mereka memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang yang ku cintai sampai saat ini.
Hingga suatu hari orang tuaku memperkenalkan aku dengan seorang pria yang memiliki segalanya, wajah yang tampan dan menenangkan, tinggi, kulit yang putih, mapan dan pastinya seorang pria yang soleh. Ibu dan ayahku sangat menyukainya apalagi dia tidak pernah pacaran dan berniat baik untuk menjadikanku istrinya. Walaupun begitu kenapa aku tak sedikitpun menyukainya, menurutku tak ada yang istimewa di dirinya, aku masih merasakan bayangan masa laluku bersama orang lain. Namun akhirnya aku menyetujui pernikahan itu dengan hati yang terpaksa demi membuat orang tuaku bahagia dan setidaknya aku bisa tenang karena orang tuaku tak menuntutku lagi untuk menikah.
Pernikahan tiba, pernikahan itu sangat meriah dan menurut pendapat keluarga dan teman-temanku suasananya begitu damai. Aku tersenyum meski sangat terpaksa dan aku merasa seperti di ruang pengadilan dan menunggu keputusan hakim yang akan memberikan hukuman mati kepadaku. Singkat cerita aku telah berada di sebuah ruang kamar yang dihiasi untuk pengantin baru. Tetapi aku malah merasa berada di penjara. Aku ingin berteriak “Tuhan tolong keluarkan aku dari sini.” Meski aku tahu itu sia-sia dan pasti Allah akan membenciku jika aku tak menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Maka aku pun menjalankan kewajibanku sebagai istri terhadapi suaminya. Namun aku tak pernah melihat matanya dan membiarkan dia melakukan sesuatu sesukanya. Beberapa kali dia bertanya dengan suaranya yang lembut, berharap aku akan menengok ke arahnya namun aku pun tak mengindahkannya. Sampai ia bicara kepadaku “Aku akan menunggumu hingga kau benar-benar bisa menerimaku.” Namun itu pun tak membuat batu dihatiku hancur justru perkataan itu tak masuk sama sekali ke dalam hatiku.
Hari-hari ku jalani bersamanya seperti robot. Pagi hari aku bangun sholat dan menyiapkan makanan untuknya, kami sarapan bersama, bicara pun seperlunya, lalu aku berangkat ke rumah sakit seperti biasanya dan dia pun pergi ke tempat kerjanya. Pulang kerja aku menyiapkan makanan untuknya dan kami pun makan bersama lagi. Terkadang dia pulang malam dan aku enggan untuk menunggunya aku makan duluan, setelah solat aku langsung tidur. Saat dia pulang pun aku tidak membukakan pintu untuknya, aku sengaja memberikan kunci duplikat untuknya. Terkadang juga saat dia tak pulang untuk mengurusi kerjaan di luar kota aku tak pernah menanyakan kabarnya atau sekedar menanyakan apakah dia sudah makan atau belum, bahkan makanan kesukaannya pun aku tak pernah tahu. Dan beberapa minggu setelah menikah aku selalu mendapatkan bunga yang pengirimnya pun aku tak tahu. Suamiku bertanya “Bunga sebanyak ini dari siapa Dik?” Begitulah ia memanggilku, lalu ku jawab “Aku nggak tau, gak ada nama pengirimnya.” Aku sempat berfikir suamiku yang mengirimnya namun dia malah bertanya seperti itu, aku yang memang suka bunga menjadi tak perduli siapa pengirimnya. Setelah itu ia tak pernah berbicara sepatah kata pun melihat banyaknya bunga yang menghiasi setiap sudut di rumah kami. Aku suka kasihan melihatnya yang selalu menyibukkan diri dengan laptopnya saat sedang libur namun hatiku bergejolak “dia juga jahat tak berusaha membuat ku menyukainya bahkan merebut kebahagiaanku dengan membuatku berada satu rumah dengannya.” Begitulah syeitan mempengaruhi ku.
Suatu saat kepala ruangan keperawatan menugaskanku merawat seorang wanita yang seumuran denganku. Menurut diagnosa medis dia mengalami kanker payudara stadium akhir. Sebagai seorang perawat profesional aku pun selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sampai membersihkan luka-luka pada payudaranya dan tak bisa kalian bayangkan bagaimana wangi khas yang timbul saat aku membersihkan luka itu, namun aku tak memperdulikan itu.
Dilihat dari data pengkajian yang ku lakukan, wanita itu sudah menikah namun tak pernah aku melihat seorang pria yang menemaninya kecuali laki-laki dan wanita dengan kulit keriput mulai memenuhi tubuh mereka. Mereka adalah orang tua wanita tersebut. Mereka pun selalu tersenyum kepada ku saat aku melakukan tindakan. Pagi harinya aku melihat sang bapak menemani anaknya lalu sore hari bergantian sang ibu yang menemani anaknya namun saat malam hari mereka meminta bantuanku untuk menjaga putrinya karena mereka harus bekerja dan mencari dana untuk pengobatan putrinya. Aku sangat empati melihat keadaan wanita itu yang semakin hari keadaannya semakin memburuk, tubuhnya yang kurus dan terlihat sangat lemah dan kesakitan, rambutnya yang lama-lama semakin berkurang akibat kemoterapi yang dijalankannya, Sel-sel kanker yang mulai menyebar dan menggerogoti payudaranya hingga habis. Aku menangis kala mengingatnya meskipun saat membantunya aku terlihat sangat tegar dan membuatnya merasakan lingkungan yang senyaman mungkin.
Aku semakin sibuk dengan pasien ku yang satu ini, aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk menjaganya. Sebagai seorang istri aku meminta izin kepada suamiku untuk lebih banyak bekerja di rumah sakit. Waktuku untuk bersama dan melihat suamiku semakin berkurang bahkan tak ada, hingga aku menjadi semakin terbebas darinya. Aku semakin tak memperhatikan kebutuhannya namun sebaliknya, dia selalu mengirim pesan untuk sekedar menanyakan kepadaku apakah aku sudah makan seakan dia sudah tahu bahwa aku selalu lebih mementingkan kepentingan pasienku daripada diriku sendiri.
Karena ku sering menghabiskan waktu ku bersama pasienku maka terjalin Hubungan terapeutik diantara kami. Pernah sewaktu malam dia menangis dan memanggilku. Dia bercerita tentang kehidupan pribadinya dan menjawab rasa penasaranku selama ini. Ternyata suaminya tidak memperdulikannya lagi setelah ia di diagnosa menderita kanker payudara bahkan meminta orang tuanya untuk menjaganya. Suaminya ternyata menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Dulu mereka saling mencintai, suaminya pria yang sangat baik bahkan laki-laki terbaik menurutnya yang dia pernah kenal namun tak menyangka ia akan menjadi seperti itu, pria itu hanya memberikan uang makan seperlunya, tak pernah memperhatikannya seperti dulu. Suaminya bahkan tak menanyakan kabarnya, bagaimana penyakitnya, apa yang dirasakannya, dia tidak perduli sedikitpun. Biaya pengobatannya pun bukan suaminya yang memberikan namun orang tuanya yang susah payah mencari kesana-kemari demi kesembuhan anaknya. Suaminya tidak bekerja, dia sengaja menikahi seorang gadis yang kaya raya agar ia tidak usah susah menjalani hidup. Wanita itu terus menangis menceritakan kejadian yang menimpanya, dan aku terus mendengarkan mencoba untuk memotivasinya sungguh aku merasa sangat sakit mendengar cerita pasienku.
Setelah beberapa hari, nyawanya tidak tertolong lagi, kami semua telah berusaha namun Allah jua-lah yang menentukan. Aku menangis dalam diamku sendiri melihat raganya yang terbujur kaku, disampingnya terlihat orang tuanya yang setia menemani dan beberapa sanak keluarganya. Aku menutup wajahnya dengan kain putih dan keluarganya membawa jenazah sang wanita ke rumahnya untuk dikebumikan. Karena belum ada pasien yang aku rawat lagi, Saat itu aku langsung mengganti pakaianku dan mengikuti ambulan dengan mobil hasil kerja ku selama ini. Aku ingin mengantarkannya ke tempat istirahatnya yang terakhir. Inilah pertama kalinya aku merawat pasienku hingga ia masuk ke liang lahat, entah ada perasaan apa yang membuatku ingin sekali mengantarnya. Sampai di rumah duka, sudah ramai dengan keluarga dan tetangga yang berbaju hitam dan bendera kuning menghiasi setiap sudut jalan menuju rumah duka. Jenazah pun di doakan di rumah duka. Bacaan QS. Yaasiin menggema untuk mendoakan wanita itu. Aku memeluk ibu sang almarhumah dan entah apa yang mendasariku untuk bertanya dimana suaminya lalu sang ibu berkata sambil terus berlinangan airmatanya “Ada di luar Sus, sedang bersama istri barunya bahkan dia tak mau masuk katanya malas, malah memberikan uang untuk proses pemakaman. Lalu ibu menolaknya Sus.” Sungguh hatiku sakit sekali mendengarnya. Aku kemudian keluar penasaran melihat seperti apa sosok lelaki biadab dan tak bertanggung jawab itu. Di luar hanya ada bapak-bapak dan dibawah pohon terlihat seorang wanita dan pria sedang tertawa sambil berbincang-bincang lalu adik sang almarhumah tiba-tiba memukul pria itu sangat keras dibagian pipinya hingga pria itu tersungkur, dengan bicara dengan nada tinggi sang adik menyuruh pria yang tak bertanggung jawab itu pergi. Hatiku berdegup melihat wajah sang pria. Dia ternyata adalah seorang pria yang selama ini aku cintai dan karenanya aku telah menyia-nyiakan pria sebaik suamiku. Aku langsung teringat wajah suamiku dan mengutuk diriku sendiri.
Aku berjalan tersungkur mendekati sang ibu untuk izin pulang. Sungguh dalam hatiku “Ya Allah aku ingin bertemu dengan suamiku, ampuni aku.” Ternyata Allah membuatku sadar dengan mengirimkan wanita itu ke jalan hidupku. Aku bergegas pulang ke rumah dalam perjalanan aku hanya mengingat suamiku. Mengingatnya yang selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku, yang dengan sabar menungguku untuk bisa menerimanya. Suamiku tak pernah mengeluh saat aku tak memperdulikannya bahkan banyak mendurhakainya. Setiap saat dia menanyakan apakah aku sudah makan sementara aku tak pernah perduli apakah dia sudah makan atau belum, apa yang dimakannya, bahkan makanan kesukaannya pun aku tak tahu. Istri macam apa aku ini. Aku memang memenuhi kebutuhan fisiknya tapi apa aku pernah memenuhi kebahagiaan di hatinya. Selama bersamanya aku pun tak pernah menyunggingkan senyum di bibirku, tak pernah berbicara lembut terhadapnya bahkan aku menganggapnya orang asing yang mengusik ketenanganku.
Sampainya di rumah aku mendengarnya sedang berada di kamar mandi dan melihat laptop yang sering digunakannya untuk bekerja sedang menyala. Aku mendekati laptopnya melihat dekstop dengan gambar fotoku bersamanya saat menikah bahkan aku pun tak pernah melihat foto-foto itu. Aku membuka dokumennya yang berjudul “Bunga”. Aku mulai membaca kata demi kata yang dia ketik, tanpa sadar aku menitikkan airmataku, jantungku berdetak sangat cepat, hatiku berdesir lembut seperti ada rasa yang menyelinap masuk tanpa permisi, apa mungkin aku mulai mencintainya? Ternyata setiap hari walaupun dia sibuk bekerja dia selalu berusaha pulang agak sore agar bisa makan masakan yang aku buat walau terkadang masakan yang tidak dia sukai dan membuatnya alergi tetapi dia menerimanya, teringat beberapa kali aku menyediakannya buah jeruk di meja makan dan dia memakannya setelah itu di tangan dan kakinya menjadi bentol-bentol dan kemerahan , aku hanya bertanya “kenapa?”, tetapi dia menjawab “Tidak apa-apa hanya digigit nyamuk” padahal beberapa kali dia berkata seperti itu tapi kenapa aku tidak peka padahal aku seorang yang sudah lama berkutik dengan bidang kesehatan tapi masalah alergi saja aku tak tahu, saking aku tak memperdulikannya. Lalu terkadang dia suka tidak pulang karena takut kalau aku menjadi semakin risih melihatnya, dia hanya ingin membuatku nyaman di rumah. Dan yang paling membuatku sesak adalah membaca tulisannya “Setiap hari aku mengirimkannya bunga tanpa nama sang pengirim, aku tahu dia suka sekali dengan bunga, dan benar aku bisa melihat senyum dibibirnya meskipun senyum itu bukan ditujukan untukku setidaknya aku bisa membuat dia tersenyum.” Aku ingin sekali memeluknya dan bilang “Kau tidak usah menunggu lagi karena aku sudah menerimamu.” Dia tidak bisa sedikitpun tak memikirkan aku, dimana aku, apa aku sudah makan, dia selalu mementingkan kepentinganku.
Aku menunggunya di kursi kamar kami dengan airmata yang terus menetes dipipiku. Aku berharap ia cepat keluar dan melihat wajahnya dan menatap matanya. Aku takut hidupku bersamanya akan berakhir dengan penyesalan yang berujung kematian seperti kisah-kisah orang lain. Aku gelisah menunggunya hingga pintu kamar mandi terbuka dan melihatnya berdiri dihadapanku, aku langsung berlari memeluknya, memeluknya sangat erat, aku tak mau melepaskannya, tak akan. Aku berlutut meminta maaf kepada suamiku dan dia membangunkanku lalu berkata “Tidak ada yang perlu dimaafkan, kamu nggak salah.” Aku memeluknya sekali lagi, menatap matanya yang damai lalu dia mengecup keningku. Kemudian dia mengajakku untuk sholat ashar berjama’ah. Itu pertama kalinya selama bersama kami sholat berjama’ah.
Aku sadar dia pria yang terbaik yang dipilihkan Allah untuk menjadi jodohku. Pria yang dengan sabar menungguku dan menjaga diri dan perasaanku yang senantiasa menuntunku ke jalan Allah Yang Esa. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi istri yang terbaik untuknya.****Selesai****
Memang tidak selalu apa yang kita harapkan menjadi kenyataan
Namun dibalik kekecewaan itu pasti tersimpan sebuah kebahagiaan dari-Nya
Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya
Saat aku bilang “Aku tidak bisa hidup tanpanya.”
Sungguh ternyata aku masih bisa bernafas dan jantungku masih terus berdetak
Saat aku bilang “Aku tidak kuat lagi menahan perasaan ini.”
Sungguh ternyata aku masih bisa berdiri tegak dan berjalan menatap kehidupan
Saat aku bilang “Aku tidak dapat melupakannya.”
Sungguh ternyata aku benar-benar tak mengingatnya saat aku tersenyum dan tertawa
Saat aku bilang “aku terus menangis tanpa dia disisiku.”
Sungguh ternyata aku hanya menangis sesaat kemudian merentangkan tangan menyambut yang terbaik.
Jagalah, dia yang mencintaimu karena Allah
karena dia tak akan punya keberanian untuk menyakitimu
Dan Jika dia benar-benar menjadi beban dalam hidupmu
Maka lepaskanlah
“Cukuplah hanya Allah yang menjadi Pemeliharaku”
“Hanya dengan mengingat-Nya, kamu akan menjadi tenang”
“Apa yang menurut kita terbaik mungkin tidak bagi-Nya
Dan apa yang menurut kita buruk mungkin dialah yang terbaik menurut-Nya”
Ini bukan sekedar kalimat yang masuk ke hati dan kemudian hilang
Tapi pahamilah hidup kita sekarang
Jika kita merasa kalah, sungguh kita telah dilahirkan sebagai pemenang
Berjuta-juta sel sperma yang menuju ovum untuk dibuahi namun hanya satu yang menjadi juaranya
Dia adalah KITA
Jika kita merasa tidak beruntung,
Sungguh kita adalah orang yang lebih beruntung
Lihat anak-anak yang mengalami kecacatan, anak jalanan yang tak jelas hidupnya, anak balita yang berada di panti asuhan, orang sakit jiwa yang tak bisa merasakan hidup, orang yang sedang koma di rumah sakit dan lainnya.
Kita masih punya waktu untuk membuat setiap detik kehidupan kita menjadi berarti.^^